One Night Accident

BIBI TERSAYANG



BIBI TERSAYANG

Happy reading.     

****     

"Nihil. Dia tak ada di mana pun," Marco berujar kemudian.     

"Bagaimana bisa? Baru satu jam yang lalu dia masih di sini, kalau dia melakukan penerbangan ke Perancis, harusnya dia ada di pesawat jet pribadi milik keluarga Cohza," Daniel menjelaskan.     

"Tapi pesawat itu masih di sini, jadi uncle Paul masih di Cavendish."     

"Kalau begitu, kita akan lebih mudah mencarinya."     

"Justru kita akan sulit mencarinya," Marco membuat Daniel heran.     

"Kenapa? Ini kan wilayah kita."     

"Kamu lupa, seluruh alat dan tekhnologi di Cavendish adalah ciptaannya? Jadi dia bebas menyelundup ke mana pun dengan bebas tanpa ada yang bisa mencegah, menemukan ataupun menangkapnya." Marco menjelaskan.     

"Shit ...." Daniel baru mengingat soal itu.     

"Tapi ... dia akan sembunyi kalau dia pelakunya. Kalau bukan pasti kita akan segera menemukannya." Daniel masih tidak percaya kalau pamannya Paul akan mencelakai anaknya.     

"Yah, semoga bukan dia, karena kita akan sangat kesulitan jika memang Uncle Paul yang melakukan ini semua." Marco juga berharap memang bukan paman Paul otak dibalik pembunuhan yang dilakukan 20 tahun yang lalu.     

"Sebentar." kata Marco memberikan kode pada Daniel untuk diam dan menerima panggilan telepon.     

"Ya ...."     

" ...."     

"Hm ...?"     

"...."     

"Oke!"     

"Siapa?" tanya Daniel.     

"Anak buahku. Eh ... anak buahmu maksudnya, Mereka menemukan Uncle Paul."     

"Hufff ... syukurlah. Di mana dia sekarang." Daniel bernapas lega karena jika uncle Paul ditemukan dengan mudah, berarti bukan dia penghianatnya.     

"Dalam pesawat komersil menuju Perancis."     

Daniel mengernyitkan dahi heran. "Pesawat komersil? Untuk apa Uncle naik pesawat komersil saat ada jet pribadi perusahaan Cohza yang siap sedia?"     

Marco mengendikkan bahu tanda tak tahu. "Jadi? Kita akan serahkan ini pada Dad Petter atau kita tangani sendiri?" tanya Marco.     

"Tentu saja kita harus menangani ini sendiri. Yang hampir mati itu anakku. Sekarang juga kita ke Perancis. Menemui Uncle Paul," jawab Daniel.     

Marco mengangguk dan langsung menghubungi anak buahnya agar menyiapkan jet pribadi milik Daniel.     

"Kenapa?" tanya Daniel saat Marco terdiam.     

"Tidak apa. Hanya saja, perasaanku tidak enak," Marco menatap Daniel. Marco merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Firasat yang sama saat dia meninggal dulu.     

"Kita berdua bersama, aku yakin tidak akan ada apa pun yang bisa menyakiti atau mencelakai kita. Ingat kita partner terhebat." Daniel menepuk bahu Marco menenangkan.     

Marco mengangguk dengan senyum di wajahnya. Tetapi sebenarnya hatinya gelisah. Dia yakin akan ada sesuatu yang buruk terjadi. Marco tidak suka perasaan ini. Bisa merasakan datangnya bencana tetapi tak bisa tahu apa yang akan dihadapinya.     

***     

Beberapa jam kemudian.     

"Selamat datang, Boss!" sapa anak buah Daniel begitu menginjakkan kaki di Save Security Prancis. Daniel mengangguk dan Marco hanya mengikuti dari belakang. Hal yang biasa terjadi jika berada di SS Indonesia, Marco sudah dikenal sebagai anak buah kesayangan Daniel, jadi tak ada yang heran kalau tiap Daniel datang Marco selalu mengikuti. Namun di sini, Marco adalah orang asing. Jadi ... begitu mereka masuk, mereka jadi sorotan. Mungkin sebagian besar menganggap Marco adalah anggota baru yang sedang direkrut.     

"Sudah ada kabar dari Uncle Paul?" tanya Daniel pada Reed 02. Orang kepercayaannya yang ke dua setelah Marco sambil berjalan memasuki ruang kerjanya.     

"Harusnya dia sudah tiba di SS setengah jam yang lalu," jawab Reed dua.     

"Lalu dia di mana?" tanya Daniel.     

"Itulah masalahnya, orang yang menjemput di bandara tak menemukan sama sekali jejak keberadaan Mr. Paul. Bahkan kami percaya bahwa penerbangannya adalah kamuflase. Karena menurut keterangan, di dalam pesawat tak ada ciri-ciri orang yang mirip Mr Paul.     

Daniel langsung duduk di kursi dan Marco menutup ruang kerja Daniel begitu mereka memasukinya.     

"Jadi ... di mana paman Paul yang sebenarnya?" tanya Daniel tidak sabar.     

"Kami masih mencarinya, namun kami juga sudah menemukan orang yang menggunakan pasport Mr Paul. Reed 05 saat ini sedang mengintrogasinya."     

"Baiklah, cari tahu terus keberadaan Uncle Paul, kalau perlu tambah orang lagi agar segera ditemukan," ucap Daniel kemudian.     

"Baik, Sir! Kami akan berusaha segera menemukannya."     

Daniel mengangguk lalu mengibaskan tangannya tanda Reed 02 boleh pergi. Reed dua tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung keluar ruangan.     

Baru beberapa detik reed 02 keluar dari ruangannya terdengar ketukan di pintu.     

"Masuk!" kata Daniel.     

Bibi Pauline dan Uncle Pete masuk.     

"Bibi, kenapa repot-repot mengetuk pintu?" tanya Daniel heran. Biasanya sebagai anggota keluarga inti di Save Security mereka bebas memasuki ruangan satu sama lain.     

Bibi Pauline tak menjawab tapi matanya berkaca-kaca saat melihat Marco.     

"Jhonataaannnnn ...," isak Pauline yang memeluk Marco erat. Sementara Marco hanya bisa diam terpaku. Lalu Pauline mendongakkan wajahnya melihat wajah Marco.     

"Aku hampir tak percaya waktu kemarin Paul mengatakan kamu masih hidup. Aku ingin langsung pergi ke Cavendish saat itu tapi kedua Pamanmu melarang. Mereka mengatakan, akan membawamu kemari dan lihatlah kamu di sini dan sangat tampan," Pauline berujar dan kembali memeluk Marco dengan air mata bercucuran tanda bahagia.     

"Bibi Pauline ...." Marco mengusap bahu bibinya menenangkan.     

"Oh ... little Jack. Kamu tahu, betapa aku sangat merindukanmu? Aku senang sekali waktu tahu kamu masih bersama kami," Pauline berucap disela isak tangisnya. Terharu melihat keponakannya masih hidup.     

"Aku juga senang bertemu Bibi lagi." Marco berusaha melepaskan rasa sesak di dadanya, karena bertemu bibi kesayangannya lagi. Satu-satunya orang yang mau memanggilnya Jack di saat kedua pamannya meledeknya dengan memanggilnya Jojo.     

"Wajahmu ... kenapa wajahmu berbeda dengan Daniel? Kalian kan kembar identik?" tanya Pauline heran ketika menatap wajah Marco dan Daniel secara bergantian.     

"Oh ... ini efek samping dari injeksi yang diberikan Mom padaku." Marco menjelaskan.     

"Tidak apa-apa. Walau wajahmu berbeda, untuk bibi kamu masih yang tertampan." Pauline mencium wajah Marco dengan bahagia.     

Mendengar ucapan bibinya tentu saja Marco senang bukan kepalang dan menatap Daniel seolah mengatakan seluruh orang di dunia juga tahu dia lebih tampan dari pada kakak kembarnya itu.     

Daniel hanya mendengus melihat wajah Marco yang berbinar bangga.     

"Jack ... pokoknya bibi mau malam ini kamu harus tinggal bersama bibi, nanti bibi akan membuatkan kue kesukaanmu." Pauline memaksa.     

"Tentu ... apa pun untuk bibiku tersayang." jawaban Marco membuatnya mendapat pelukan dari Pauline lagi.     

"Aku benar-benar bahagia. Bibi akan mengadakan pesta untuk menyambutmu." Pauline terlihat bersemangat.     

"Ehem! Bibi, apa Uncle Paul sudah menghubungimu?" tanya Daniel mengingatkan tujuannya datang kemari.     

Marco dan Pauline sontak menoleh ke arah Daniel.     

"Kenapa?" tanya Pauline.     

"Tidak apa-apa, kami hanya ingin bertemu dengannya." Daniel tidak mau bibinya gelisah jika tahu saudara kembarnya tiba-tiba menghilang.     

"Lho ... bukannya Paul berada di Cavendish. Kemarin dia berangkat ke sana kan? Untuk menyerahkan chip yang akan dipasang ke tubuh Javier dan Jovan." Pauline menatap kedua keponakannya dengan heran.     

"Paul baik-baik saja kan?" tanya Pauline kemudian.     

"Em ... sebenarnya kami ke sini disuruh paman Paul, kami pikir dia sudah sampai terlebih dahulu." Marco yang menjawab.     

Pauline masih menatap mereka curiga. "Aku akan menelponnya." Pauline langsung menghubungi nomor Paul, sayang nomornya tidak aktif. Berapa kalipun dia berusaha menelpon tetap tidak tersambung.     

"Nomornya tidak aktif. Daniel ... Jhonathan ... katakan pada bibi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pauline dengan nada menuntut.     

"Tidak ada apa-apa bibi, sepertinya paman Paul masih dipesawat makanya ponselnya tidak aktif. Kami akan menunggu di sini sampai dia datang." Daniel berusah meyakinkan.     

"Benar tidak ada apa-apa?" tanya Pauline sekali lagi.     

"Semuanya terkendali." Marco tersenyum menenangkan. Dia tahu Pauline yang akan panik terlebih dahulu jika tahu terjadi sesuatu dengan pamannya Paul.     

"Baiklah ... kalau begitu, bibi akan ... tunggu dulu, apa kalian ke sini karena mau mengambil chip cadangan?" tanya Pauline seperti mengingat sesuatu.     

"Chip cadangan?" Daniel tidak tahu kalau pamannya memiliki chip cadangan.     

"Ah ... Iya ... kami datang untuk mengambil itu." Marco menjawab cepat sebelum Daniel bicara lagi.     

"Kenapa tidak bilang dari tadi."     

"Bibi ... tahu di mana tempatnya?" tanya Marco.     

"Tentu saja. Tadi pagi Paul menghubungiku. Dia mengatakan pergi ke Cavendish untuk memasang chip Javier dan Jovan. Namun karena Stevanie menjamin dia bisa memasang chip untuk Ai sekalian jadi Paul membutuhkan chip cadangan yang dia simpan. Awalnya aku akan mengantarkan ke Cavendish namun Paul bilang dia akan mengambilnya sendiri."     

"Jadi ... bibi benar-benar tahu di mana tempatnya?"     

"Iya. Dia bilang, ada di brangkas ruang kerjanya."     

"Kita ke sana sekarang."     

"Kenapa buru-buru? Tidak mau menunggu Paul datang?" tanya Paulin penasaran.     

"Bukan apa-apa, Bibi. Kami hanya sudah lama tidak makan kue buatanmu, kami sudah tidak sabar. Jadi ... mari kita ambil chip itu dan langsung ke rumahmu." Daniel menjawab.     

"Kenapa tidak bilang dari tadi? Ayo ... bibi tunjukkan tempatnya." Pauline berjalan menuju ruang kerja Paul. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Pete yang tidak beranjak sama sekali.     

"Pete? Ayo!" ajak Pauline.     

Pete menatap tidak suka. "Kenapa aku harus selalu di dampingi salah satu dari kalian?" protes Pete yang tak dihiraukan siapa pun.     

"Kata Paul ada di sini," Pauline berujar menunjukkan brankas di ruang kerja Paul.     

"Apa bibi tahu nomor kodenya?" tanya Daniel.     

"Tentu saja, Paul tidak pernah menyembunyikan apa pun dariku." Lalu Pauline menyebutkan seringaian kode agar Daniel bisa membukanya.     

Tiba-tiba suara ponsel Pauline menginterupsi. "Sorry, kalian teruskan saja dulu. Aku mau menerima panggilan ini terlebih dulu. Ayo Pete. Kamu ikut aku jangan ganggu mereka." Pauline berujar sambil keluar dari ruangan itu di ikuti Pete.     

"Kau atau aku yang buka?" tanya Marco.     

"Terserah."     

"Kalau begitu, biar aku saja!" kata Marco lagi dan langsung memasukkan kode yang di sebutkan oleh Bibi Pauline.     

Setelah membuka dua buah pintu lagi, akhirnya brangkas itu terbuka. Marco langsung mengambil chip itu dan memeriksanya. Ternyata chip itu berada di dalam kotak semi trasparan namun terlihat kokoh. Sepertinya butuh kode lagi untuk membukanya.     

Pip Pip Pip ...!     

"Suara apa itu?" tanya Daniel saat ada suara pip samar dari kotak yang berisi dalam chip yang di pegang oleh Marco.     

Marco menempelkan chip itu ke telinganya seketika matanya melotot lebar memandang chip itu.     

"SHIT! RUUNNN!!!" teriak Marco pada Daniel.     

"WHAT?!" tanya Daniel bingung. Marco menunjuk chip di tangannya.     

"ITU BOM!" teriak Daniel begitu sadar.     

"Yah, dan aku yakin ini akan meledak begitu aku melepaskannya. Jadi ... Daniel ... segeralah LARI ...!!!" teriak Marco lagi.     

"Tidak tanpa dirimu," Daniel menyahut mantap. Dia lalu melirik sekeliling mencari tempat aman.     

"Oke lempar chip itu masuk ke brankas. Aku akan menutupnya, lalu kita lari bersama," ucap Daniel memberi solusi.     

"Oke." Marco menyahut saat mendengar chip itu mengeluarkan suara yang makin kencang.     

"Satu ... dua ... tiga ... lempar ...," teriak Daniel. Marco langsung melempar chip itu masuk ke dalam brankas, lalu Daniel menutupnya cepat dan mereka langsung berlari bersama.     

Tetapi baru meraka sampai di depan pintu bom itu meledak.     

DUUUMMMMMM     

Selutuh ruangan bergetar dengan kaca pecah berserakan. Tubuh Daniel dan Marco terasa terlempar sampai jauh dan telinga mereka terasa berdenging dengan sangat kencang.     

Daniel berusaha membuka mata dengan sekuat tenaga, dia melihat sekelilingnya, lalu matanya melihat tubuh Marco yang tergeletak beberapa meter darinya tak bergerak sama sekali. Daniel panik dan Dia berusaha menggapainya tapi baru merangkak sedikit, Daniel merasa tubuhnya perih dan pandangannya buram dengan kepalanya berputar.     

"Marco ...!" Daniel tidak kuat dan akhirnya kegelapan mengalahkannya.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.