One Night Accident

KENANGAN



KENANGAN

0Enjoy reading.     
0

***     

"Di mana Ai dan si kembar?" tanya Marco dengan sikap waspada.     

"Di tempat yang aman," jawabnya dengan menatap Marco tajam.     

"Kembalikan mereka, Uncle. Dia istri dan anak-anak Daniel." Marco membujuk, berusaha mengingatkan.     

Pete berdiri dan Marco mundur beberapa langkah secara otomatis. "Aku tidak mau. Dia milikku. Seperti Stevanie dan Pauline, mereka semua milikku. Kalian yang ingin merebutnya, akan aku bunuh satu persatu dan seperti dua puluh dua tahun yang lalu. Aku akan memulainya lagi denganmu!" Pete menyeringai dan menjilat cutternya.     

"Jadi paman yang menyiksaku dulu?" tanya Jojo tak pecaya. Dia sudah curiga, tapi saat itu dia berada di ruangan yang temaram dan tak bisa melihat jelas penculiknya. Namun Marco masih mengingat suara dan warna matanya yang mirip dengan paman Pete.     

"Apa kau ingin aku mengulangi setiap detailnya? Mau dengan cara pelan atau cepat? Mau cutter kecil atau pisau besar yang langsung bisa menusuk dan merobek jantungmu dalam sekali hujaman?" bisik Pete di telinga Marco.     

Deg.     

'Sejak kapan Pamannya bergerak dan berada di belakangnya? Cepat sekali,' batin Marco. Sebelum Marco menanggapi ucapannya. Sebuah sayatan sudah menggores lengannya dalam dan langsung mengeluarkan darah segar.     

Pete mundur dan melihat hasil karyanya. "Indah. sangat indah." Pete tertawa bahagia melihat darah yang merembes di lengan baju Marco.     

Marco menghindar dan segera menyiapkan kuda-kuda. Dengan mengabaikan luka di tangannya dia maju berusaha menyerang, sayangnya baru saja ia maju satu langkah ....     

"Kurang cepat, Jojo. Mana ajaran Daniel selama ini?" ejek Pete tiba-tiba sudah memukulnya dari samping hingga membuat wajah Marco langsung terasa berdenyut sakit.     

Marco maju lagi, sayangnya bukan cuma sekali atau dua kali. Tapi berkali-kali, Pete kembali memukul bahkan menyayat kulit Marco hingga seluruh bajunya compang-camping karena robek.     

Marco terengah engah mulai kehabisan tenaga. Ini bukan pertarungan tapi pembantaian. Tubuhnya sudah berlumuran darah sedang Pete masih berdiri tegak hanya dengan beberapa lebam. Ini benar-benar tidak adil.     

"Aku kecewa sangat kecewa. Ajaran dari Save Security di Indonesia sepertinya sama sekali tak bermutu atau kamu yang sulit memahami." Pete berujar sambil menimang-nimang pisau lipat di tangannya.     

Marco semakin meringis, dia benar-benar sial karena harus berhadapan dengan Pete seorang diri.     

"Masih bisa dilanjut, Jojo?" tanya Pete dan ia maju lagi.     

Marco bersiap, dan benar saja sebelum dia sempat menghindar, satu sayatan sudah menggores tubuhnya lagi. Tapi akhirnya dia juga berhasil mendaratkan tendangan ke perut Pete. Tapi Marco tahu, tendangannya sudah tak seberapa kuat. Marco mulai lemas, karena ia sudah kehilangan banyak darah. Padahal dia yakin, mereka baru bertemu kurang dari sepuluh menit.     

"Kelihatannya kamu sudah tidak tahan ya ... hingga tendanganmu bahkan lebih lemah dari tamparan seorang perempuan. Baiklah sebagai tanda aku masih menganggap mu keponakan maka aku akan mengakhirinya dengan cepat," kata Pete menyimpan pisau lipatnya dan mengeluarkan pisau lebih besar.     

Marco menatap pisau itu dengan was-was. Dia tidak akan mati dengan mudah bahkan dia tidak akan mati kalau cuma di iris-iris oleh Pisau. Tapi ... rasa sakit pasti tetap dia alami, jika menerima tusukan pisau sebesar itu.     

Tetapi ... Marco juga tahu dia akan benar-benar mati jika sampai di mutilasi.     

"Tenang saja aku akan melakukannya cepat dan kau bahkan tak kan sadar dan langsung terbangun di surga," tambah Pete menyeringai.     

"Uncle ... Uncle yakin melakukan ini? Apa Uncle lupa saat kecil kita selalu bermain bersama karena usia kita yang tak jauh berbeda, bahkan Uncle tinggal di Cavendish setelah nenek meninggal."     

Pete memandang Marco tajam. "Aku tidak peduli."     

"Tidak mungkin ... paman tolong pikirkan lagi. Aku ini keponakan kesayanganmu."     

"Apa saat ini kami sedang memohon pengampunan Jojo?" Pete malah semakin senang karena mendapatkan efek yang dia inginkan. yaitu, Marco yang terlihat mulai ketakutan.     

"Tidak, paman boleh membunuhku berkali-kali. Tapi ... apa paman lupa, paman dulu sangat melindungiku karena paman sangat menyayangi ibuku Stevanie. Apa yang akan paman katakan pada ibuku jika dia tahu paman yang menghianatinya? Mommyku Stevanie akan sedih. Bibi Pauline juga akan kecewa pada paman."     

Pete mengernyit. Entah kenapa memikirkan Stevanie dan Pauline dia jadi waspada.     

"Paman ... aku tahu paman tidak akan melukaiku. Paman adalah pengawal paling kuat milik Jhonatan. Paman masih ingat kan ketika masih kecil paman berjanji akan selalu menjadi perisai yang melindunginya dari semua bahaya. Ingat ... dulu kita saling mendukung dan menyayangi."     

"Aku tidak ..." Pete mundur, entah kenapa dia merasa harus waspada. Pete melihat sekitar merasa sedikit linglung. Namun walau begitu Pete masih tetap memegang pisaunya siap menyerang. Pete ingin segera melakukan tugasnya dan menghabisi Marco, tetapi kenapa dia merasa ada yang tidak pas.     

Lalu dia mencium aroma darah Marco yang begitu memenuhi ruangan hingga tanpa bisa dihentikan kenangan masa-masa mereka bersama ketika masih kecilnya secara tiba-tiba menyeruak masuk ke otaknya.     

Dia dan kedua keponakannya yang suka mengerjai seisi istana. Dia yang selalu menjadi kambing hitam karena kenakalan keponakannya, tapi dia tidak marah karena dia menyayangi kedua keponakan nya itu. dan mereka sering membuat keributan lagi dan lagi.     

Mendapat kenangan yang tiba-tiba memenuhi isi otaknya, membuat kepala Pete terasa berdenyut sakit.     

"Uncle. Ingat ... Uncle pernah mengatakan akan menjadi orang yang paling percaya kepada kami? Bahkan jika semua orang menyalahkan kami, uncle akan selalu mendukung kami?" lanjut Marco sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding terdekat sambil mengistirahatkan diri.     

Marco tahu, kalau perkataannya mulai mempengaruhi Uncle-nya itu. Walau dia tidak bisa hipnotis namun Marco bisa memutar-mutar kata agar Pete sadar dari pengaruh siapa pun yang saat ini mengendalikan nya.     

Pete memegang kepalanya yang semakin berdenyut kuat. Ia tetap bersikukuh, kalau ia tidak boleh terpengaruh. Tapi dulu, mereka memang sangat akrab, bahkan Pete memang bersedia berkorban nyawa untuk mereka.     

"Uncle, aku sangat menyayangimu. Kami Semua menyayangimu. Tolong hentikan semua ini."     

Pete menggelengkan kepalanya dan berusaha menghilangkan semua kenangan yang berlompatan saling tumpang tindih seperti kaset rusak.     

"Aaaacccchhhh." Pete menjambak rambutnya sendiri ketika merasa kepalanya malah semakin sakit.     

****     

flashback     

Pete baru menyelesaikan lari mengelilingi sekitar istana Cavendish ketika dia melihat keponakannya Jhonatan mengendap-endap keluar tanpa pengawalan.     

Melihat itu Pete langsung mengikutinya karena tahu pasti dia sedang merencanakan kenakalan.     

Namun Pete salah. Karena Jhonatan sepertinya hanya sekedar ingin jalan-jalan juga. Lalu ... sesuatu membuat Pete kesal. Karena tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri dengan cerobohnya Jhonatan malah naik ke pohon apel yang tinggi.     

Benar saja baru Jhonatan ingin memetik apel kakinya menginjak ranting yang rapuh.     

Jantung Pete serasa berpacu, untung dia sudah waspada dan segera berlari dan menangkap ketika Jhonatan terjatuh.     

"Huftttt hampir saja."     

Pete, mengembuskan napas lega saat dia berhasil menangkap tubuh Jhonatan tepat waktu.     

"Uncle Pete?" Jhonatan berkedip tidak percaya karena dia selamat. Namun ... juga takut karena Pete menatapnya dengan galak.     

Pete merasa khawatir sekaligus marah atas kecerobohan Jhonatan. Dengan pelan dia menurunkan kaki Jhonatan ke tanah.     

"Cepat naik."     

"Eh ... naik?" Jhonatan menatap Pete dengan wajah bingung.     

"Kamu mau mematahkan salah satu tangan atau kakimu, kan? Naik lagi ... dan kali ini aku akan membiarkanmu jatuh tanpa bisa bangkit lagi," ucap Pete menyindir.     

Jhonatan langsung menunduk merasa bersalah, Pete kan emang jago banget kalau soal membuat orang merasa takut, padahal usianya hanya berjarak 5 tahun dari Jhonatan. tapi kegalakkannya melebihi Daddy-nya sendiri.     

"Ada apa ini?" Suara Daniel sepertinya membuat Jhonatan senang hingga terdengar mengembuskan napas lega. Sepertinya dia mengharap ada yang membelanya.     

"Bukan hal yang penting, adikmu ini ingin merasakan lehernya patah, makanya dia naik ke atas pohon dan menjatuhkan diri," kata Pete to the point.     

"Itu tidak benar, aku memang naik pohon, hanya tidak sengaja jatuh." Jhonathan cemberut karena disindir.     

"Tapi kamu memang tidak becus naik pohon, jadi apa namanya kalau bukan berniat mencelakakan diri? Untung aku berhasil menangkapmu tepat waktu, kalau tidak. Ck, ck, ck." Pete memandang Jhonatan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.     

"Jadi? Kamu habis jatuh? Apa ada yang sakit?" tanya Daniel terlihat khawatir..     

Uhhh, Jhonatan benci kalau Daniel sudah memandangnya seperti itu, mengisyaratkan seolah dia bocah bandel yang harus selalu diawasi.     

"Kenapa menatapku seperti itu? Kamu akan memarahi aku juga?" Jhonatan memandang Daniel dengan wajah semakin cemberut.     

"Tentu saja aku marah, kamu, kan, memang selalu ceroboh dan seenaknya sendiri, untung ada Uncle Pete, kalau tidak bagaimana? Aku yakin saat ini kamu sudah masuk rumah sakit karena patah tulang atau kepala yang bocor."     

"Kakak berlebihan tahu enggak! Aku hanya naik pohon bukan panjat tebing, lagian bisa enggak sih, enggak usah terlalu menasihatiku seolah aku tak tahu apa-apa. Kita hanya berjarak 5 menit, bukan 5 tahun," protes Jhonatan pada Daniel.     

"Ehemm, kita berjarak 5 tahun." Pete menginginkan keponakannya dengan wajah angkuh.     

"Kalian tahu apa maksudku, kalian itu memang menyebalkan." Jhonatan menghentakkan kakinya dan langsung berbalik pergi. Dia kesal karena selalu diperlakukan seolah-olah dia barang pecah belah yang harus diamankan dengan baik.     

"Jojoooo."     

"Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku Jojo, panggil Jack ingat Jack!" Jhonatan berbalik memandang Daniel dan Pete tajam.     

Daniel dengan senyum sabar.     

"Akan aku ambilkan."     

Jhonatan terdiam tidak mengerti.     

"Kamu naik ke atas pohon pasti ingin mengambil sesuatu, kan? Kamu mau apa? Biar aku yang ambilkan." Daniel sedang berusaha merayu adiknya yang ngambekan itu.     

"Aku mau itu," tunjuk Jhonatan pada sebuah apel yang berada di ujung pohon. Daniel tersenyum lebar ketika melihat Jhonatan yang masih betah memasang tampang cemberut, dia mengacak rambutnya dengan sayang.     

"Itu, kan, di istana banyak Jojo!" Pete merasa Jhonatan terlalu dimanjakan. Hingga kadang suka seenaknya sendiri.     

"Tapi, kan, tidak semerah dan sebesar itu." Jhonatan keras kepala.     

Mendengar itu Daniel malah tertawa.     

Pete juga mengakui walau Jhonatan manja dan nakal namun setiap melihatnya cemberut dengan wajah bete, Pete juga tidak tahan untuk segera melakukan apa pun yang dia inginkan.     

"Sudahlah, jangan kesal, tunggu di sini. biar aku ambilkan."     

"Tidak usah, biar aku saja." Pete benar-benar tidak bisa mengabaikan keponakannya.     

"Dia itu adikku, jadi biar aku saja yang ambilkan," bantah Daniel dan langsung berjalan ke arah pohon.     

Daniel dengan lincah menaiki pohon tanpa kesulitan sama sekali.     

"Uncle, ini tidak adil! Kenapa dia boleh naik pohon sementara aku tidak?" protes Jhonatan pada Pete.     

Pete menoleh dan memasang senyum mengejek.     

"Karena dia hebat, sedang kamu payah."     

"Kakakkkkk Uncle menghinaku," teriak Jhonatan pada Daniel yang sudah berhasil memetik apel dari pohonnya dan mulai turun.     

"Dasar tukang ngadu," ucap Pete semakin mengejek. Gemas sekali melihat dua wajah yang sama tapi ekspresi sangat berbeda.     

Daniel yang dewasa.     

Jhonatan yang sangat manja.     

"Kakakkkkkkkk."     

Daniel menghampiri Jhonatan. "Sudah sudah, Uncle pasti hanya menggodamu saja," hibur Daniel berusaha merayunya lagi, awalnya tidak berhasil, tapi saat apel yang Jhonatan inginkan berada di depan matanya, kekesalannya langsung lenyap tidak tersisa.     

"Terima kasih, Kakak." Wajah Jhonatan sudah kembali riang.     

Daniel mengacak rambutnya Jhonatan pertanda sayang sedangkan Pete mendengkus, tapi dia ikut tersenyum. Tertular dengan kasih sayang kedua kakak beradik itu.     

"Lain kali kalau mau sesuatu bilang, jangan seperti     

tadi, main panjat sembarangan, kalau ada apa-apa kan kita juga yang khawatir." Pete benar-benar tidak mau salah satu keponakannya ada yang celaka.     

"Iya, maaf, Uncle." Jhonatan meminta maaf dengan sungguh-sungguh.     

"Ayo kembali, tadi Mommy mencarimu." Daniel merangkul Jhonatan mengajak kembali ke istana. Pete tidak tahan dan ikut merangkul dari sebelahnya, tentu saja Jhonatan dengan senang langsung memeluk mereka berdua dan berjalan berdampingan.     

"Aku sayang kalian," ucap Jhonatan dengan wajah bahagia.     

"Iya, kami juga," ucap Daniel dan Pete kompak, lalu mereka tertawa bersama.     

Pete merasa itu adalah saat-saat paling membahagiakan di hidupnya.     

****     

Mengingat itu Pete semakin merasa sakit di kepalanya menjadi-jadi. Seolah-olah ada puluhan orang sedang berdebat di dalamnya.     

"Aaaacchhhhh."     

Karena tidak tahan, Pete membenturkan kepalanya ke tembok.     

****     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.