One Night Accident

SEPATU



SEPATU

0Enjoy reading.     
0

***     

Marco memandang aneh Daniel dan Ai yang sama-sama Diam, bahkan Javier dan Jovan pun tidak seaktif biasanya. Sehingga suasana makan siang terasa sangat menegangkan. Marco tidak suka ini, ini sama sekali tidak asik. Ini makan siang terhambar dalam hidupnya.     

"Kalian kenapa sih? Tumben pada diem-dieman?" tanya Marco bingung karena tumben seorang Ai bisa makan dengan anteng.     

Daniel sebenarnya masih bingung dengan apa yang dia temukan di laboratorium, tentang kecurigaannya akan sosok Dr. Key dan entah kenapa insting Daniel mengatakan bahwa ada sesuatu yang besar yang sedang disembunyikan darinya. Sedang Ai melamun karena dia belum sempat bertemu Dr. Key gara-gara bangun kesiangan. Padahal Ai sudah sangat resah dan penasaran. Jovan jangan ditanya. Melihat Javier yang badmood cukup membuat dia mengerti dan tidak berani membuat masalah.     

"Hello! Aku di sini," ucap Marco membuyarkan lamunan Daniel dan Ai yang malah seperti memiliki dunia mereka sendiri-sendiri.     

"Tidak apa-apa, kamu benar-benar sudah baikan?" tanya Daniel memastikan sambil mengamati Marco dan lega ketika melihat wajah Marco sudah tidak pucat seperti kemarin.     

"Aku sangat segar bugar. Anak buahmu saja yang berlebihan. Lagian apa-apaan sih kamu ini? Pakai melarangku keluar dari rumah sakit sebelum pagi. Aku bahkan harus menghajar 10 pengwalmu supaya mereka membebaskanku dari rumah sakit yang membosankan itu." Marco tidak suka dianggap lemah dan butuh perawatan lebih seperti pangeran manja yang hanya bisa leha-leha karena luka kecil.     

Daniel terkekeh. "Aku hanya tidak mau tiba-tiba mendapat berita di sosmed bahwa kamu mati konyol karena kelaparan."     

"What? Tega sekali menyumpahiku mati, mana gegara kelaparan lagi. Nggak sekalian aja ditambahin aku habis mulung nggak dapet duit?" kata Marco kesal. Mati karena kelaparan benar-benar akan merusak citranya sebagai pangeran tampan nan menawan se kerajaan Cavendish.     

"Sudah ... Aku harus pergi. Uncle Paul dan Mom sudah menungguku." Daniel meletakkan alat makannya dan minum jus jeruk yang ada dihadapannya.     

"Mom? Mom ada di sini? Di mana? Aku ikut ya ... Aku kangen sama Mom."     

"Tidak, kamu di sini saja. Cukup kemarin kamu membuatku khawatir. Nanti kalau urusanku sudah selesai aku akan membawa Mom ke sini." Daniel tidak mau Marco mengacau dan membuatnya khawatir seperti kemarin.     

Marco cemberut. "Tahu gini aku biarkan saja kamu yang kena racun,"kata Marco kesal.     

"Ah iya ... itu yang ingin aku tanyakan. Bagaimana kamu bisa terkena racun sedang aku baik-baik saja?" tanya Daniel heran.     

"Tuhkan ... begitu saja kamu tidak tahu. Ingat saat kamu menyuruhku membuka pintu dengan pisau? Pintu itu mengandung racun. Orang yang tidak tahu pasti akan mati sebelum menyadarinya. Untung kamu membukanya dengan cara menendang, coba kalau saat itu dibom. Pasti asap hasil bom akan bercampur menjadi satu di udara dengan racun itu serta orang yang melewati pintu itu pasti akan menghirupnya. Tentu saja 3 menit kemudian bisa dipastikan semua sudah jadi mayat," kata Marco menjelaskan.     

"Tapi itu tetap aneh. Aku kan sempat memegang tembok itu?"     

"Racunnya tidak ada di luarnya tapi di dalam temboknya , Zat itu akan menguar menjadi gas saat dicongkel atau dihancurkan." Daniel mengangguk mengerti dan sedikit bersyukur karena saat itu yang mencongkel tembok adalah Marco. Orang yang kebal terhadap racun sehingga efeknya hanya menyebabkan Marco lemas dan pucat. coba anak buahnya yang membuka tembok itu, Daniel jamin pasti mereka semua terancam mati di tempat.     

"Eh ... tapi yang bikin pintu itu jenius ya, bisa punya ide seperti itu. Mungkin aku akan mencontohnya dan membuat yang seperti itu," ucap Marco serius.     

"Kalau yang bongkar anakmu bagaiman?" tanya Daniel merasa kecerobohan Marco masih dipertahankan hingga sekarang.     

"Eh ... benar juga. Nggak jadi deh kalau begitu. Btw, kok si bos nggak mau ucapin makasih sih? Aku udah menyelamatkanmu lho." marco mengedip-ngedipkan matanya seperti orang sakit mata.     

Ai yang mendengarnya langsung mendengus, sedang Daniel menepuk bahu adiknya. "Terimakasih sudah menyelamatkanku," kata Daniel sambil tersenyum tahu pasti adiknya ingin dipuji.     

"Sama-sama, Jadi sebagai balasan bolehkah aku ikut denganmu?" Marco memasang wajah imutnya. Daniel langsung terkekeh pelan, tahu bahwa ucapan Marco tadi hanyalah modus belaka.     

"Tidak boleh. Kamu di sini saja menjaga Ai dan yang lainya." Daniel berdiri lalu mencium Ai sebentar namun cukup bisa membuat Marco mendengus karena iri. Bagimana tidak iri bebebnya tercinta ada di indonesia dan di sini dia dipameri kemesraan oleh kakaknya.     

Benar-benar pasangan yang tidak punya hati nurani sama sekali.     

"Sampai jumpa nanti malam, Tweety," bisik Daniel sebelum meninggalkan ruang makan.     

Marco cemberut. "Javier, Jovan. Ke taman bermain yuk?" ajak Marco merasa tidak memiliki kegiatan.     

"Kami sudah 8 tahun, Paman. Jangan mengajak main seolah kami baru 5 tahun," ucap Jovan.     

"Maaf, Paman, kami banyak tugas di sekolah, jadi kami permisi dulu," ucap Javier yang langsung pergi tanpa menoleh ke arah Ai atau pun Marco disusul Jovan beberapa detik kemudian.     

Marco memandang Ai.     

"Tidak. Aku juga sibuk," kata Ai sebelum Marco sempat mengutarakan pertanyaannya.     

"Ish ... PD sekali. Aku tidak mau mengajakmu jalan. Aku mau tanya itu duo J kenapa tumben pada jutek?"     

"Entah, tanya saja sendiri." AI meneruskan makannya.     

"Huh dasar ... Uncle Paul kemana sih? Perasaan kamarnya sebelahan deh sama aku, tapi pagi-pagi kok udah ilang?"     

"Sebenarnya aku juga ingin tanya itu," kata Ai menanggapi.     

"Kenapa kamu nyariin uncle Paul? Kamu ada main sama dia?"     

Syuutttt.     

Prangkkk.     

Sepatu Ai tiba-tiba sudah melayang dan memecahkan gelas di depan Marco.     

"Kebiasaanmu nggak hilang ya! Demen banget lempar sepatu." Untung Marco sudah biasa menghadapinya dan punya gerak reflek yang hebat.     

"Makanya kalau ngomong disaring dulu."     

"Lha ... kamu nanyain Uncle Paul aku curiga dong. Kalau kamu nanyain Lizz wajar."     

Ai memutar bola matanya jengah. "Pergi sana! Gangguin orang makan saja," dumel Ai.     

"Mana asik pergi nggak ada temannya? Eh ... masih ada Ashoka ding. Aku ajak dia boleh?" Marco meminta izin. Sesekali ingin bermain dengan keponakannya yang paling kecil.     

"Hm ... tapi jangan dibawa ke tempat yang aneh dan jangan pulang malam-malam."     

"Astaga kamu menasehatiku seolah-olah aku javier dan Jovan."     

"Kalau berurusan denganmu sebaiknya aku waspada. Karena tingkahmu lebih kekanakan dari pada mereka berdua."     

"What?! Eh ... denger ya ...."     

Syuttttt.     

Tap.     

Marco secara otomatis menangkap sepatu Ai yang tiba-tiba sudah terbang lagi ke arahnya.     

"Aku masih makan. Jangan berisik," kata Ai sambil menggerakkan tangan seolah mengunci mulutnya. Marco memandang sepatu Ai yang sangat lancip, untung nggak kena muka. Bisa bolong jidatnya. Lagian itu ratu kapan ngambil sepatunya? Tiba-tiba sudah melayang saja. Karena kesal Marco menaruh dua sepatu Ai di atas meja.     

"Sekalian dicemilin sepatunya. Biar tambah kuat," kata Marco sebelum meninggalkan meja makan dengan menggerutu kesal.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.