One Night Accident

EKSTRA PART II



EKSTRA PART II

0Enjoy Reading.     
0

***     

Sepi … itu yang Lizz rasakan. Bukan sepi karena tidak ada yang bicara atau melakukan aktivitas. Bukan … Bukan sepi seperti itu yang Lizz alami. Tapi rasa sepi di hati suaminya yang membuatnya resah. Lizz tidak tau apa yang terjadi antara Marco dan keluarganya di Cavendish sana. Tapi Lizz tahu, apa pun itu pasti sesuatu yang sangat buruk.     

Lizz masih ingat saat Marco datang dengan wajah penuh lebam, beberapa tulang patah dan pandangan kosong. Sejak saat itu Lizz tahu ada rasa sakit yang begitu dalam yang dirasakan oleh suaminya, tapi Lizz sabar menunggu, Lizz tahu jika sudah saatnya Marco akan memberitahunya apa yang terjadi.     

Bagi orang lain Marco masih bersikap biasa saja. Masih ceria dan menyenangkan. Tapi bagi Lizz, Marco seperti memakai topeng tegar di atas deritanya. Dia seperti orang yang tidak punya jiwa. Dia terlalu banyak bekerja dan tidak memperhatikan sekitarnya. Lizz bahkan sering melihat Marco melamun dan terbengong saat sendirian. Seperti saat ini misalnya. Marco terlihat memandang keluar balkon dengan tatapan kosong padahal baru jam 4 pagi. Lizz bahkan yakin Marco tidak tidur semalaman.     

Lizz mendekat dan memeluk Marco dari belakang. "Ada apa?" tanya Lizz lembut sambil menutup matanya.     

Marco menggenggam tangan Lizz mempererat pelukannya. "Apa kamu akan meninggalkanku jika kamu tahu aku sudah membohongimu?" tanya Marco membuat Lizz membuka matanya lagi. Marco bicara dengan pelan tapi tetap terdengar serius.     

"Apa yang kamu simpan dariku? Wanita lain?" tanya Lizz berusaha setenang mungkin walau sebenarnya wanita manapun pasti was-was jika tahu suaminya memiliki sebuah rahasia.     

Marco terkekeh. "Bukan. Tidak ada wanita lain, hanya kamu satu-satunya wanita di hidupku."     

"Kalau begitu. Aku tidak perlu khawatir dan tentu saja aku akan selalu bersamamu." Bagi Lizz apa saja boleh dilakukan oleh Marco asal tidak membawa perempuan lain masuk ke dalam hiupnya.     

"Kamu yakin?"     

Lizz menarik Marco duduk di kursi balkon dan menggenggam tangannya. "Sekarang jujur padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?"     

"Apa?" tanya Marco pura-pura tidak mengerti.     

"Marco … ini sudah 2 tahun dan kamu sama sekali tidak mengatakan apa pun padaku tentang yang terjadi di Cavendish. Sesabar-sabarnya wanita, tetap saja ada batasnya." Lizz menatap Marco menginginkan jawaban.     

Marco diam, dia bukan tidak mau mengatakannya, tapi dia belum siap jika Lizz juga akan marah padanya. Semua keluarganya menjauhinya, Mom Stevanie, Dad Petter, uncle Paul, uncle Pete dan terutama Daniel. Marco bahkan tidak menyangka dia benar-benar tidak bisa masuk ke kerajaan Cavendish dan Save Security.     

Awalnya Marco mengira kakaknya hanya marah sebentar dan akan segera memaafkannya beberapa saat kemudian seperti sebelum-sebelumnya. Tetapin ternyata dia salah. Kali ini Daniel melakukan itu dengan sangat serius.     

Satu bulan, dua bulan hingga satu tahun. Marco tidak ada akses apa pun untuk menghubungi keluarganya di Cavendish. Semua alat komunikasi dengan keluarganya di Cavendish sudah diblokir bahkan dia pernah berusaha ke sana dan hasilnya dia dicekal bagian imigrasi dan dikembalikan ke Indonesia. Di situlah Marco baru menyadari bahwa Daniel serius akan tindakannya dan sekarang dunia tempat dia berada dan dunia tempat keluarganya berada kini sudah berbeda.     

Mereka benar-benar mengasingkannya. Bahkan saat Lizz melahirkan Aurora satu tahun yang lalu. Tidak ada satu pun keluarga Cohza dan Cavendish yang datang berkunjung atau sekedar mengirim kartu ucapan selamat.     

Marco lebih memilih dipenjara seumur hidup, atau di tusuk dengan ribuan pisau dari pada mendapat pengasingan seperti ini.     

Marco masih bekerja di Save Security. Marco masih menjalankan Rumah sakit Cavendish. Tapi Marco hanya sebatas kerja saja. Karena dua kantornya itu entah bagaimana sudah terputus dengan keluarga Cohza di Prancis dan Cavendish.     

Marco sampai frustasi karena bingung, bagaimana cara agar bisa dimaafkan? Dia bahkan pernah mengirim surat ala zaman dulu tapi surat itu kembali padanya, e-mail, sms, WA semua terblokir. Instagram, fb semua akun sosmednya bernasib sama. Marco hanya bisa melihat kakaknya dari koran, sosial media atau tv saat Daniel ada tugas kerajaan. Dan karena mereka kembar tentu saja Marco masih bisa merasa tidak tenang dan resah jika Daniel sedang dalam masalah.     

Terutama seminggu ini. Entah kenapa Marco merasa dadanya sakit, sama sakitnya saat dia baru diusir dari Cavendish. Marco juga tidak bisa tidur dengan nyenyak karena selalu merasa resah. Pasti ada sesuatu dengan Daniel, tapi apa? Ah … andai Marco bisa, dia ingin sekali menemui kakaknya dan bertanya apakah dia baik-baik saja?     

"Marco!" Lizz menepuk pipi Marco yang malah melamun.     

Marco memandang Lizz hangat. "Kamu benar-benar tidak akan meninggalkanku kan?"     

"Apa aku pernah meninggalkanmu? Bukannya kamu yang sering meninggalkan aku tanpa kabar?" Walau kebiasaan Marco muncul dan menghilang sesuka hati sudah tidak dia lakukan selama dua tahun ini namun Lizz masih selalu men cap Marco sebagai orang yang suka menghilang tanpa kabar.     

"Maaf …."     

"Kamu sudah sering minta maaf, sekarang katakan ada apa?" tanya Lizz. Bosan mendengar permintaan maaf Marco setiap muncul ketika habis menghilang entah kemana.     

Marco menunduk diam.     

Lizz jadi geregetan sendiri. "Aku sudah sabar selama dua tahun ya … kalau kamu enggak mau bilang juga, mending aku pergi saja deh." Lizz baru hendak beranjak pergi.     

Greep     

Brukkk.     

"Aw … Marco!" Lizz otomatis menjerit kaget saat tiba-tiba Marco menariknya dan mendudukkannya di pangkuannya.     

Marco memeluk Lizz erat. "Jangan pergi, aku sekarang Cuma punya kamu, jangan tinggalkan aku seperti yang lainnya." Entah kenapa sepertinya beban yang dia rasakan selama ini tiba-tiba ingin dia ungkapkan semuanya.     

Lizz terpaku saat badan Marco bergetar hebat dan pundaknya serasa basah. Suaminya sedang menangis. Entah apa yang yang terjadi hingga tangisan Marco serasa menyayat hati. Lizz hanya diam dan mengelus kepala Marco sayang, membiarkan Marco meluapkan kesedihannya yang menumpuk selama ini. Jika Marco tidak bisa memberitahu dirinya tidak apa-apa, tetapi jika sampai Marco terus menerus menahan kesedihan itu tidak baik untuk kesehatannya. Jadi ... Lizz membiarkan Marco menangis selama yang dia mau untuk meringankan sedikit bebannya.     

Lizz tidak tahu berapa lama Marco menangis, Lizz tidak menghitungnya, yang jelas matahari sudah mulai terbit saat akhirnya Marco mulai tenang.     

"Daniel mengasingkanku," ucap Marco lirih.     

Jika saat ini mereka tidak saling berpelukan pasti Lizz tidak akan mendengarnya.     

"Semua keluargaku membenciku." Marco memeluk Lizz semakin erat, lalu tanpa terbendung lagi dia menceritakan semua kehidupan yang dia jalani. Mulai dari anak-anak sampai terakhir kasus di Cavendish. Dan tentu saja alasan-alasan Marco sering meninggalkan Lizz tanpa kabar karena Marco memiliki kewajiban untuk mengurus laboratorium ilegal warisan kakeknya.     

Lizz hanya bisa diam tanpa tahu harus berkata apa. Marco yang selalu ramai dan menyenangkan. Ternyata menjalani hidup yang sangat berat. 10 kali lipat lebih berat dari yang Lizz bayangkan selama ini.     

"Bebeeb …."     

"Hmm …?"     

"Kamu benar-benar tidak akan meninggalkanku kan?" tanya Marco khawatir karena Lizz tidak mengatakan apa pun saat dia bercerita bahkan sampai dia selesai Lizz tetap diam.     

Lizz tidak tega melihat Marco seperti ini, karena Marco memandangnya seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. "Sebenarnya aku juga marah, kesal, kecewa," kata Lizz jujur dan langsung menyesal karena melihat tatapan terluka dari Marco.     

"Jangan … jangan meninggalkan aku. Aku akan lakukan apa pun, tapi jangan tinggalkan aku, Beb … Hanya kamu yang aku miliki sekarang ini." Marco tidak peduli jika dia seperti pengemis saat ini. Dia hanya tidak mau sendirian. Jika Lizz juga membencinya hidupnya pasti akan seperti di neraka.     

Lizz berdiri berusaha menguatkan hatinya dari tatapan terluka Marco. "Aku tidak akan meninggalkanmu asal …."     

"Apa? Apa pun yang kamu minta pasti aku berikan," kata Marco cepat.     

"Yakin?"     

Marco mengangguk. Lizz tersenyum lebar. Kapan lagi Marco mau seperti ini.     

"Baiklah, sekarang juga aku mau kamu katakan dengan jelas bahwa kamu mencintaiku."     

Marco berkedip sekali dua kali lalu bibirnya terasa kelu. "Apa tidak bisa yang lain?"     

Lizz cemberut dan bersedekap. "Berarti kamu memang tidak mencintaiku. Lalu untuk apa aku di sini?" Mereka sudah menikah dan memiliki dua anak tapi Marco belum pernah mengatakan mencintainya secara langsung. Sebagai wanita dia kan ingin mendengarnya walau hanya sekali saja.     

"Akan aku katakan …," cegah Marco saat Lizz benar-benar hendak berbalik pergi.     

Marco mengusap tengkuknya berulang kali, keringat dingin mulai nenetes di tubuhnya, jantungnya berdegup sangat kencang.     

Jantungnya melompat, melompat dan melompat semakin tinggi.     

"Aku hanya akan mengatakan ini sekali."     

Lizz mengangguk.     

"Aku tidak akan mengulanginya lagi."     

Lizz tersenyum melihat kegugupan Marco. Astaga … suami machonya wajahnya sedang memerah karena malu.     

"Jadi … dengarkan baik-baik." Marco menegaskan.     

Lizz bisa melihat wajah Marco semakin memerah bahkan sampai ke telinga.     

"Suliztyarini … aku … aku … Em ... Aku ...."     

"Ya?"     

Oh … saking gugupnya Marco terasa ingin kencing. Tidakkkkkk, Marco tidak sanggup.     

"Babe … aku ... c ... ci ..." Marco mulai mengelus pahanya cepat, hal yang selalu dia lakukan jika resah dan tidak tenang.     

"Ya?"     

"Lizz, aku ... aku ... ci .... cinta padamu."     

Wusshhh.     

Brakkkkk.     

Lizz melongo antara senang, terkejut dan ingin tertawa. Setelah melakukan pengakuan cinta yang super kilat. Marco langsung berlari masuk ke kamar mandi dan entah berapa barang yang ditabraknya karena tergesa-gesa.     

Membuat Lizz tertawa melihat tingkah suaminya. Sangat bahagia karena pada akhirnya mendapat pengakuan cinta dari suaminya.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.