One Night Accident

EKSTRA PART IV



EKSTRA PART IV

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Babe ... kamu kenapa?" Lizz memandang Marco khawatir saat melihat Marco terus menyentuh dadanya.     

"Kamu sakit?" Lizz mulai khawatir karena wajah Marco walau tidak pucat namun memancarkan ketidaknyamanan.     

"Aku tidak apa-apa." Marco tersenyum menenangkan.     

"Lalu, kenapa dari tadi kamu terus memegang dadamu? Apa ada yang tidak beres? Kamu sesak napas atau kenapa? Kalau kamu memang sakit harus segera diobati, jangan ditahan."     

"Tidak perlu, aku memang sedikit merasa sesak. Entah kenapa dadaku ... rasanya ada yang ingin meledak," ucap Marco meringis memegangi dadanya.     

"Kita ke rumah sakit ya?" Lizz semakin khawatir.     

Marco menggeleng. "Biasanya kalau aku merasa seperti ini, pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Daniel. Aku bisa merasakan Daniel dalam masalah," kata Marco kini telihat mulai terengah-engah.     

"Baiklah, aku akan berusaha menemui Daniel."     

Marco menggeleng cepat. Daniel masih mengasingkan dirinya, jadi walau apa pun usaha yang Lizz lakukan tetap tidak akan bisa membuat Daniel mau menemuinya lagi kecuali Daniel datang dengan suka rela.     

"Tapi ...."     

Tok tok tok.     

"Permisi, Nyonya. Ada tamu yang mencari Tuan Marco." Lizz membuka pintu kamarnya lebar. Siapa pagi-pagi begini sudah mencari suaminya? Mana Marco lagi sakit.     

"Siapa?" tanya Lizz. Karena yakin jika itu masih kerabat mereka tidak perlu repot-repot meminta izin bertemu dari maid, namun akan langsung menemuinya sendiri.     

"Dari kerajaan Cavendish."     

Mendengar itu tubuh Lizz langsung menegang. Sedang Marco tanpa menunggu maid bicara lebih lanjut dia bergegas berlari ke arah lift disusul Lizz sambil berusaha memegangi Marco yang masih meringis memegangi dadanya.     

"Marco ... tenanglah," hibur Lizz saat merasakan jantung Marco berdegub semakin kencang. Keringat dingin juga membasahi dahinya.     

"Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Daniel? Aku bisa merasakannya, dadaku sakit, Babe ...."     

"Tidak ... pasti Daniel baik-baik saja."     

Marco mengangguk berusaha menenagkan dirinya sendiri. Ingin percaya pasti Daniel baik-baik saja. Tepat saat pintu lift terbuka. Baru satu langkah Marco keluar dari lift dia langsung terpaku. Wajahnya menegang melihat siapa yang ada di hadapannya.     

"Hai ... kamu tidak ingin menyapa kakakmu?" tanya Daniel dengan senyum tipis membuat Marco langsung melotot karena shok.     

***     

Satu Minggu sebelumnya.     

"Oke ... ini sudah cukup. Kita harus ke Indonesia. Tidak ada bantahan sama sekali," ucap Ai sambil mondar-mandir di depan Daniel.     

"Tweety ...."     

"Apa? Mau menolak? Tidak bisa. Kalau kamu menolak aku tidak akan izinkan kamu sekamar denganku untuk waktu satu tahun yang akan datang," ancam Ai.     

Daniel menghela napas lelah. "Apa yang harus aku katakan saat bertemu Marco nanti?" tanya Daniel sendu.     

Ai mendekat dan duduk di sebelah Daniel. "Tidak perlu berkata apa-apa. Cukup temui dia dan aku yakin semua rasa sakit ini akan menghilang."     

Daniel menunduk diam.     

"Daniel aku menyuruhmu menghukum Dr. Key yang ternyata adalah Marco. Bukan malah menyiksa dirimu sendiri."     

"Aku tahu memisahkan saudara kembar itu sama saja memisahkan nyawa dari tubuhnya dan aku benci melihatmu terus murung karena merindukannya. Lagi pula ini sudah dua tahun. Aku rasa batas hukuman segitu sudah cukup menyiksanya." Ai memang mengusulkan pengasingan untuk Marco. Namun di waktu bersamaan sebenarnya mereka tetap mengawasi keadaan Marco hanya tidak memperlihatkannya secara nyata. Bahkan ketika kelahiran Aurora Ai juga mengirim hadiah yang sangat banyak, hanya saja dia memberikannya lewat Sandra dan Tasya.     

"Bagaimana kalau dia tidak mau menerimaku lagi sebagai kakaknya?" Entah kenapa sekarang Daniel menyesal sudah menjauhkan Marco darinya. Walau Marco mengeksploitasi tubuh anaknya. Tetapi semua itu dilakukan karena dia berusaha membuatnya bahagia dengan menyembuhkannya. Tapi ... tetap saja Daniel benci dibohongi.     

"Kenapa kamu jadi seperti Marco? Tidak percaya pada diri sendiri. Kamu sayang padanya kan?"     

Daniel mengangguk.     

"Kamu masih suka bermimpi Marco meminta maaf padamu."     

Daniel mengangguk lagi.     

"Berarti dia sama tersiksa dan sangat merindukanmu juga."     

"Aku ... entahlah ... Aku merasa berdebar dan ingin menemuinya, tapi takut."     

Ai mencium pipi Daniel kilat. "Aku tahu. Jadi aku beri waktu satu minggu untukmu mempersiapkan diri. Setelah itu ayo kita beri kejutan untuk adikmu. Seminggu lagi ulang tahun kalian kan?" ucap Ai sambil berdiri dan menarik tali baju tidurnya. Daniel ikut berdiri dan melepas bajunya, lalu dalam satu tarikan napas Daniel merapatkan tubuh Ai dengan dirinya.     

"Aku mencintaimu ... sangat mencintaimu," ucap Daniel di sela-sela ciumannya.     

"Oh ... aku juga sangat mencintaimu, Yang Mulia," balas Ai tak kalah semangatnya. Tahu pasti hanya ini satu-satunya cara membuat Daniel kembali rileks dan tidak terlalu tertekan.     

Seminggu kemudian.     

Di sinilah mereka sekarang mereka. Di kediaman Marco abdul Rokhim alias Jhonathan Cohza Cavendish.     

"Daniel ...," ucap Marco tidak percaya.     

"Apa kamu sudah tidak mau memanggilku kakak?" tanya Daniel memandang Marco dengan sama-sama kikuk.     

"Ka ... kak ...."     

Brugkhhh.     

"MARCOOO!" Semua langsung menjerit terkejut saat melihat Marco pingsan karena shok. Daniel dengan sigap membawa Marco ke salah satu kamar, sedang Lizz langsung menahan lengan Ai saat dia akan ikut masuk ke kamar.     

"Kenapa?"     

"Biarkan mereka bicara berdua." Ai mengangguk mengerti.     

"Apa tidak apa-apa. Maksudku Marco sedang pingsan, kamu tidak ingin memanggilkan dokter untuknya?"     

Lizz menggeleng santai. "Dia tidak sakit. Dia hanya terlalu merindukan Daniel. Kalau sudah ada obatnya untuk apa mencari dokter?"     

Ai mengangguk setuju. "Saudara kembar begitu ya? Tidak bisa dipisahkan."     

"Dia sangat menderita saat Daniel membencinya."     

"Percayalah Daniel sama menderitanya saat dia harus menjauhi Marco."     

"Ngomong-ngomong di mana duo J?"     

"Mereka ada di rumah mas David. Lalu di mana Junior dan Aurora?"     

"Junior sekolah, Aurora ada kok masih tidur di kamarnya. Marco pasti senang sekali jika tau keponakannya ke sini." Lizz menjelaskan.     

"Kamu ingin bertemu mereka?"     

"Tentu."     

"Bawa Aurora sekalian. Kita beri waktu untuk dua suami mesum kita untuk bicara," kata Ai dan Lizz pun mengangguk setuju.     

***     

Marco mengerjapkan matanya dan langsung menyadari bahwa itu bukan kamarnya. "Sudah bangun? Betah sekali pingsannya?" Marco langsung menegang saat mendengar suara Daniel. Dengan pelan dia menoleh dan mengerjapkan matanya masih tidak percaya. Ini pasti mimpi. Ini hanya halusinasi. Marco memalingkan wajahnya menahan sedih, lalu dengan tidak semangat dia berusaha duduk.     

Daniel sontak membantunya, membuat Marco menoleh lagi dan melotot. "Ka ... kak?" tanya Marco tidak percaya.     

"Hm ... sudah berapa hari kamu tidak makan? Masa sampai pingsan begini?"     

Marco membuka mulutnya lalu menutupnya lagi.     

Brugkhhh.     

"Huaaa kakak! Ini benar dirimu? Huaa ...." Tanpa tahu malu Marco langsung menubruk Daniel dan memeluknya erat.     

"Maafkan aku. Aku tidak akan bohong lagi. Huaa ... jangan mengasingkan aku lagi. Aku kangen."     

"Maaf ... maafkan aku!"     

"Maafkan aku ya?"     

"Maafkan aku, Kaka!"     

Daniel memeluk Marco erat dan mengelus kepala adiknya yang masih betah meminta maaf itu.     

"Sudah ... jangan keras-keras menangisnya," kata Daniel mulai risih saat Marco menangis semakin kencang.     

"Tapi maafkan aku. Huu ... huu ...."     

"Janji tidak akan mengulangi?"     

"Janji. Sumpah. Suwer ... Nggak akan bohong lagi. Nggak akan bikin kamu kecewa lagi ... huuu ... hik ... huhuhu."     

Daniel mendesah lega. "Sudah ... jangan menangis. Aku sudah memaafkanmu. Kalau tidak aku tidak mungkin di sini."     

"Be ... benarkah ... aku ... sudah dimaafkan?" tanya Marco dengan mata yang masih basah oleh air mata.     

"Iya tapi benar, jangan begitu lagi."     

"Iya aku nggak akan mengulanginya lagi."     

"Ya sudah ... lepaskan pelukannya."     

"Nggak mau, aku masih kangen padamu." Marco malah mempererat pelukannya.     

"Dasar kamu ini, bikin susah saja."     

"Maaf."     

"Iya aku sudah maafkan. Kamu pikir aku bisa marah padamu lama-lama apa?"     

"Dua tahun."     

"Ha ...."     

"Kamu marah padaku selama dua tahun. Itu lama tahu." Marco cemberut.     

"Lupa, kamu sendiri pernah meninggalkanku selama lima tahun tanpa kabar hanya gara-gara mengira aku memecatmu? Hmm ... dua tahun bahkan belum mencapai setengahnya." Daniel mengingatkan Marco ketika kabur dulu.     

"Itu kan beda cerita. AKu pikir kamu benar-benar memcatku, makanya aku pergi."     

"Apa saat itu kamu membangun laboratorium itu?"     

Marco menggeleng. "Sebelum itu aku sudah sesekali datang. Tapi ... memang belum aku apa-apin sih." Marco menjelaskan. Dia akan menjawab apa pun pertanyaan Daniel dengan kejujuran. Marco kapok, dia enggak mau dicuekin lagi.     

"Iya, iya. Sudah ah pelukannya. Risih nih. Lagian kamu sudah punya dua anak, tapi masih cengeng," tegur Daniel.     

"Ih ... Brotha!"     

"Lagian memangnya kamu tidak mau ketemu duo J apa?"     

"Eh ... mereka juga ikut?"     

"Lebih tepatnya mereka akan tinggal di sini lagi."     

Marco melepas pelukannya dan berbinar senang. "Benarkah?"     

"Yup."     

"Kenapa? Apa Javier masih suka kumat?" tanya Marco curiga kenapa Daniel menyuruh anaknya tinggal dengannya lagi.     

Daniel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan. Hanya saja kamu tahu Jessica kan? Well... dia dan Javier terlalu akrab dan saking akrabnya Ai memergoki mereka sedang mandi bersama."     

"What?! Bagaimana bisa?"     

"Pokonya duo J dan Jessica akan kami pisahkan dahulu. Makanya duo J akan tinggal di sini lagi sampai mereka dewasa dan bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya."     

"Jadi kamu ke sini karena ingin menitipkan anakmu? Bukan karena ingin menemuiku?" Apakah wajahnya seperti tempat penitipan anak?     

"Yeah ... kurang lebih begitu."     

"Ah! Abang jahat."     

"Yang penting aku sudah memaafkanmu kan?"     

"Iya," gumam Marco tidak ikhlas.     

"Sudah jangan cemberut. Ayo temui mereka. Duo J kangen banget lho sama kamu."     

"Benarkah? Ah ... aku juga kangen. Tenang saja, jika mereka bersamaku pasti aman dan sopan."     

"Ah ... kamu pasti mengajari hal mesum, makanya Javier seperti itu. Huh ... kerjaanku berat ini. Duo J harus dikarantina biar otaknya yang sudah terkontaminasi semua yang dia lihat dari Daddy dan Mommynya segera bersih." Marco sudah ceria seperti biasanya membuat Daniel lega.     

"Iya aku tahu kamu bisa."     

"Iyalah. .. harus itu. Aku nggak mau keponakanku jadi anak nakal dan tidak berperilaku layaknya pangeran. Mereka itu ... bla ... bla ... bla ...."     

Daniel tersenyum melihat Marco yang terus mengoceh tanpa henti. Astaga ... dia rindu adiknya seperti ini. Cerewet dan penuh semangat.     

"Aku sayang padamu," ucap Daniel sambil merangkul pundak Marco.     

Marco tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Sekejap kemudian dia menerjang Daniel lagi hingga dia terjengkang ke lantai dan Marco di atasnya.     

"Ah! Aku juga sayang padamu kakak!" teriak Marco dan langsung tertawa senang.     

"Marcoooo, minggira!" Daniel benci posisi ini.     

Marco hanya tertawa terbahak-bahak. Setelah dua tahun akhirnya dia merasakan hatinya lega dan terbebas dari tekanan rasa bersalah dan kesepian.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.