One Night Accident

IMPOTEN 3



IMPOTEN 3

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Kamu suka?" bisik Jovan memeluk Gisel dari belakang.     

Gisel hanya mengangguk. Tidak sanggup berkata apa-apa. Dia tidak menyangka akan diperlakukan seistimewa ini sama Jovan.     

Berangkat dan pulang ke kampus diantarkan, di ajak jalan-jalan, diajak shoping, dikasih hadiah dan sekarang dia sedang berada di resort mewah dengan jamuan makan malam super romantis.     

Padahal mereka baru tiga hari jadian. Bagaimana kalau seminggu, sebulan, setahun. Mungkin Gisel akan kena diabetes karena punya pacar yang super manis dan romantis.     

"Kamu cantik banget sih? apalagi dengan gaun ini, kamu terlihat luar biasa. Ingatkan aku agar tidak lepas kendali dan memakanmu." Jovan menyingkirkan rambut Gisel ke samping dan mencium tengkuknya hingga meninggalkan bekas.     

"Jovannnn." Gisel yang merasa geli dan merinding menjauhkan diri.     

"Sory, kamu itu terlalu menggoda. Jangan salahkan aku yang jadi pengen cium kamu terus."     

"Jovan mesum."     

"Aku mesum sama kamu doang kok. Dulu dikasih makan apa sih sama mamamu, kok bisa gemesin begini, aku kan jadi pengen bawa ke kamar."     

"Apaan sih, makin mesum deh." Gisel berbalik dan menuju meja yang sudah di tata dengan berbagai     

hidangan restoran bintang lima.     

"Wait." Jovan mencegah Gisel saat akan duduk. Dengan santai dan senyum maksimal ia menarik kursi untuk Gisel.     

"Silahkan cintaku."     

"Trima kasih." Gisel semakin tersenyum bahagia.     

"Sama-sama." Jovan mencium tangan Gisel sebelum duduk di hadapannya.     

"Gimana kita makannya Jovan kalau tanganmu menggenggam tanganku terus?" protes Gisel.     

"Kita suap-suapan saja sayang." Tanpa menunggu jawaban Gisel. Jovan bergeser ke sebelahnya. Dengan percaya diri dia menyuapkan makanan ke mulut Gisel.     

"Aku bisa makan sendiri Jovan."     

"Tapi aku suka nyuapin kamu, aku nggak rela kalau nanti tanganmu kedinginan." Jemari Jovan mengelus tangan Gisel yang masih berada di genggamannya.     

Yang sebenarnya adalah. Jovan hanya memastikan Gisel makan banyak hingga kenyang, bertenaga dan siap dimakan olehnya. Kalau Gisel lapar dan kurang bertenaga nanti baru satu putaran sudah tepar.     

Walau Jovan sudah memberi suplemen di minumannya tapi tetap saja Jovan ingin Gisel siap sedia semalaman untuknya.     

"Jovannn, stop. Aku sudah kenyang."     

"Sedikit lagi sayang, nanggung ini. Nggak baik lho buang makanan."     

"Tapi aku beneran sudah kenyang. Makan kamu saja ya."     

"Aku kan sudah makan lebih banyak sayang. Ini bagianmu, ayo di makan. Atau mau aku suapin pakai mulut?"     

Gisel menutup mulutnya dan menggeleng.     

Akhirnya dengan pasrah dia menghabiskan makanan yang disodorkan Jovan.     

"Kenyang banget Jovan. Kamu mau bikin aku gemuk ya?"     

"Gemuk apa nya sih? Menurut aku kamu itu ideal sayang."     

"Sekarang sih masih ideal. Nanti kalau kamu kasih makan terus lama-lama gemuk juga, trus kamu nggak suka lagi sama aku." Gisel cemberut.     

"Ya ampun sayang. Aku itu cinta banget sama kamu. Nggak mungkinlah aku berpaling sama yang lain."     

"Bohong, kata anak-anak di kampus kamu itu play boy."     

"Itu kan dulu sebelum aku ketemu sama kamu. Sekarang aku beneran cinta sama kamu sayang."     

"Beneran? Nggak bohong?"     

"Suwer deh. Cintaku cuma buat kamu Gisel."     

"Nggak bakalan ninggalin aku kalau aku jadi gemuk."     

"Iya ... nggak bakalan ninggalin kamu kok."     

"Lagi pula mau sebesar apa pun tubuhmu, kamu tetap muat di hatiku sayang."     

"Gombal."     

Cup.     

Jovan mencium pipi Gisel. "I love u, very-very love u."     

Gisel menuduk malu.     

"Gisel." Jovan menyentuh dagu Gisel ke arahnya, dengan pelan tapi pasti wajah Jovan mulai mendekat.     

"I Love u," bisik Jovan sebelum menempelkan bibirnya ke atas bibir Gisel.     

Gisel sudah terlanjur melayang bahagia. Mungkin efek wine yang juga di berikan oleh Jovan, sehingga Gisel hanya bisa pasrah saat Jovan mulai memperdalam ciumannya.     

"Manis, sangat manis." Jovan melepas ciumannya hanya agar Gisel bisa menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum dia serang semakin ganas.     

"Rileks babe." Jovan mencium Gisel kembali, lalu dengan pelan dia mengangkat tubuh Gisel tanpa melepaskan ciumannya.     

Gisel yang terlarut dalam ciuman maut Jovan hanya bisa mengalungkan kedua tangannya ke leher Jovan tanpa menyadari kemanakah tubuhnya akan di bawa.     

Yang Gisel tahu tidak lama kemudian dia merasakan empuk di punggungnya dan Jovan yang kini menindih tubuhnya tanpa melepaskan ciumannya.     

"Uhhhh." Gisel tidak bisa berfikir jernih.     

Ini salah. Gisel harus menghentikannya. Tapi tubuhnya terasa lemas dan semua yang di lakukan Jovan sangat menyenangkan.     

"Jovannnnn." Gisel mencoba menyingkirkan tangan Jovan yang mulai menjalar ke arah buah dadanya.     

"Its oke, babe. Rileks. Aku nggak akan nyakitin kamu."     

Jovan mulai meremas payudaranya lembut, membuat Gisel mengerang dan mengeliat karena merasakan sesuatu yang asing di tubuhnya.     

"Kamu sangat terasa manis dan menggoda." Jovan menciumi leher hingga ke belakang telinganya.     

Tanpa sadar Gisel mengerang dan terus mengerang.     

Jovan tersenyum.     

Jangan panggil dia Jovan kalau tidak bisa menakhlukan satu orang Gisel.     

Jovan itu sudah berpengalaman. Tahu dan hafal dengan pasti, mana titik yang harus ia sentuh agar wanita tidak bisa menolaknya.     

Benar saja.     

Walau sesekali mulut Gisel mengatakan penolakan tapi pada akhirnya Gisel kalah dan menyerah juga.     

Malam itu, di kamar itu, Jovan berhasil menjebol ke prawanannya.     

Bukan hanya sekali. Tapi setelah empat putaran Jovan baru puas dan membiarkan Gisel tidur kelelahan.     

Tidak sia-sia Jovan tiga hari ini mengabaiknan pacar-pacarnya yang lain. Kalau hasilnya tidak mengecewakan jadi nggak rugi dia.     

Benar kata Paman Marco. Lebih menyenangkan meniduri perawan walau hanya 3-4 bulan sekali dari pada meniduri cewek tidak perawan setiap hari.     

Lebih istimewa.     

Jovan mengambil ponselnya dan menulis keterangan di biodata Gisel.     

Gisel.     

Done.     

***     

Drttttttt.     

Jovan meraba-raba meja di sebelah ranjang saat mendengar suara ponselnya yang terus berbunyi. Hanya tiga orang yang berani mengganggu tidurnya.     

1. Momynya. 2. Javier. 3. Paman Marco.     

"Hmmm." Jovan mengangkat panggilan tanpa membuka matanya.     

"Jovan, pulang sekarang," ucap Javier di seberang sana dengan suara keras.     

Jovan memicingkan matanya, melihat jam. Baru jam 7 pagi. Lagi pula ini weekend kenapa dia harus pulang? Apa momy dan dadynya berkunjung?     

Shitttt.     

Jovan langsung bangun. Kalau momy dan dady nya kesana tanpa ada dirinya sebagai penengah bisa cek cok lagi mereka.     

"Ada apa?" Jovan memastikan.     

"Queen hilang?"     

Jovan berkedip sebentar. Queen hilang? Pikirannya masih loading.     

"Queen hilang? Trus hubungannya sama aku apa? Queen nggak lagi selingkuh dan tidur sama aku kok. Aku lagi sama Gisel. Lagian aku nggak mungkinlah nikung Junior." Tambah Jovan.     

"Siapa yang bilang kamu selingkuh sama Queen. Maksud aku kasih tahu kalau Queen ilang itu biar kamu sama aku bantu cari."     

"Ohhh. Oke deh."     

"Cepetan. Junior ngamuk-ngamuk ini."     

"Sippp."     

Jovan mematikan panggilannya dan segera masuk ke kamar mandi.     

Ini Gisel bagaimana? Mau di tinggal begitu saja nanti dia marah. Kan Jovan masih berminat sama dia untuk sebulan yang akan datang.     

Bangunin saja deh. Batin Jovan.     

"Hay sayang?" Jovan menciumi wajah Gisel.     

Gisel yang merasa tidurnya terganggu langsung mengeliat dan membuka matanya. "Jovan?"     

"Pagi cinta. I love u." Jovan mencium bibir Gisel sekilas. Wajah Gisel langsung memerah dan mengeratkan selimut di tubuhnya. Sepertinya dia baru ingat apa yang dia alami semalam.     

"Aku benci mengatakan ini, tapi ... ada masalah di rumah dan aku harus segera pulang makanya aku membangunkanmu."     

"Apa ada yang sakit?" tanya Gisel ikut khawatir.     

"Bisa dibilang begitu, jadi kamu mau aku antar pulang atau mau di sini dulu? soalnya aku tidak yakin bisa menemuimu kapan lagi. Bisa besok, lusa atau mungkin seminggu lagi."     

"Kamu akan meninggalkanku?" tanya Gisel dengan mata berkaca-kaca.     

"Nggak sayang. Aku cinta sama kamu, nggak mungkinlah aku ninggalin kamu. Apalagi setelah semalam. Yang ada aku makin cinta tau nggak? Dan aku jadi yakin kamu juga pasti cinta sama aku."     

"Aku memang mencintaimu Jovan."     

"Iya sayang aku percaya kok. Tapi ini darurat. Serius deh, makanya aku tanya kamu mau pulang bareng sama aku atau masih ingin istirahat? Atau kamu bawa mobil aku saja ya, aku bakalan naik Taxi."     

"Mobil kamu?" Jovan mempercayakan mobilnya?     

"Iya, kamu bisa nyetir kan?" Gisel mengangguk.     

"Ya sudah aku pergi dulu ya. Aku buru-buru soalnya. Nanti Javier marah-marah kalau aku kelamaan. Ini kunci mobil aku, ini surat-suratnya." Jovan menaruh semua di meja.     

"Aku benci ini, seharusnya kita sedang sarapan bersama. Tapi aku malah harus pergi."     

"Tidak apa-apa, aku mengerti." Gisel tersenyum maklum.     

Jovan mencium bibir Gisel hingga terengah-engah.     

"Terima kasih sayang. I love u," ucap Jovan lalu mengecup bibir Gisel sekali lagi sebelum meninggalkan kamar di resort yang sudah dia sewa.     

Jovan sengaja meninggalkan mobilnya agar Gisel percaya bahwa dia tidak akan meninggalkan Gisel setelah diperawani.     

Secara, mobil Jovan bukan hanya mobil harga ratusan juta, tapi milyaran. Jadi siapa pun cewek yang Jovan izinkan membawanya pasti akan merasa dirinya sangat istimewa.     

Kan Jovan sudah bilang ia masih berminat dengan tubuhnya. Jadi ya dimanis-manisin lah, biar dia nggak kabur.     

Kalau nanti Jovan sudah bosan mah bodo amat. Mau dia nangis darah juga Jovan nggak akan perduli. Karena Jovan sudah biasa melihat cewek yang putus darinya pada menangis dan memohon-mohon minta balikan, bahkan ngancam bunuh diri juga banyak.     

Hal itu makanan Jovan sehari-hari.     

Jadi sudah tidak kaget lagi.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.