One Night Accident

IMPOTEN 7



IMPOTEN 7

0Enjoy reading     
0

***     

JDARRRRRRRRRR.     

"Maaf-maaf." Marco mengambil ponsel-nya yang terjatuh dan karena reflek dia menyenggol meja hingga terguling.     

"Oke. Zahra, Nisa kita pulang ke kampung. Nggak usah kuliah di Jakarta, di Jogja juga banyak kampus yang bagus." Eko yang sudah emosi memberi keputusan.     

"Eko, jangan begitu. kita bisa bicarakan baik-baik." Marco memohon. Bagaimanapun Eko adalah temannya dari kecil. Dia tidak mau Eko pergi dalam keadaan tidak harmonis dengan keluarganya.     

Tapi Eko yang sudah terlanjur marah dan kecewa tidak menggindahkan perkataan Marco dan menggiring anak istrinya untuk beberes dan segera pulang ke kampung.     

Jovan berbalik.     

"Kemana si Junior tadi?" tanyanya kesal.     

"Dia sudah pergi," ucap Javier.     

"Kenapa tidak kamu cegah? sialan itu bocah dia yang ngerusuh aku yang kena imbasnya." Jovan terus memaki dan ngedumel sambil keluar dari apartemen Zahra.     

"Kita harus cari tahu siapa yang sudah bantu si Junior jebak aku dan bagaimana caranya. oke?" Javier hanya mengangguk, tahu pasti saudara kembarnya itu masih emosi.     

"Tanya Ashoka saja. Dia kan yang pandai soal hackers dan memanipulasi data. Pasti dia bisa memecahkannya." Javier ingat adiknya yang pandai dalam hal peretasan.     

"Tapi di Cavendish sekarang sudah malam."     

"Ya sudah besok saja. Kalau begitu anterin ke kampus," ucap Jovan.     

"Ngapain ke kampus? terus Queen bagaimana? Junior?" Javier masih ikut khawatir dengan Junior.     

"Biarin saja Jujun cari Queen sendiri. Kamu faham nggak sih, aku itu masih kesel." Jovan menekuk wajahnya. Dia mengambil kotak p3k yang selalu tersedia di mobil dan mengobati bonyoknya sendiri.     

Javier mengalah saja. Jovan kalau moodnya sedang jelek mirip momynya. Melempar barang. Jadi sebelum Javier jadi korban lempar segala barang, lebih baik dia turuti saja.     

Jovan langsung keluar dari mobil.     

"Aku pulang besok," ucap Jovan singkat sebelum menghilang ke dalam kampus. Javier kembali menjalankan mobilnya pulang.     

Mendingan dia menghubungi Ashoka sekarang saja. Dari pada nganggur nggak ngapa-ngapain. Toh adiknya yang satu itu terkenal ramah dan tidak pernah menolak jika duo J meminta sesuatu darinya.     

Banyak orang menganggap Ashoka itu kakak dari duo J bukan adiknya. Mau bagaimana lagi dari segi tubuh Ashoka itu tinggi gede khas keturunan Cohza. Duo J kalau berjejer dengannya saja cuma sedagunya kan kurang ajar.     

Dari segi wajahpun duo J memang lebih baby face. Tidak seperti Ashoka yang berwajah boros itu.     

Ashoka itu dari segi fisik Cohza sejati, tapi dari segi kepribadian khas keturunan Cavendish. teratur dan sopan. Iyalah, putra mahkota masak mau pecicilan.     

Di lempar hak sepatu momynya tahu rasa.     

Ah ... Javier kadang kangen momy dan dadynya. Tapi, setiap melihat mereka. Javier masih kecewa.     

Entahlah. Kadang Javier juga bingung sendiri dengan perasaanya.     

***     

"Gisel sayang. Kangen deh sama kamu." Jovan langsung memeluk Gisel begitu sampai di hadapannya.     

Jovan memang sudah menghubungi Gisel agar menunggunya di sana. Begitu pak Eko dan keluarganya otw pulang ke kampung halaman.     

Jovan langsung meluncur ke kampus.     

Temu kangen dengan pacar terbarunya yang masih sempit dan seret karena baru sekali di pakai. Biar nggak stress mikirin Jujun dan semua drama yang dia bawa sama pak Eko.     

Keinget kejadian tadi, masih pengen emosi Jovan rasanya.     

Junior itu nggak tahu terima kasih, sudah dibantuin malah nyolot.     

"Jovan, kamu kenapa?" Gisel mengamati wajah Jovan yang bonyok.     

"Nggak apa-apa sayang. Cowok mah biasa begini." Jovan mencium bibir Gisel singkat.     

"Jovan. Malu dilihat yang lain." protes Gisel.     

"Biarin saja, sirik saja mereka. Tiga hari terasa seabat lamanya karena nggak ketemu kamu sayang." Jovan mempererat pelukannya.     

"Aku juga kangen sama kamu," ucap gisel malu-malu.     

"Dari pada musingin mereka mendingan kita jalan-jalan." Jovan langsung membukakan pintu mobilnya.     

Gisel berasa putri raja yang di manja-manja.     

"Kita mau ke mana?" tanya Gisel dengan wajah merona. Pasalnya Jovan menyetir sambil menggenggam tangan yang sebelah bahkan sesekali menciuminya. Gisel kan jadi gimana gitu.     

"Ini sudah sore, bagaimana kalau ke rumah kamu saja. Papa sama mama ada kan? Aku kan pengen kenalan juga sama calon mertua."     

Gisel berasa sakau.     

"Ka-ka-kamu mau melamar saya?" tanya Gisel shok.     

"Kalau sekarang sih belum. Kamu kan masih kuliah sayang. Aku nggak mau di bilang jadi orang yang bikin kamu nggak berpendidikan. Tapi sekedar kenalan boleh dongk, biar akrab saja."     

"Kalau sudah akrab, suatu hari aku lamar kamu. Mereka pasti setuju." Jovan mencium tangan Gisel lagi.     

Gisel. Jangan di tanya. Hantinya sudah dipenuhi bunga-bunga bermekaran dan harapan yang melambung tinggi.     

"Tapi orang tuaku lagi keluar kota. Di rumah cuma ada kakak aku. Itu pun pulangnya nggak tentu, suka kelayapan dia."     

Aku tahu. Batin Jovan.     

Jovan selalu menyuruh anak buahnya menyelidiki semua pacarnya. Dia tidak mau dong dapat cewek penyakitan. Kalau orang tuanya ada di rumah tak mungkin Jovan mau pura-pura ngajakin kenalan. Males banget. Pacar cuma sebulan ini. Rieweh.     

"Sayang sekali. Padahal aku beneran pengen kenalan. Tapi, nggak apa-apa deh. Mungkin nanti aku bisa kenalan sama kakakmu dulu."     

"Tapi kakakku kadang nggak pulang."     

Aku juga tahu itu. Batin Jovan. Aku cuma pengen ngamar sama kamu, ngerti tidak sih.     

"Nggak apa-apa, nanti kita tunggu. Kalau kakakmu nggak pulang sampai tengah malam baru aku pamit." Pamit masuk kamar kamu maksudnya. Batin Jovan dengan semua rencananya.     

Gisel tentu saja langsung setuju.     

"Kamu sudah makan belum sayang?" Gisel menggeleng.     

"Mau mampir makan dulu?"     

"Nggak usah, kita makan di rumahku saja ya. Aku bisa masak kok."     

"Serius? Wah beruntung banget ya aku. Punya pacar cantik, baik, pinter masak lagi. Calon istri idaman di masa depan." Jovan kembali mencium tangan Gisel.     

Gisel sungguh sangat bahagia. Seumur hidup dia sudah beberapa kali pcaran. Tapi, tidak pernah ada yang memperlakukan dia semanis Jovan.     

Jovan itu seperti tahu keinginan setiap wanita.     

Dimanjakan, diperhatikan dan selalu di nomer satukan.     

Begitu sampai kediaman Gisel. Jovan bersikap seperti di rumah sendiri. Dia bahkan dengan berani langsung mencium bibir Gisel dengan panas.     

"Akhirnya. Bisa cium kamu juga sayang. Berasa dapet air minum di tengah padang pasir, tahu nggak."     

"Bibirmu itu manis, bikin aku pengen cium terus." Jovan kembali melumat bibir Gisel dengan ganas.     

Tanpa terasa tubuh Gisel sudah rebah di sofa dan tangan Jovan berhasil masuk ke bajunya dan mengelus payudarnya dengan remasan dan belaian yang membuat Gisel terengah-engah dan mengeliat penuh nikmat.     

"Sayang, kamarmu yang mana?" tanya Jovan.     

Gisel yang sudah terbuai hanya mengacungkan jarinya ke arah sebuah pintu. Dengan cepat Jovan membopong tubuh Gisel tanpa melepaskan ciumannya dan langsung menutup pintu dengan kaki begitu memasukinya.     

Gisel lagi-lagi tidak bisa menolak saat dengan kata-kata rayuan dan sentuhan maut Jovan kembali menguasai tubuh Gisel hingga dia kelelahan dan tertidur.     

***     

Jovan terbangun karena mendengar suara di luar kamar.     

Jangan bilang orang tua Gisel sudah pulang.     

Shitt. Dengan cepat Jovan memakai bajunya dan menyelimuti Gisel. Lalu keluar dari kamar dengan pelan.     

Jovan melihat jam. Baru jam 10 malam.     

"Jovan?"     

Deggg.     

Jovan menelan ludahnya susah payah. Dia mengambil nafas dan menghembuskannya pelan. Lalu berbalik.     

"Hay. Gina," Sapa Jovan. Ingat pasti Gina itu pacarnyan 4 bulan yang lalu. Dan menurut penyelidikan Gina itu kakaknya Gisel.     

"Kamu. Ngapain di sini?" tanya Gina heran.     

Berpikir Jovan, berpikirlah.     

"Aku kan ngikutin kamu. Kamu nggak tahu aku buntuti dari belakang tadi?" ucap Jovan.     

"Kenapa kamu ngikutin aku?"     

Jovan menghampiri Gina. "Aku cuma mau bilang kalau, aku nyesel banget putusin kamu. Makanya diam-diam aku ngikutin kamu."     

"Aku ... Cinta banget sama kamu Gina. Kamu mau nggak balikan sama aku?" tanya Jovan dengan wajah di buat sesedih mungkin. Sumpah dia cocok banget jadi artis. Serius dah.     

Gina menangis dan langsung memeluk Jovan dengan erat. Dia juga masih sangat mencintai Jovan. Bahkan setelah mereka putus, Gina menjadi cewek nakal yang gagal move on.     

"Aku juga cinta sama kamu." Gina semakin menangis dan menenggelamkan wajahnnya di dada Jovan.     

Jovan menggiring gina ke sofa dan memangkunya, sesekali matanya melirik ke kamar Gisel khawatir dia bangun dan mencarinya.     

Jovan mengelus punggung Gina dan sesekali mencium dahinya. Wajahnya lalu ke bibirnya.     

"Aku kangen banget sama kamu sayang. Kangen banget," ucap Jovan di sela-sela ciumannya.     

"Sayang. Kamar kamu mana? Jangan nagis di sini ya." Gina yang masih terengah-engah karena ciuman Jovan langsung mengusap air matanya, bediri dan menarik Jovan menuju kamarnya.     

Jovan segera mengunci pintu kamar Gina.     

Ini rekor baru.     

Satu malam kakak dan adik dia tiduri semua.     

Jovan tersenyum bangga begitu mencapai klimaksnya.     

Di bawahnya Gina sudah tidak berdaya dan tertidur lelap.     

Jovan segera memakai kembali bajunya begitu selesai membersihkan diri. Pukul satu dinihari.     

Dia harus pulang. Karena besok harus mengecek rekaman CCTV. Jovan tidak perduli dengan keluarga pak Eko. Toh kutukannya benar-benar tidak terbukti. Lihat dia masih bisa menggarap kakak beradik bergantian.     

Tapi Jovan tidak mau membuat Marco salah menilainya. Karena bagaimanapun Marco orang yang dari kecil merawatnya. Jovan tidak mau Marco malu dan merasa terhina.     

Makanya dia harus membuktikan kalau dia tidak bersalah. Dia tidak ada niat sedikitpun melecehkan Zahra.     

Berminat saja tidak.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.