One Night Accident

IMPOTEN 10



IMPOTEN 10

Enjoy Reading.     
1

"Jav, Javier. Bangunnn, Javierrrr." Jovan menggoyang-goyangkan tubuh Javier agar terbangun.     

"Apa sih Jov. Ganggu aja sih. Pergi ke rumah pacarmu sana, elah. Aku mau tidur." Javier menutup wajahnya dengan bantal.     

"Javvvvv, bangun. Tega banget sih. Sodara lagi terkena musibah, kamu malah tidur." Jovan melihat Javier dengan wajah super melas.     

Javier membuka matanya dan melempar bantal begitu saja. Lalu terduduk. "Siapa yang kena musibah?" tanya Javier sigap.     

"Ini." Jovan menunjuk dirinya sendiri.     

Javier melihat Jovan yang terlihat nelangsa. "Badan kamu kelihatan sehat, apanya yang kena musibah? diputusin pacar kamu? bukannya biasanya kamu yang mutusin mereka ya?"     

"Bukan, Jav. Ini lebih parah dari di putusin 100 pacar. Anuku Jav, Anuku."     

"Anu apa?"     

"Anuku nggak mau bangun," ucap Jovan mengerang frustasi. Hari ini dia sudah cek kesehatan di Rumah sakit. Dari cek darah hingga cek laborat. Hasilnya dia sehat walafiat. Tapi, anehnya si Anu tetap tak bisa bangun. Padahal suster cantik di Rumah sakit sudah ikut bantu memeriksa. Tentu saja dengan di jilat dan di masukin. Untung saja Jovan memakai masker waktu periksa. Jadi tidak akan ada yang tahu bahwa sang playboy kijang kencana kini tidak bisa menunggangi wanita lagi.     

"Kamu ngomong apa sih? Ona, anu, ona, anu. Yang jelas, kamu kenapa? ini jam tiga pagi jangan becanda kamu." Javier yang masih mengantuk mulai tidak sabar.     

Jovan dengan setengah rela membuka celananya. "Lihat, dia bobo. Nggak mau bangun."     

"E ... Buset. Ngapain kamu tunjukin sama Aku?" Javier melempar guling ke arah milik Jovan.     

"Habisnya kamu nggak ngerti-ngerti." Jovan kembali memakai celananya lalu duduk di pinggir ranjang.     

"Si Anu sudah 10 hari nggak mau bangun Jav."     

"Kalau di sini ya nggak mungkin bangunlah. Bawa ke tempat pacarmu sana, biar dibangunin. Jangan di bawa kemari. Ganggu saja." Javier baru akan merebahkan dirinya lagi saat Jovan menariknya duduk.     

"Nggak bisa Jav. Tetep nggak bisa bangun. Udah diemut-emut, udah dikocok-kocok. Tapi, tetep saja nggak mau bangun. Aku impoten Javvvvv." Jovan merengek-rengek seperti bocah yang mainananya habis di rebut.     

"Impoten? serius?" tanya Javier memastikan.     

"Kalau ini nggak mau bangun, apa namanya kalau bukan impoten?" Jovan sudah berguling-guling di kasur sambil memukulinya.     

"Jovvvv, tenang dulu. Kita periksa dulu ke rumah sakit. Siapa tahu ada yang nggak beres sama tubuhmu." Javier berusaha menenangkan saudara kembarnya.     

"Aku sudah periksa. Hasilnya aku sehat. Tapi si Anu tetap nggak bisa di pakai, huwaaaaaa Javierrrrrr tolong akuuuuu. Aku musti gimanaaaaa? Kalau aku nggak bisa ngwe lagi gimanaaa? Aku nggak bisa punya anakkkk." Jovan semakin menjadi-jadi.     

"Waittttt, Jovan. Diem dulu." Javier memegang tubun Jovan agar tenang. Jovan cemberut, wajah kusut dan stress luar biasa.     

"Aku nggak tahu sih. Ini berhubungan atau tidak. Tapi, kamu masih inget nggak sekitar dua minggu yang lalu. Waktu Junior hampir perkosa Zahra." Jovan mengangguk.     

"Jangan bilang kalau kutukan pak.Eko manjur?" ucap Jovan.     

"Bisa jadi."     

"Nggak mungkin Jav. Kan bukan aku yang perkosa Zahra, justru kita nolongin. Harusnya nggak mempan dong kutukannya." Jovan membantah.     

"Iya juga sih. Astagaaaaa, aku ingat. Sepuluh hari yang lalu, setelah acara pernikahan Junior. Aku bangunin kamu tengah malam. Ingat?" tanya Javier. Jovan berfikir sejenak dan mengangguk.     

"Aku melihat ada sesuatu yang masuk ke tubuhmu. Mungkin kutukan pak.Eko nggak manjur tapi bagaimana kalau saking sakit hatinya, pak.Eko kirimin kamu santet impoten?"     

"Jangan ngaco deh Jav." Jovan mulai takut nih. Dia benci segala sesuatu berbau supranatural.     

"Duduk yang anteng. Coba aku periksa." Javier menutup matanya.     

"Jav, kamu nggak lagi manggil setan kan?" tanya Jovan takut-takut.     

Javier membuka matanya lagi, "Aku ini indigo, bukan dukun. Diem saja." Javier kembali menutup matanya sebentar lalu dia melihat Jovan dengan intens. Beberapa saat kemudian matanya melotot terkejut.     

"Jav. Kamu kenapa? Kenapa lihatin aku kayak gitu?" Jovan takut. Sumpah dia beneran takut sekarang. Apalagi melihat Javier yang sepertinya mulai berkeringat. Padahal di kamar ini Ac menyala.     

Lalu tiba-tiba Javier terhuyung hampir jatuh. Otomatis Jovan segera menangkapnya.     

"Jav. Kamu nggak apa-apa?" tanya Jovan khawatir saat melihat mata Javier tertutup.     

Javier membuka matanya dan menarik nafas dalam. "Kamu beneran di santet," ucap Javier tepat di mata Jovan.     

"Se-serius? Terus bagaimana? kamu bisa hilangin kan?" tanya Jovan penuh harap.     

Javier melepaskan diri dari dari tangan Jovan. "Aku sudah bilang. Aku hanya indigo bukan dukun."     

"Ya sudah kita cari dukun yuk. Biar santetku dihilangkan."     

"Bukannya kamu nggak percaya sama hal-hal begituan?" tanya Javier heran.     

"Aku nggak akan percaya kalau orang lain yang ngomong. Tapi, yang ngomong kan kamu. Jadi percaya nggak percaya aku tetap bakal percaya. Jadi gimana? Bisa kita cari dukun sekarang?"     

"Bisa saja sih. Tapi resikonya tinggi."     

"Resiko apalagi?"     

"Dukun itu ada tingkatannya. Kita bisa saja cari dukun atau orang pinter. Tapi, kita bisa pastiin nggak kalau dukun kita lebih sakti dari dukunnya pak Eko? Salah-salah santetnya bukan hilang tapi kamu malah tambah celaka."     

"Terus bagaimana dongk. Masak aku nggak bisa indehoy lagi." Jovan mulai merengek-rengek lagi.     

"Karmamu itu. Suka mainin cewek sih."     

"Javvvvv. Bukannya bantuin kenapa malah nyudutin sih. Bagaimana ini nasib Anuku?"     

"Ini juga lagi mikir."     

"Jav. Kalau minta tolong pak.Ustad bagaimana?"     

"Biar kamu di rukyah?" Jovan mengangguk.     

"Bisa sih. Tapi, ya balik lagi. Pak ustadnya ilmunya lebih tinggi apa tidak dari dukunnya? kalau lebih tinggi kamu pasti sembuh. Kalau lebih rendah ya itu tadi kamu akan semakin celaka."     

"Kamu kok nakutin melulu sih dari tadi?" protes Jovan.     

"Siapa yang nakutin, aku cuma ngomongin efek sampingnya. Kalau kamu siap aku oke-oke saja. Atau kamu coba solat tobat sana. Siapa tahu manjur. Kamu kan nggak pernah solat."     

"Jum'at kemarin aku sholat ya. Begini-begini aku masih ingat pesan Paman Marco. Pahala dan dosa harus seimbang. "     

"Sholat seminggu sekali saja bangga. Sudah sana sholat taubat dulu, masih ingat cara wudhu kan?" Teriak Javier saat Jovan masuk ke kamar mandi.     

"Masihlah," jawab Jovan dengan teriak juga.     

"Jav. Kamu nggak sholat juga. Do'ain aku dongk, biar sembuh."     

"Aku sholat apa jam segini, nanggung udah jam setengah empat sebentar lagi subuh."     

Jovan memberengut lalu melakukan sholat di kamarnya sendiri.     

Satu jam kemudian Jovan kembali ke kamar Javier, ternyata kakak kembarnya juga baru selesai sholat subuh.     

"Aku kamu do'ain kan?"     

"Hmmm."     

"Kalau begitu, biar aku periksa." Jovan masuk ke dalam kamar mandi milik Javier.     

"Javvvvvvv, tetap nggak mau banguuuunnn." Jovan keluar dari kamar mandi dengan tampang semakin kusut.     

"Do'aku dan do'amu nggak di kabulkan. Bagaimana iniiiiiiiiiiiii." Jovan terduduk di lantai sambil mengusap rambutnya frustasi.     

"Bagaimana lagi. Kayaknya kamu memang musti minta maaf Jov," ucap Javier duduk di pinggir ranjang.     

"Minta maaf? Sama siapa?"     

"Sama Om Eko lah. Siapa lagi."     

"Tapi aku kan nggak salah."     

"Iya, masalahnya Om Eko tahunya kamu yang salah."     

"Terus kalau aku suruh tanggung jawab nikahin Zahra bagaimana?"     

"Ya sudah nikahin saja."     

"Enak saja. Apa kabar putri inggrisku."     

"Anggap saja Zahra selirmu. Bukannya kamu pengen punya banyak selir. Kalau memang suruh nikah     

ya nikah siri saja, kamu kan pinter ngomong. Rayu saja biar pernikahan tidak sampai terhembus ke Jakarta."     

"Iya juga ya. Oke deh aku bakalan minta maaf ke Om Eko dan menjelaskan semuanya." Jovan langsung berdiri dengan semangat.     

"Mau aku temenin?" tanya Javier.     

"Em ... nggak usah deh. Aku sendiri saja, aku yakin semua akan beres dan kesalah pahaman ini akan segera clear. Paling 2-3 hari semua pasti bakalan beres." Jovan yakin seyakin-yakinnya.     

"Yakin mau sendiri?"     

"Tentu. Sebaiknya aku berangkat ke Jogja secepatnya, kalau perlu hari ini juga." Jovan kembali ke kamarnya untuk mengambil ponselnya agar bisa memesan tiket pesawat.     

Lima jam kemudian.     

"Oke, aku berangkat dulu ya. Aku segera pulang kok." Jovan memeluk Javier sebelum melangkah masuk ke dalam bandara. Melambaikan tangannya sebelum semakin menjauh.     

Javier mendesah, "Beneran dia bakalan baik-baik saja? aku khawatir." Javier memandang Alxi di sebelah kanan dan Junior di sebelah kirinya.     

"Slow aja kali. Semua bakalan sesuai rencana. Gue yakin Jovan bakalan balik dalam keadaan taubat." Alxi menepuk bahu Javier sebelum masuk ke dalam mobil.     

"Semoga saja," ucap Junior ikut menyingkir dan masuk ke dalam mobil. Javier kembali mendesah sebelum ikut bergabung dengan mereka berdua.     

Dia tidak yakin dengan ini. Tapi, dia juga ingin Jovan berubah.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.