One Night Accident

IMPOTEN 12



IMPOTEN 12

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Hay babe. Bagaimana kabarmu?" sapa Jovan membuat Zahra yang terlanjur duduk dan menutup pintu langsung melotot.     

"Jo-Jo Jovan?" Zahra langsung ketakutan.     

Berbagai pertanyaan menghujani otaknya.     

Baru saja dia ingin melupakan. Kenapa salah satu triple J ada di sini? Untuk apa Jovan berada di Jogja? Apa Jovan ingin balas dendam karena dia sudah memfitnahnya? Atau Jovan datang bersama Junior dan akan memperkosa dirinya.     

Zahra sudah akan membuka pintu dan kabur saat tangannya di cekal oleh Jovan.     

"Sttttt." Jovan meletakkan jari ke depan bibirnya dan melepas cekalannya saat Om Mico masuk ke kursi kemudi.     

Zahra ingin lari tapi tatapan Jovan seolah mengancam. Akhirnya Dia hanya menunduk pura-pura tidak kenal saja.     

"Oh ya. Jovan kenal Zahra ya? kan Zahra kuliah di tempat bang Marco juga di Jakarta."     

"Kenal dong Om. Kita kan satu fakultas. Sama-sama calon dokter kandungan. Iyakan Zahra?" ucap Jovan penuh penekanan.     

"I ... Iya Om."     

"Berarti sudah tidak canggung lagi ya."     

"Ya nggak dong Om. Justru Jovan ke Jogja sebenarnya ada perlu dengan Zahra juga. Jadi bagaimana kalau Om turunin aku sama Zahra di Cafe sekitar sini atau restoran atau apalah. Soalnya ada hal penting yang mau Jovan bahas sama Zahra, mumpung ketemu jadi sekalian saja."     

"Nanti saja Jovan. Kamu pasti capek. Lagi pula rumah Zahra deket kok dari penginapan punya Om. Nanti kamu bisa ngobrol sepuasnya."     

"Iya, nanti saja Jovan. Kamu nanti bisa keliling-keliling dulu melihat suasana pantai," ucap Zahra berusaha menjauhkan Jovan. Dia mulai was-was. Dia ingin Jovan tidak mengganggu keluarganya dan hidupnya. Cukup Junior yang sudah membuatnya merasa sangat hina karena ditelanjangi dan hampir di perkosa.     

Zahra sudah banyak mendengar tentang pria Cohza yang suka semena-mena dan seenaknya sendiri. Apalagi soal sepak terjang Jovan yang suka bergonta ganti pasangan.     

Astagfirullohaladzim. Zahra baru sadar kalau Jovan juga pernah melihatnya dalam keadaan telanjang bulat. Bahkan memeluknya.     

Zahra semakin yakin harus menghindari Jovan secepatnya.     

"Oke. Om nanti turunin Jovan sama Zahra ke pantai saja ya Om. Nanti Jovan pulangnya biar barengan saja sama Zahra." Jovan tersenyum sambil mengedipkan mata ke arah Zahra. Tentu saja Om Mico tidak melihatnya.     

"Oh, ya sudah kalau begitu."     

"Tapi Jovan. Aku musti nganterin obat ini dulu, soalnya harus segera diberikan pada pasien ibuku." Zahra memberi alasan.     

"Biar Om Mico saja yang kasih ke Bu. Aisah. Kamu temani Jovan saja ya. Kalian kan sudah kenal akrab dan seumuran pasti lebih nyambung kalau ngobrol. Apalagi kata Jovan ada perlu juga." Jovan ingin sekali berterima kasih pada Om. Mico yang super pengertian.     

"Nggak usah Om, nanti ngerepotin?"     

"Nggak apa-apa. Rumah Om kan ngelewatin rumahmu. Lagian kamu ini, kayak sama siapa saja."     

Jovan menyeringai. Sedang Zahra tahu dia sudah terpojok.     

Sepanjang perjalanan Zahra hanya sanggup berdoa semoga dia selamat sampai rumahnya.     

"Zahra." Zahra tersentak kaget saat melihat pintu mobil di sampingnya sudah terbuka. Jovan melihat Zahra intens dan menunggunya keluar. Ternyata mereka sudah berada di pantai. Tapi kenapa harus pantai paling ujung di mana jarang orang lewat.     

"Zahra?" Jovan kembali memanggilnya karena dia tak kunjung merespon. Zahra menaruh obat yang dia beli begitu saja lalu keluar dari mobil. Memandang melas saat mobil Mico mulai menjauhi mereka.     

Dia tahu dia di ujung tanduk. Bagaimana tidak. Dulu saat Junior atau Jovan yang hampir memperkosanya saja bisa bebas merdeka. Padahal ada om Marco dan bapaknya. Apalagi sekarang dia sendirian.     

Zahra membaca Al-fatikhah berkali-kali sambil berharap, apa pun yang akan dilakukan Jovan untuk membalas fitnahnya. Semoga dia tetap memiliki harga diri sebagai wanita.     

Jovan memandang tubuh Zahra yang membelakanginya. Kenapa Zahra kelihatan ketakutan lihat wajahnya? memang dia kayak setan apa ya?     

Zahra menghirup nafas dan mengeluarkannya perlahan sebelum berbalik. "Jovan. Aku, Em ... aku."     

"Kamu kenapa gagap begitu? takut aku ngapa-ngapain kamu? tenang saja seleraku tinggi, enggak minat sama cewek macam kamu," ucap Jovan langsung jleb seketika.     

Zahra langsung mendongak melihat wajah Jovan. "Maksudnya apa? cewek macam aku?" Tanya Zahra tersinggung.     

"Ups ... tidak bermaksud menghina kok. Cuma bilang saja kalau kamu bukan seleraku."     

"Iyalah. Kamu kan sukanya paha sama dada yang di obral geratis." Zahra mulai berjalan di pinggir pantai. Kesal dengan ucapan Jovan.     

"Slow aja kali nggak usah ngegas." Jovan mengikuti di sampingnya.     

"Sebenarnya kamu mau apa sih? Ngapain kamu ke Jogja. Memang cewek di Jakarta sudah habis kamu embat semua. Atau kamu itu yang sebenarnya janjian sama artis yang terciduk kemarin."     

"Artis siapa?" tanya Jovan bingung.     

"Nggak tahu, apa pura-pura nggak tahu? Bukannya kamu pengalaman soal wanita-wanita begitu. 80 juta cuma buat zina," cibir Zahra. Tidak habis fikir dengan orang-orang yang mau mengeluarkan banyak uang hanya untuk dosa.     

"Oh. Kamu lagi ngomongin si artis 80 juta. Ngapain bahas dia, tubuh-tubuh dia. Biarkanlah mau dia apain juga. Dia nggak ngerugiin kamu kan?" ucap Jovan santai.     

Zahra melihat Jovan tidak percaya. "Cowok kayak kamu ini memang cocok sama cewek nggak bener. Sama-sama murahan." Zahra berbalik dan hendak pergi.     

"Woowww, slow babe. Kenapa jadi kamu yang tersinggung? Aku ngomong apa adanya. Artis itu nggak ngerushin hidup aku. Jadi ngapain aku bahas hidupnya dia."     

"Dia memang nggak ngerusuh di hidup aku. Tapi, sesama muslim harus saling mengingatkan. Apa yang benar dan apa yang salah," ucap Zahra berapi-api.     

"Kamu yakin ngingetin doangk? Atau malah ngehujat? Setahu aku nih ya sesama muslim juga nggak boleh saling menghujat. Percuma pakai syari tapi nggak bisa menahan mulutnya. Suka gosipin orang, buli, ngatain di sosmed dan menjudge orang sesuka hati. Itu juga dosa lho." Jovan tersenyum santai.     

Zahra semakin emosi. "Tahu apa kamu soal dosa? Cowok yang memang suka gonta-ganti pasangan macam kamu pasti suka dapat cewek murahan. Apalagi malah ada Yang seenaknya membandingkan penghasilan pelacur dengan ibu rumah tangga yang cuma 10 juta per bulan sudah merangkap nyapu, ngepel dan babysister. Kan kurang ajar."     

Jovan speclez sampai tidak bisa berkata apa-apa. Yang Jovan tahu Zahra itu pendiam dan penurut seperti tante Lizz. Kenapa di sini bawel banget. Apa karena ini kampung halamannya?     

"Aku sebenarnya bingung dengan yang kamu bicarakan. Tapi kok jadi bawa-bawa emak-emak juga sih?"     

"Nih, baca sendiri." Zahra menunjukkan ponselnya di mana ada postingan bersliweran di beranda miliknya.     

Jovan yang sebenarnya malas buka sosmedpun membaca postingan itu. Lalu dia mengangguk-angguk mengerti.     

"Dia udah konfirmasi tuh, kalau dia posting itu bukan maksud membanding-bandingkan psk dengan ibu negara. Eh ... maksudnya ibu rumah tangga." Jovan menunjukkannya pada Zahra.     

Zahra mengambil ponselnya. "Dia cuma konfirmasi bahasa, seolah-olah kita nggak ngerti apa arti murahan. Berpenghasilan lebih sedikit bukan berarti lebih murah."     

"Ya sudah sih. Nggak usah di urusin."     

"Aku juga nggak mau ngurusin. Tapi sebagai wanita yang nanti pasti akan menikah aku tersinggung. Istri itu kata jamak dan dia pake kata istri buat perbandingan dengan psk. Seolah-olah jadi pelacur itu keren karena di bayar mahal. Seolah-olah jadi psk itu hal yang bagus asal bisa pasang tarif tinggi. Mikir dongk. Kalau generasi bangsa otaknya seperti itu. Mau jadi apa Indonesia."     

"Kalau pendapatku sih. Aku akui dia salah melakukan perbandingan," Jovan akhirnya tidak tahan dan ikut memberi pendapat.     

"Salah lah. Melakukan perbandingan kok sama emak-emak. Jangan kaget kalau di bully."     

Jovan tertawa. Sumpah Ia tidak menyangka kalau Zahra itu kalau sudah adu pendapat ternyata nggak mau kalah. Kenapa dia nggak ngambil presenter gosip saja, malah mau jadi Dokter kandungan.     

"Iya kamu benar. Dia seharusnya tidak membandingkan Psk dengan ibu rumah tangga. Tapi si dia kan artis, harusnya perbandingannya sama artis juga dongk. Biar setara gitu."     

"Sama artis? Siapa?" tanya Zahra.     

"Bisa siapa saja. Coba saja pikir. Sebagai contoh Artis yang sekelas Saskia gotik saja bisa dapet ratusan juta sekali manggung, itu pun hanya satu jam. Atau si Jedar yang jadi presenter, cuma nongol sejam juga dapat ratusan juta. Lha si dia ngangkang semalaman cuma dapet 80 juta? Capekan mana coba?"     

"Intinya kalau dia di bandingin sama orang yang penghasilannya di bawahnya memang 80 juta terlihat sangat WOW. Tapi, jika dia di bandingkan dengan orang yang setara dengannya. Dia lah yang paling murah."     

Zahra melihat Jovan takjub. Dia tidak menyangka Jovan punya pemikiran se oke itu. Harus dia akui pria     

Cohza memang cerdas dan cepat tanggap. Cuma sayang otak mereka lebih sering buat mikirin selakangan dari pada mikir yang lain. Jadi ya jangan heran kalau mereka lebih terlihat semaunya sendiri.     

"Tidak ada bantahan lagi?" tanya Jovan melihat Zahra yang malah tersenyum lalu berjalan menjauh.     

Jovan mengikuti Zahra dalam dia. Ia melihat pantai yang terlihat indah dengan matahari yang sore yang akan tenggelem. Andai Anunya nggak lagi loyo. Pasti asik pacaran di sini. Bikin teda dan gesek-gesek sepanjang malam.     

Astagaaaa.     

Dia ketemu Zahra buat ngerayu dia agar bapaknya mau cabut kutukannya kenapa malah bahas si manusia 80 juta.     

"Zahra. Sebenarnya ...."     

"MENJAUH DARI ANAKKU BOCAH MESUMMMM."     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.