One Night Accident

IMPOTEN 21



IMPOTEN 21

0Enjoy reading.     
0

***     

"Jovannnnn."     

Brukggggh.     

Seorang wanita tiba - tiba berlari ke arah Jovan dan memeluknya erat.     

"Jovannn, kamu ke mana saja? Aku kangen tahu. Terakhir kamu chat aku sebulan yang lalu." Wanita itu masih memeluk Jovan sambil mencebik cemberut. Jovan meringis, mengingat - ingat siapa nama perempuan itu.     

"Ehemmm."     

Mendengar suara deheman, Jovan dan wanita itu menoleh ke asal suara.     

Shittt. Jovan lupa ada Zahra di sebelahnya.     

Dengan pelan tapi pasti Jovan melepas pelukan wanita di depannya itu.     

"Kamu siapa? kenapa bisa bareng Jovan? Eh ... bukannya kamu cewek yang dulu suka di antar sama Junior ya?"     

"Namaku Zahra, Aku ... "     

"Zahra emang dulu yang suka di anterin Junior. Kan papanya Junior teman akrab bapaknya Zahra." Jelas Jovan sebelum Zahra membongkar status mereka sebagai suami istri.     

Sebagai pacar nggak masalah, kan selama ini Jovan punya banyak pacar. Tapi, suami istri lain cerita.     

"Trus, kenapa sekarang bisa sama kamu?"     

"Oh aku tahu, nggak bisa jadi istri Junior sekarang kamu pedekate sama Jovan? iya kan?" tanya wanita itu sambil melihat Zahra sinis.     

"Nggak," jawab Zahra singkat. Lagian ngapin Zahra PDKT sama Jovan. Tak usah PDKT juga sekarang Jovan sudah jadi suaminya. Batin Zahra kesal.     

"Kalau nggak pdkt sama Jovan, ngapain di sini ganggu aku sama Jovan. Nggak pernah lihat orang pacaran lagi temu kangen ya?"     

"Pacaran?" Zahra menatap Jovan tajam.     

"Iya, aku itu pacarnya Jovan? Mending kamu jauh - jauh deh. Jovan itu sudah ada yang punya."     

Jovan berusaha menjauh dari wanita di depannya. Menyadari mimik Zahra yang semakin tidak enak.     

Jovan sepertinya belum pernah ena-ena dengan wanita yang ada di depannya. Karena kalau sudah, Jovan pasti ingat siapa nama dan bagaimana rasanya.     

Pasti ini cewek yang baru Jovan tembak dan belum sempat Jovan nikmati trus keburu kena kutukan pak Eko.     

"Maaf sepertinya kamu salah orang. Aku kenal kamu saja nggak, masak kita pacaran sih. Kenalin ini Zahra, kekasihku." Jovan langsung menarik pinggang Zahra merapat kearahnya.     

"Nggak usah pegang-pegang. Urusin saja pacarmu." Zahra terlanjur kesal. Dengan cepat dia menjauh dari Jovan dan wanita yang mengaku sebagai pacarnya.     

"Zahraaa, dengerin dulu ...." Jovan baru akan mengejar Zahra saat tangannya dicekal oleh wanita itu.     

"Maksud kamu apa? kamu bilang cinta sama aku. Kenapa sekarang pura-pura nggak kenal?"     

"Aku emang nggak kenal sama kamu. Nggak usah sok asik deh. Pacarku cemburu itu."     

Plakkkk.     

"Dasar cowok brengsek." Wanita itu pergi dengan berlinang air mata.     

Jovan mengelus pipinya dan mencari keberadaan Zahra.     

Bisa gawat kalau Zahra ngambek. Pilihannya ada dua. Dia ngadu ke Paman Marco atau ngadu ke bapaknya.     

Ngadu ke paman Marco. Jovan auto dilibas.     

Ngadu ke bapaknya. Jovan impoten permanen.     

Dua-duanya sama-sama beresiko.     

Malam pertama saja belum, udah loyo lagi.     

Mana asiknya coba. Yang ada Sengsara dia.     

***     

Zahra melihat dari Jauh, Jovan sudah menunggunya di samping mobil. Sebenarnya Zahra ingin pulang sendiri karena kesal dengan kejadian tadi pagi. Bagaimana enggak kesal coba, kalau suaminya diakui pacar sama cewek lain. Baru menikah 10 hari, sudah ada yang ganggu rumah tangganya. Kan sebel jadinya.     

Tetapi begitu mendapat chat dari Jovan dan melihat Jovan beneran panas - panasan menunggunya di parkiran kok Zahra jadi kasihan juga ya.     

Uchhhhh, kenapa sih Jovan itu ganteng banget. Zahra mau ngambek kan jadi susah. Mana kalau lagi ngerayu lebih manis dari pada gula.     

Akhirnya karena tak tega, Zahra menghampiri Jovan juga. Walau wajahnya masih di tekuk.     

Jovan langsung tersenyum lebar dan membuka pintu mobilnya untuk Zahra.     

Zahra melihat sekeliling sebelum masuk, khawatir ada yang melihatnya. Antara malu dan tersanjung dengan perlakuan Jovan.     

"Sudah makan siang?" tanya Jovan begitu duduk di kursi kemudi.     

"Nanti saja di rumah, kan masakanku tadi pagi masih ada."     

"Kamu mau makan masakan tadi pagi? udah nggak enak kali Zahra."     

"Tapi ... sayang kalau di buang, mubadzir."     

"Kamu itu calon dokter, nggak ngerti makanan sehat apa ya. Kita cari makan di restoran saja."     

"Tidak usah, mampir ke minimarket dekat apartemen saja ya, beli sayur. Sekalian buat makan malam kita."     

"Ya sudah terserah kamu deh. Tapi, nanti malam aku kan nggak pulang. kamu masak buat kamu sendiri saja ya."     

Zahra mengangguk. Walau agak kecewa tapi dia menahannya. Bagaimanapun juga Zahra paham posisi Jovan yang serba salah. Dan mungkin Jovan masih belum siap dimarahi kedua orangtuanya karena menikah diam-diam.     

"Oh ya, mengenai tadi pagi. aku beneran nggak kenal itu cewek kok. Sumpah deh."     

"Kenal juga enggak apa-apa. Dia kan nggak tahu kita sudah menikah. Tapi, bisakan kamu putusin dia. Bagaimanapun mas Jovan suamiku sekarang dan aku tidak suka jika ada wanita lain yang mengaku sebagai pacarmu."     

"Mas janji kok, mulai hari ini nggak akan ada cewek disekitar mas. Kan aku sudah punya dek Zahra yang cantik jelita. Buat apa nyari yang lain yang belum tentu semanis dan sebaik dirimu."     

Zahra menuduk malu saat mendengar pujian Jovan.     

"Percaya kan sama mas Jovan?" tanya Jovan memastikan.     

Zahra hanya sanggup mengangguk. Apalagi saat Jovan dengan lembut mengambil telapak tangannya dan menciumnya lembut.     

"Trima kasih sayang. Mas nggak bakalan kecewain kamu." ucap Jovan dengan senyum mautnya. Yang tentu saja, sebagai wanita biasa. Zahra meleleh seketika.     

Akhirnya Jovan mengantar istrinya berbelanja.     

Well mana Jovan mengira ia akan berbelanja dengan istrinya hanya di Minimarket. Padahal dalam bayangnya kalau belanja dengan istrinya pasti ke butik ternama atau ke Mall besar dengan barang-barang mahal dan mewah.     

Dulu mereka belanja ikan pas di Jogja. Sekarang belanja sayur. Benar-benar melenceng jauh dari khayalan.     

Setelah selesai belanja mereka mengantri di kasir. Sayang siang itu antrian cukup panjang sehingga Jovan bisa melihat beberapa kali Zahra terlihat mulai kelelahan.     

"Kamu naik saja, biar aku yang antri dan membawanya ke Apartemen."     

"Tapi ini masih lama lho," tunjuk Zahra pada antrian di depannya     

"Nggak apa-apa. Sudah sana ke Apartemen duluan. Yang ini biar mas Jovan yang urus." Jovan mengelus punggung Zahra di sertai senyumnya yang memabukkan.     

"Makasih," ucap Zahra tersanjung. lalu berbalik menuju Apartemen Jovan. Tapi saat sampai di sana, ternyata Om Marco sudah menunggunya di pintu Apartemen.     

"Asalamu'alaikum, Om."     

"Wa'alaikum salam. Zahra bagaimna kabarnya?"     

"Baik, Om."     

"Om boleh masuk."     

"Oh, silahkan Om." Zahra membuka pintu Apartemen dan mempersilahkan Marco masuk ke dalam.     

Begitu sudah di dalam Marco duduk di sofa dengan Zahra yang juga duduk di depannya. "Om mau minum apa?" Zahra menawarkan. "Tidak usah. Om nggak lama kok." Zahra mengangguk.     

"Zahra, em ... Om kesini karena mau minta maaf dengan apa yang sudah Junior lakukan padamu. Om malu dan merasa tidak enak padamu dan keluargamu."     

"Sudahlah Om. Itu sudah berlalu. Zahra dan keluarga, tidak mau mengungkitnya lagi."     

Marco mengangguk mengerti. Pasti Zahra masih trauma, makanya tidak mau membahasnya.     

"Trimakasih ya. Om benar-benar merasa bersalah karena kamu dan Jovan harus berbohong demi hubungan baik Om sama papamu."     

Zahra hanya menunduk. Merasa bersalah juga karena membohongi Marco. Orang sebaik Om Marco kenapa selalu jadi korban.     

"Zahra, ini mau di taruh di mana?" Jovan yang baru masuk langsung terdiam karena melihat Marco di sana.     

"Jovan? Kamu apa di sini?" tanya Marco curiga.     

"Eh, itu ... Em, tadi Zahra belanja di bawah dan kesulitan membawanya, makanya Jovan bawakan ke sini."     

Marco masih merasa ada yang aneh. Tapi Aura Zahra dan Jovan masih sama seperti sebelum - sebelumnya. Jadi akhirnya Marco memilih percaya saja.     

"Kamu ada jadwal menangani pasien di rumah sakit kan? Ayo berangkat bareng Aku sekalian." Marco berdiri dan mengajak Jovan pergi dari sana.     

"Eh ... Ya sudah deh. Zahra, aku berangkat dulu ya."     

"Hati - Hati ya. Dan terima kasih belanjaannya."     

Jovan hanya mengangguk. Dan keluar bersama Marco.     

"Em ... Jovan makasih ya udah jagain Zahra."     

"Sama - sama Paman. Tapi, bisakan Paman jangan ketemu Zahra keseringan. Pokonya dalam waktu dekat ini jangan ketemu Zahra dululah."     

"Kenapa?"     

"Ya nggak enak sama Queenlah. Kalau Paman sering ketemu Zahra nanti di kira Paman masih berharap Zahra jadi mantumu. Kan kasihan Zahra di tuduh terus."     

Marco menghela nafasnya pasrah. "Ya sudah deh kalau begitu. Tapi, janji sama Paman. Kamu harus sering tengokin Zahra di apartemen kamu dan bantu dia kalau lagi kesulitan. Oke."     

"Siap Paman. Semua dalam kendali Jovan. Jovan janji akan jagain Zahra seperti Jovan jaga adik Jovan sendiri. Bakalan Jovan tengok keadaannya setiap hari. Kalau perlu Jovan periksa sehari tiga kali biar Paman merasa tenang."     

Marco tersenyum menepuk bahu Jovan tanda berterima kasih.     

Jovan tersenyum lega. Untung Zahra masih perawan. Kalau tidak pasti Marco akan langsung tahu dari Auranya. Menunda malam pertama ternyata ada manfaannya juga.     

Yang penting sekarang bikin Marco tidak menemui Zahra. Apalagi jika nanti Zahra sudah berhasil dia prawani.     

Jovan masih males di tanya-tanya sama Paman tersayangnya itu.     

Lagi pula Jovan kan butuh PDKT sama Zahra. Biar Zahra bahagia lahir batin. Kalau Zahra sudah bahagia pasti dia bisa membujuk bapaknya agar mencabut kutukan impoten dari tubuhnya.     

Pleaseeeee.     

Jovan sudah kangen dengan rasa bercintaaaa.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.