One Night Accident

IMPOTEN 22



IMPOTEN 22

0Enjoy reading.     
0

***     

"Okey babe sampai ketemu nanti malam." Jovan mencium pipi seorang gadis sebelum sang gadis masuk ke dalam mobilnya dan menjauh.     

Jovan melambaikan tangannya dan berbalik lalu terhenti saat melihat saudara kembarnya sudah bersedekap di hadapannya.     

"Kenapa?" tanya Jovan melihat Javier yang menatapnya tajam.     

"Siapa wanita tadi?" tanya Javier dengan nada tidak suka.     

"Pacar baruku. Namanya keira. Kenapa? Kamu suka?" Jovan berjalan melewati Javier menuju ruangannya di rumah sakit Cavendish. Seolah tidak terganggu dengan Javier yang terlihat jutek.     

"Kamu sudah menikah Jov, masih saja godain cewek lain." Javier mengingatkan tentang statusnya saat ini.     

Jovan menoleh ke arah Javier. "Aku kan sudah bilang mau poligami."     

"Poligami boleh, tapi nggak semua wanita kamu pacarin juga kali Jov." Javier masih tidak habis fikir dengan pemikiran saudara kembarnya itu. Sudah diimpoten kenapa enggak berubah sikap.     

"Aku kan harus menyeleksi mereka. Mana yang cocok jadi istri dan mana yang harus dipakai buat selingan doang."     

"Bagaimana kamu menyeleksinya kalau Anumu hanya bisa bangun sama Zahra."     

Jovan berhenti lagi. "Kalau belum dicoba mana tahu Anuku sudah sembuh apa belum. Ya kan?"     

"Jov, please. Bisa nggak sekali saja kamu coba hargai wanita."     

"Aku selalu menghargai wanita. Aku memanjakan mereka. Mereka mau aku romantis, mau aku kasih hadiah, mau aku sayang - sayang. Aku lakukan semuanya demi mereka."     

"Tapi setelah itu kamu membuang mereka," ucap Javier telak.     

"Ya kalau sudah tidak menarik, ngapain dipertahankan. Mereka sudah dapat kesenangan yang aku berikan. Aku sudah mendapat apa yang aku mau. Ya sudah finis. Mau apa lagi?"     

"Jovan, please. Hentikan semua ini. Kamu sudah punya Zahra."     

"Terus??? Kamu kenapa sih ribut banget. Biasanya mau aku bawa sepuluh cewek juga kamu selow. Kenapa sekarang kayak kesel begitu? Perasaan istriku itu Zahra deh, bukan kamu."     

"Dulu aku slow karena kamu belum menikah. Sekarang kamu sudah punya istri. Lain cerita Jov."     

"Sama saja, nikah itu cuma setatus. Aku masih Jovan yang sama."     

"Jovannnnnn." Javier memandang Jovan frustasi.     

"Apa sih? Mukanya biasa saja napa. Jangan kayak orang teraniaya. Yang punya istri aku, kamu nggak usah ikutan ribet deh." Jovan menatap Javier cemberut. Kenapa kembarnanya jadi aneh begitu sih.     

Kemarin-kemarin biasa saja dia bawa gandengan segudang juga. Kenapa sekarang belain Zahra.     

"Kamu nggak naksir Zahra kan?" tanya Jovan memastikan.     

"Aku masih waras. Nggak mungkin naksir adik ipar sendiri. Tapi ... Aku nggak suka jika kamu sakitin Zahra. Kamu lupa Zahra sudah di anggap anak sama paman Marco. Kamu fikir apa yang akan terjadi jika paman tahu kamu nyakitin Zahra?"     

"Ya, paman jangan sampai tahulah. Lagian Zahra itu alim, tipe cewek yang nurut suami. Aku yakin dirayu sedikit dia bakalan mau dipoligami."     

"Terus, sampai kapan kamu sembunyiin dari paman Marco? Sekarang mungkin aku bisa bantu. Tapi sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga."     

"Kalau aku jatuh, ya kamu tangkeplah. Pake spring bed. Oke." Jovan berbalik lagi. Mulai kesal dengan pembahasan Javier yang membuat moodnya memburuk.     

"Oke fine. Aku akan lakuin apa yang selama ini kamu inginkan," Javier mengalah. Sudah cukup Jovan membuat banyak wanita sakit hati. Javier percaya dengan karma. Jangan sampai saudaranya kena batunya suatu hari nanti.     

Jovan berbalik melihat Javier tidak percaya.     

"Maksud kamu apa?" tanya Jovan bingung.     

"Kamu selalu ingin aku berkencan kan? Aku akan berkencan dengan siapa pun wanita pilihanmu. Sebagai gantinya aku ingin kamu setia sama Zahra. Setahun penuh."     

"Serius? Kamu mau pacaran?" tanya Jovan girang. Akhirnya saudara kembarnya mau membuka hatinya juga.     

"Apa aku terlihat main - main?"     

Brugkhhhh.     

Jovan memeluk Javier senang. "Aku akan seleksi wanita paling cantik, sexy dan cerdas di Indonesia untukmu."     

"Terserah padamu. Yang penting kamu jangan sampai ingkar janji. Kalau sampai aku tahu kamu masih jalan dengan wanita lain selain Zahra, perjanjian batal."     

"Oke. Eh ... Tunggu dulu, aku musti setia sama Zahra setahun? Lama banget? Sebulan saja gimana?"     

"Setahun."     

"Tiga bulan deh."     

"Setahun Jovan."     

"Elah ... aku naik dua kali, masak kamu nggak mau turun sih," protes Jovan.     

"Baiklah. Sepuluh bulan." Javier mengalah.     

"Enam bulan, deal?"     

"Sepuluh bulan."     

"Javierrrrr, oke fix delapan bulan. Itu lama lhooo." Jovan memasang tampang merayunya.     

"Baiklah, deal delapan bulan." Javier mengulurkan tangannya pada Jovan tanda sepakat.     

"Deallll," ucap Jovan semangat. Baiklah demi saudaranya yang mau move on dari Jean. Jovan akan setia sama Zahra. Cuma delapan bulan ini. Setelah itu dia merdeka lagi.     

"Aku harus mulai gugling untuk teman kencanmu." Jovan pergi dengan semangat.     

Javier mengambil ponselnya dan melihat walpaper di sana. Foto Jean 14 tahun yang lalu.     

Javier mengusap foto itu dengan pandangan sedih, "Sory," ucap Javier sebelum akhirnya mendelete foto Jean dari ponselnya.     

Javier menghela nafas menguatkan diri. Mungkin ini memang sudah saatnya dirinya move on.     

Javier mendial nomor Junior.     

"Junior?"     

"Hmmm."     

"Waktu kamu hipnotis Jovan. Apa yang kamu katakan?"     

"Jovan impoten."     

"Aku tahu yang itu, maksudnya apa yang bisa bikin impotennya sembuh?"     

"Kalau dia menikahi Zahra, impotennya akan sembuh secara otomatis," jawab Junior.     

"Maksudmu begitu menikahi Zahra dia sembuh total? bisa nyoblos siapa saja? Nggak harus Zahra?"     

"Yups."     

"Shittt, hipnotis lagi. Bikin Jovan cuma bisa On sama Zahra."     

"Tidak mau, aku masih tidak suka dengan Zahra. Dan setengah ikhlas Zahra menikah dengan Jovan."     

Klik.     

"Halo, Jun ... Junior." Sialan malah di putusin.     

Javier mengusap wajahnya kesal. Kalau sampai Jovan tahu dia bisa on selain dengan Zahra. Bisa bahaya.     

Javier harus memastikan Jovan menepati janjinya.     

Harus.     

***     

Zahra sedang menonton televisi dan mengelus Hachi di pangkuannya saat pintu apartemen terbuka.     

"Mas Jovan." Zahra langsung bangkit dan menyalami tangan Jovan.     

Zahra menatap Jovan yang terlihat sangat bahagia. Bukannya Jovan bilang nggak akan pulang seminggu ya.     

Eh ... apa ini sudah seminggu? batin Zahra mengingat-ingat.     

"Kamu lihat laptopku?" tanya Jovan.     

"Yang ada di kamar? Ada kok. Mau Zahra ambilkan?"     

"Nggak usah. Aku ambil sendiri saja. Tapi, kamu masak nggak? aku laper nih."     

"Mas belum makan?" Jovan menggeleng.     

"Ya sudah, Zahra masakin dulu."     

"Terima kasih istriku." Jovan mencium pipi Zahra sekilas sebelum masuk ke kamar dan mengambil laptopnya. Kata Javier dia harus setia sama Zahra kan. Jadi ... harus dimanis-manisin. Biar Javier percaya kalau Jovan beneran berusaha menyayangi Zahra.     

Zahra langsung tersipu. Sumpah ya, Zahra tidak pernah menyangka dia akan seberuntung ini. Mendapatkan suami seganteng dan semanis Jovan itu, serasa seperti anugrah yang tidak disangka-sangka.     

Zahra menaruh Hachi di sofa dan pergi ke dapur. Ingin memasak makanan istimewa untuk suaminya.     

Jovan segera mencari laptopnya karena di sana ada data-data cewek yang dulu menjadi incarannya. Tapi, belum terealisasikan. Siapa tahu ada yang cocok dengan Javier.     

Jovan membawa keluar laptopnya dan duduk di sofa sambil menunggu Zahra masak di dapur. Dia memilah-milah, wanita mana saja yang sekiranya cocok dengan kriteria Javier.     

Setengah jam kemudian Zahra sudah menata masakannya di meja makan.     

"Mas ... makan dulu, sudah matang nih." Zahra mendekat tapi langsung mengernyit saat melihat Jovan melihat foto-foto cewek yang menurut Zahra sangat cantik dan pasti dari kalangan atas itu.     

"Kamu ngapain ngoleksi foto cewek sebanyak itu?" tanya Zahra curiga.     

Jovan malah tersenyum dan menarik Zahra duduk menempel si sebelahnya. "Cemburu ya? Tenang saja, ini bukan untukku. Tapi untuk Javier."     

"Javier?"     

"He em, menurutmu mana yang cocok untuk Javier?" Jovan menggeser beberapa foto agar Zahra bisa ikut melihatnya.     

"Kenapa kamu yang mencarikan wanita untuk Javier. Kenapa dia tidak mencari sendiri? Dia kan ganteng, pinter. Pasti banyak wanita yang mau sama dia."     

"Karena Javier belum pernah pacaran. Jadi dia nggak pede. Makanya aku disuruh nyariin."     

"Javier belum pernah pacaran?" tanya Zahra tidak percaya.     

"Kenapa? heran ya?"     

Zahra mengangguk.     

"Dulu kami punya adik perempuan, namanya Jean. Javier sangat menyayanginya. Bahkan dia sempat mengabaikan aku karena lebih sayang pada Jean. Kamu tahu, dulu aku kesal sekali. Sampai akhirnya aku lebih sering main dengan Alxi dari pada Javier. Tapi baru dua tahun kami bersama. Jean menghilang dan dikabarkan meninggal."     

"Meninggal? Maaf."     

"Sudah, tidak apa-apa. Tapi, sampai sekarang Javier percaya Jean masih hidup dan terus mencarinya."     

"Jadi, karena terus mencari Jean. Javier sampai melupakan kehidupan pribadinya sendiri?"     

"Bukan. Javier tidak pernah pacaran karena dia mencintai Jean. Mencintai layaknya lelaki mencintai wanita."     

"Ma ... Maksudmu Javier incess?"     

Jovan menarik Zahra ke pangkuannya sambil berpikir. Sedang Zahra yang terlalu heran dengan cerita Jovan tidak menyadari bahwa kini dia sedang berada di atas pangkuan Jovan dengan tangan Jovan mengelus punggungnya.     

"Kalau dibilang incess, tidak juga. Tapi, di bilang tidak. Jean kan memang adik kami."     

"Maksudnya apa sih? Jangan bikin bingung deh."     

"Jean itu ... bagaimana menjelaskannya ya? Jean itu nama aslinya Jessica. Dia anak keturunan India. Bukan anak kandung momy dan dady kami."     

"Adik angkat maksudmu?"     

"Sebenarnya usianya dua tahun lebih tua dari kami. Jadi, aku bingung apa harus memanggilnya adik atau kakak. Yang jelas dia membawa organ penting dari adik kami Jean."     

"Tunggu dulu. Jean? Jessica? Aku bingung."     

"Jean adik kandung kami. Jessica anak angkat momy. Jean sekarat dan Jessica juga sekarat. Entah bagimna paman Marco berhasil menyatukan keduanya."     

"Menyatukan."     

"Yups. Tubuh milik Jessica, organ dalam milik Jean. Jadi sekarang Jean dan Jessica adalah satu orang yang sama."     

"Bagaimana bisa?"     

Jovan mengendikkan bahunya. "Hanya paman Marco dan Javier yang tahu jawabannya. Mereka master dalam hal ilmu kedokteran. Baik yang legal ataupun yang ilegal."     

Zahra masih berfikir dan mencerna semuanya. Sepertinya apa yang disampaikan Jovan terlalu mustahil dicerna otaknya.     

Dua orang menjadi satu.     

Jovan memperhatikan wajah Zahra yang terlihat mengernyit masih berpikir. Lalu pandangannya jatuh ke hidungnya yang walau tidak semancung wanita yang biasa dia kencani tapi tidak pesek juga.     

Lalu turun lagi ke bibirnya. Ah ... Jovan masih ingat rasanya. Lembut dan ... Jovan rasa dia ingin mengulanginya lagi.     

"Kenapa Mas melihat Zahra begitu amat sih?" tanya Zahra malu. Saat sadar Jovan melihat wajahnya intens.     

"Kamu masih haid." Tanya Jovan mengelus punggung Zahra.     

Zahra yang baru ngeh kalau dia ada di pangkuan Jovan langsung menegang dan memerah.     

"Zahra ... udah selesai belum?"     

Zahra mengangguk malu-malu.     

"Kok ngangguk doang. Iya udah selesai. Apa, iya belum selesai?"     

"Udah selesai," ucap Zahra lirih sambil menunduk.     

Jovan langsung tersenyum sumringah. "Ya sudah. Makan dulu yuk," ajak Jovan bahagia.     

Zahra mengangkat wajahnya bingung. Makan? Jadi Jovan tidak mau ena-ena? Padahal Zahra sudah deg-degan. Antara takut, gerogi dan penasaran. Apa yang di pelajari selama ini tentang proses reproduksi sama dengan kalau benar-benar dipraktekkan.     

"Zahra ... aku udah laper." Jovan membuyarkan lamunan Zahra. Sehingga secara reflek Zahra berdiri dari pangkuan Jovan sampai hampir jatuh.     

"Hati - hati dong sayang." Jovan memegang pinggang Zahra yang agak goyah.     

Zahra semakin menuduk malu, lalu berjalan ke arah meja makan.     

Jovan memperhatikan Zahra yang melayaninya dengan telaten.     

"Kamu nggak makan?" tanya Jovan.     

"Aku udah makan tadi sore. Lagi pula ini sudah malam."     

"Terus kenapa? Kamu takut gemuk? kan aku udah bilang. Mau segemuk apa pun dirimu, kamu tetap muat di hatiku."     

"Apaan sih," ucap Zahra semakin malu.     

"Udah sini makan dulu, temenin aku." Jovan menarik Zahra duduk di sebelahnya. Mau tidak mau Zahra akhirnya ikut makan juga.     

Bagus.     

Makan dulu ya Zahra. Isi tenaga yang banyak. Sebelum nanti kamu di makan sama Jovan.     

Hahaaaa     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.