One Night Accident

IMPOTEN 34



IMPOTEN 34

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Saya istrinya mas Jovan," jawab Zahra dengan jelas.     

"Whatttt." Ai langsung berdiri.     

"Istri? kamu istrinya Jovan? bagaimana bisa?" Ai benar - benar shokkk. Dia serasa disambar gledek mendengar itu.     

"Apa buktinya kalau kamu istri Jovan." Ai Tidak percaya ini. Masa iya anaknya kawin dia enggak tahu.     

"Ada surat nikahnya yang mulia." Zahra segera mengajukan bukti.     

"Ambil." Daniel yang memerintah. Karena dia yang bisa segera tahu apakah surat nikah itu palsu atau asli.     

Zahra langsung melesat ke kamarnya dan mengambil surat nikah yang dia bawa.     

Dengan tangan gemetar dia menyerahkan kepada Ai namun malah diterima oleh Daniel. Zahra berdoa semoga Daniel dna Ai tidak akan murka kepadanya.     

Daniel memeriksa keasliannya dan set lah yakin dia mengangguk pada Ai seolah mengatakan bahwa apa yang dikatakan Zahra memang benar.     

Ai ingin pingsan saja rasanya. Melihat nama yang tercantum di sana.     

Anaknya sudah menikah. Dan dia tidak tahu? Bahkan tidak ada yang memberi tahu. Bukankah ini keterlaluan?     

Ai tidak tahu harus bagaimana. Dia tahu kalau dia bukan ibu yang baik. Tapi, apa harus dengan hal seperti ini mereka membalasnya.     

"Aku ingin ke kamar dulu." Ai berjalan ke arah kamar Jovan dengan wajah kaku.     

Daniel merangkul dan langsung membopongnya. Otomatis Ai memeluk leher Daniel dan membenamkan wajahnya di dada.     

Daniel tahu istrinya sedang shokkk. Daniel juga Shokkk. Tapi, dia masih bisa berpikir jernih. Pasti ada penjelasan dari adiknya nanti. Kenapa Jovan bisa menikah tanpa di ketahui dan tanpa mengabarkan kepadanya.     

***     

"Bagaimana?" tanya Jovan sambil duduk di atas kap mobil miliknya.     

"Tinggal satu. Yang dua sudah masuk pesantren." Alxi menjawab dengan santai.     

Jovan menoleh. "Pesantren?"     

"Lah, kamu tidak tahu. Orang tua kedua mantan pacarmu si gina dan Gisel kan ada keturunan kiyai."     

Well, Jovan tidak tahu itu.     

"Terus, kamu apain. Kok bisa masuk pesantren?"     

"Mau tahu aja. Apa tahu banget? Hem ... wani Piro?" Alxi menaik turunkan alisnya.     

Jovan memutar bola matanya jengah. "Emang kartu yang aku kasih kemarin kurang?"     

"Di bilang kurang. Nggak juga. Tapi, di bilang lebih juga nggak. Anggap saja cukuplah buat nambah tabunganku." Alxi meminum soda yang dia bawa. Sebagai tukang palak di keluarga Cohza ATM rampasan sudah jadi bayaran tetap baginya. Biasanya sih isinya minimal 50 juta.     

Jovan berdecak.     

"Jangan kelihatan kere banget napa Al. Lama-lama gue malu ngaku kalau loe masih ada hubungan saudara sama gue. Kalau kerjaan loe morotin duit terus. Buat apa sih duitnya. Perasaan kita semua enggak ada yang kekurangan duit deh." Jovan masih heran dengan Alxi yang demen banget numpuk duit palakan dari saudara-saudara nya.     

"Kita emang nggak ada yang kekurangan. Tapi, anak cucu kita siapa yang tahu?" Alxi mengendikkan bahunya santai.     

"Astaga Alxiii. Loe bentar lagi bakalan jadi pemilik Save Security. Mau loe cuma ongkang-ongkang kaki juga. Sepuluh generasi loe nggak bakalan hidup susah." Bahkan jika Alxi menikah dengan 10 wanita, Jovan yakin mereka masih bisa hidup mewah.     

"Memang benar. Tapi, walau gue yang pegang SS, gue hanya punya 50%  sahamnya. 50% yang lain harus di bagi sama keturunan Cohza yang lain. Loe, Javier, Junior, Aurora dan Ashoka."     

"Dan  karena gue berencana punya anak banyak. Itu masalah yang serius." Alxi menatap Jovan dengan wajah penuh perhitungan.     

"Karena biasanya harta sebanyak apa pun kalau saudara banyak  itu selalu jadi bahan rebutan. Dan gue nggak mau anak gue nanti berantem cuma gara-gara rebutan harta." Tambah Alxi sebelum Jovan bicara.     

Oke. Jovan tidak pernah memikirkan itu karena dia dan Javier tidak pernah rebutan apa pun.     

"Loe lihat ini." Alxi menunjukkan gambar di ponsel miliknya.     

"Kenapa? Cuma foto Cafe. Namanya Cafe Coni. Aneh banget."     

"Tolol. Itu Cafe gue. Coni itu artinya Cohza nikmat. Elah ... Nggak faham seni ini bocah." Alxi segera memasukkan ponselnya lagi karena nama cafenya yang keren dihina Jovan. Awas saja kalau berani ke sana, Alxi akan minta bon dua kali lipat dari harga aslinya.     

"Loe buka Cafe?"     

"Iya. Buat Deva kalau nanti udah gede. Dava kan pasti gantiin aku di SS jadi Deva akan pegang Cafe. Anak seterusnya belum kepikiran mau bisnis apa. Yang jelas gue mau anak-anak gue punya usaha sendiri-sendiri. Biar pas gede nggak pada rebutan SS."     

Jovan takjub.     

Dan harus dia akui. Alxi memang gila. Tapi, jika menyangkut keluarga. Dia sudah memikirkan semuanya. Bahkan ke anak cucu yang belum di lahirkan istrinya.     

Dan terbongkarlah kemana perginya hasil pemalakan Alxi selama ini. Oke, Jovan tidak akan menghina lagi karena ternyata Alxi lebih mandiri.     

"Apaan nih?" Alxi mengeryit bingung saat Jovan kembali menyodorkan sebuah kartu untuknya.     

"Anggap saja, kado kelahiran anak keduamu."     

"Gue nggak minta ya?" Tetapi Alxi tetap menyerobot kartunya. Mayan kan dapet tambahan.     

"Iyaaa. Dah gue mau balik. Keburu di telpon Zahra." Jovan turun dari atas kap mobilnya.     

"Loe mulai jatuh cinta sama bini loe ya? gue nggak pernah lihat loe gandeng cewek lain." Tanya Alxi.     

"Bukan. Tapi, gue kan udah janji buat setia sama Zahra."     

"Kapan?"     

"Udah lama."     

"Serius nggak minat lagi sama cewek lain?"     

"Minatlah, tapi di tahan sampai batas waktu yang sudah di tentukan. Udah loe urus saja kerjaan loe." Jovan masuk ke mobilnya.     

"Selow saja sih. Loe terima beres saja sudah." Alxi menuju mobilnya sendiri. Dia juga harus pulang. Kasihan Nabilla kalau ngurusin Dava dan Deva sendirian. Walau ada momynya juga. Tapi, Alxi tetap waspada. Jangan sampai anaknya makan klepon beracun miliknya.     

Jovan baru saja membuka pintu apartemen saat dengan sangat cepat sesuatu membentur jidatnya.     

"Awwww." Jovan mengelus jidatnya yang sepertinya bakalan benjol itu. Tidak perlu menebak. Dia sudah tahu siapa pelaku pelemparan sepatu.     

"Mommm, kenapa Jovan di lempar sepatu?" Protes Jovan merasakan jidatnya berdenyut-denyut.     

Ai bukan menjawab malah kembali melempar sepatunya yang sebelah. Jovan berhasil menghindar dan segera mencari tempat aman.     

Ai semakin kesal. Dia melempar apa pun yang ada di sekitarnya.     

"Mommm stoppp. Mommm." Jovan sudah bersembunyi di belakang sofa karena melihat keberingasan Ai yang seperti singa betina sedang mengamuk.     

Apa salah Jovan hingga membuat Ratu Cavendish seperti ingin menghajarnya hingga hancur dan jadi genangan lumpur.     

Begitu suasana terlihat tenang Jovan berdiri. Dan di sana momy dan dadynya bersedekap sambil menatapnya tajam.     

"Shittt." Jovan mengumpat pelan saat menyadari. Di sana juga ada om Marco dan Zahra.     

"Mommm, Jo ...."     

"DIAMMMM," bentak Ai sebelum Jovan menyelesaikan ucapannya.     

"Mom nggak mau tahu. Sekarang juga, kamu CERAIKAN ZAHRA."     

"WHATTTTT?"     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.