One Night Accident

IMPOTEN 42



IMPOTEN 42

0Enjoy Reading.     
0

***     

1 Minggu sebelumnya     

Jovan mengganti channel TV di depannya. Lalu mematikan nya. Tidak lama kemudian menyalakannya lagi. Menggantinya tanpa memperhatikan apa yang di tayangkan lalu mematikannya untuk kesekian kali. Begitu terus hingga akhirnya negara api menyerang Konoha dan dia bete tidak bisa menjadi salah satu avanger yang menyelamatkan dunia.     

Jovan melempar remote ke sembarang tempat. Tidak tertarik dengan tayangan apa pun.     

Kenapa akhir-akhir ini hidupnya terasa membosankan? tidak ada hal yang bisa membuatnya semangat. Semuanya terasa tidak ada menariknya sama sekali. Kayak enggak ada manis-manis nya gitu.     

Makan di tempat mewah terasa biasa saja. Jalan sama cewek (tanpa sepengetahuan Javier tentu saja) rasanya tidak semenggairahkan dulu. Tidak ada rasa ingin mengajaknya ke dalam hotel. Jangan kan ngajak ke hotel waktu cipokan saja Jovan tidak merasakan apa pun. Hambar. Tidak ada sensasinya. Tidak ada getarannya sama sekali.     

Jovan merebahkan tubuhnya ke sofa sambil memejamkan matanya. Sudah dua Minggu Zahra berada di Cavendish. Dan semakin lama Jovan semakin  kesal saja rasanya. Dia bahkan malas masuk ke dalam kamar. Karena setiap sudut kamar seperti ada bayangan Zahra di mana-mana.     

"Siallllannnnnnn." Jovan membuka matanya saat tiba-tiba wajah Zahra terasa muncul di otaknya.     

Kenapa sih itu cewek satu bikin Jovan enggak bisa hidup tenang. Jovan ingin tidur malah ke inget bibir merahnya. Kenyal, maniess lembut.     

"Aaaakkhhhhh." Bisa gila dia kalau terus di hantui wajah istrinya.     

Udah kayak orang jatuh cinta saja.     

Wait.     

Jatuh cinta?     

Hemmm. Jovan itu pakar cinta. Dan tentu saja sudah sering jatuh cinta.     

Kata I love u alias aku cinta padamu sudah sering dia obral ke semua wanita.     

Jovan sudah terbiasa membagi cintanya ke semua wanita.     

Jovan memperjuangkan semua pacarnya. Memanjakan mereka bahkan pernah membuang waktu seharian penuh hanya untuk menemani pacarnya ke salon.     

Semua sama rata. Semua istimewa.     

Tapi, belum ada yang membuatnya sampai seperti ini. Istilah nya rindu, kangen atau apapun perasaan yang membuatnya ingin segera bertemu.     

Ingin ngobrol bersama. Ingin memakan masakannya. Ingin menjemputnya dari kampus. Ingin mendengar Omelan Zahra kalau dia tidak segera sholat.     

Terutama ingin segera mencium bibirnya, meremas dadanya dan membuat Zahra  menjerit di bawah tubuhnya.     

"Aaaaaaaaaaaaaa." Jovan membenturkan kepalanya ke punggung sofa berkali-kali. Merasa Frustasi karena terlalu rindu.     

Jika kata Dilan rindu itu berat.     

Salah.     

Yang benar :  Rindu itu menyiksa, bikin menderita, membuat sengsara dan yang pasti bikin sosisnya mendapatkan cap PENGANGGURAN.     

"Kamu kenapa? Sakit kepala?" Javier yang baru masuk ke apartemen Jovan langsung menatap heran. Karena melihat Jovan membenturkan kepalanya ke sofa sambil mengumpat-umpat.     

Sedang Jovan yang mendengar suara saudara kembarnya langsung memasang tampang super melas andalannya.     

"JAV, ke Cavendish yuk? Aku khawatir sama Zahra."     

"Kamu kan masih di pingit. Lagian gara-gara kamu. Aku juga tidak bisa pergi ke luar negri. Mom khawatir kamu menyamar jadi aku dan pulang ke Cavendish." Javier berjalan menuju kulkas dan mengeryit saat tidak mendapatkan apa-pun di dalam sana.     

"Kapan terakhir kamu mengisi kulkas? Mau minum saja tidak ada." Javier menoleh ke arah Jovan yang terlihat makin kusut.     

"Mana aku ingat. Biasanya yang ngisi kulkas itu Zahra. Makanya ... bantu aku ke Cavendish yuk Jaavvv. Jemput Zahra. Nanti aku biarkan kamu ikut sarapan dan makan malam setiap hari deh."     

"Kalau cuma mau nebeng makan. Ngapain jemput Zahra. Sewa pembantu saja."     

"Ishhh, beda lah Jav. Pembantu nggak bisa di ajak ena-ena."     

"Cari pembantu yang sexy. Semlohay dongk." Pancing Javier.     

"Katamu enggak boleh."     

"Terus, yang kemarin makan malam berdua di restoran dekat kampus Cavendish siapa? Hmmm. Jangan di pikir aku enggak tahu ya. Kamu jalan sama cewek selain Zahra." Javier bersedekap sambil menatap tajam kembarannya.     

"Ishhh. Aku setia kok. Cuma makan doangk. Enggak ada acara ngamar sama sekali. Aku masih ingat janjiku padamu." Jovan cemberut.     

"Jaavvv, bantuin kek. Gimana gitu, biar aku bisa sampai ke Cavendish."     

Javier menghempaskan tubuhnya di sebelah Jovan. "Bilang saja kamu kangen Zahra." Godanya.     

"Udah, ngaku Napa. Kangen kan sama istrimu?" Javier menaik turunkan alisnya.     

"Hmmm." Jovan ingin membantah. Tapi, dia itu terlahir tanpa bisa membohongi Javier.     

"Oh ... Enggak kangen. Ya sudah enggak jadi aku bantu."     

"Eh ... Kok gitu?" Jovan menoleh ke arah Javier.     

"Kalau enggak kangen. Buat apa kamu ke sana? Jaraknya jauh. Bikin capek doangk kan???"     

"Iyaaa, aku kangen Zahra. Puas." Jovan memalingkan wajahnya malu.     

Javier terkekeh. Lalu mendial nomor seseorang.     

"Kamu telfon Alxi pasti." Jovan menebak.     

"Sok tahu." Javier tersenyum lalu berkata. "Masuk saja, enggak di kunci pintunya."     

Lalu tiba-tiba pintu apartemen Jovan terbuka.     

"Ashoka?" Jovan berdiri dan menghampiri adiknya.     

"Kok kamu bisa ada di sini? Bukannya lagi di Prancis gantiin opa sementara di SS Prancis. karena opa ke sini pas nengok anaknya Jujun?"     

"Di telpon sama Javier. Katanya suruh ke sini nolongin kamu," ucap Ashoka ikut duduk di sebelah Javier.     

"Maksudnya?" Jovan masih tidak mengerti.     

"Kamu pikir di keluarga Cohza cuma Alxi yang bisa di andalkan? Lupa kalau aku dan Ashoka juga punya nama Cohza. Jadi dari pada minta tolong Alxi yang menguras kantong itu. Kenapa enggak minta tolong kami saja."     

"Maksudnya, sebelum aku minta tolong. Kamu sudah mau membantuku?"     

Javier mengangguk.     

"Kamu memang saudara paling pengertiaannnnn." Jovan menubruk Javier dan memeluknya erat.     

"Ishhh ... lepas." Javier mendorong Jovan hingga terjengkang.     

"Aku lakukan ini bukan hanya karena kasihan sama kamu. Tapi, kasihan sama pasienmu juga. Lupa kemarin pas mau operasi Caesar. Kamu bukan membedah perutnya malah hampir membedah dadanya. Yang keluar bukan bayi. Tapi, ASI. Mana dada sama perut lumayan Jauh jaraknya bagaimana bisa ketuker coba. Galaumu membahayakan." Javier mengingatkan insiden di rumah sakit yang membuatnya menendang Jovan dari ruang operasi.     

"Cuma hampir Jav. Enggak kejadian juga." Jovan membela diri.     

"Iya enggak kejadian karena untung aku ada di sana. Kalau Dokter lain yang bersamamu waktu itu. Aku enggak jamin ada yang berani menegurmu. Makanya mending aku kirim kamu ke Cavendish sebelum paisenmu jadi almarhum semua."     

"Javier lebay. Satu korban saja enggak ada."     

"Ehemmm. Tidak ada makanankah  di sini. Aku lapar." Ashoka menghentikan perdebatan duo J.     

"Tadi bukannya udah makan ya?" Javier menatap Ashoka heran.     

"Ya ampun. Satu kotak pizza mana kenyang Jav. Aku habis dari Prancis. Pakai nama samaran dan naik pesawat komersial biar tidak ketahuan mommy. Pas sampai bukan di sambut hidangan mewah malah cuma di kasih pizza. Di pikir Prancis Indonesia cuma lima menit." Protes Ashoka.     

"Astagaaaa. Pantes bongsor. Makanannya sekarung." Jovan mengambil ponselnya dan mengorder makanan untuk adiknya itu. Untuk mereka semua sih.     

"Ini karena aku sehat Jov. Aku mewarisi gen lengkap. Makanya aku tumbuh juga enggak setengah-setengah."     

"Kalau kalian kan dari dalam rahim sampai lahir. Makan sama ASI sudah berbagi. Makanya tinggi badan juga harus berbagi. Yah ...  Wajarlah kalau pertumbuhan badan kalian enggak optimal." Ashoka memberi kesimpulan.     

Javier dan Jovan langsung menatap tajam adiknya. Kurang ajar ini bocah. Mentang - mentang lebih tinggi gede dari duo J. Seenaknya ngatain.     

Sedang Ashoka hanya nyengir sambil mengangkat jarinya tanda peace.     

:lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard::lizard:     

"Jadi, ini rencananya?" Tanya Jovan tidak percaya.     

"Yups. Kami sudah menyelidiki semuanya. Mom dan Daddy memperketat semua jalur transportasi ke luar negri. Entah melalui udara laut ataupun darat. Tapi ... ada satu negara yang pasti bisa membuatmu lolos. Yaitu Afganistan. Di sana sedang terjadi perang dan kamu akan menyamar jadi relawan."     

"Kalian mau bunuh gueee???" Jovan menatap Ashoka dan Javier bergantian.     

"Gueee???" Ashoka bertanya? Dia kan besar di Cavendish mana tahu bahasa loe gue.     

"Enggak penting." Ucap Javier.     

"Ini serius aku harus ke sana?" Jovan memastikan.     

"Aku sudah menyiapkan orang di sana untuk melindungimu. Kamu hanya perlu tinggal di sana selama tiga hari. Setelah itu akan ada orang yang mengantarmu sampai Prancis. Dari Prancis aku yang akan membawamu masuk ke Cavendish." Ashoka menenangkan.     

"Tiga hari di Afganistan? Bagaimana kalau baru sehari hotel tempatku menginap di bom? Kalian mau tanggung jawab?"     

Javier dan Ashoka malah tertawa.     

"Jangan kayak pengecut napa Jov."     

"Iya, penakut banget sih."     

Ashoka dan Javier malah meledeknya.     

"Siapa yang takut. Aku cuma khawatir kalian merindukanku."     

"Sebulan pun kami akan tahan kok enggak ketemu kamu." Javier menepuk bahu Jovan.     

"Sudah waktunya aku berangkat. Aku tidak mau di curigai karena kembali ke Prancis terlambat." Ashoka melihat jam di pergelangan tangannya.     

"Bagiamana Jov. Mau menjalankan rencana dari kita tidak?" Tanya Javier.     

Jovan ragu. Tapi dia juga tidak tahan kalau menunggu dua Minggu lagi hanya untuk bisa  bertemu dengan Zahra.     

Jovan bisa saja menyamar dan menyelundup ke luar negri sendiri. Tapi masalahnya siapa yang akan memasukkannya ke dalam istana Cavendish kalau bukan Ashoka.     

"Oke fine. Aku mengikuti cara kalian."     

Javier dan Ashoka mengangguk puas.     

"Aku berangkat dulu. Sampai jumpa empat hari lagi di Prancis." Ashoka langsung melambaikan tangan ke pada kedua kakaknya.     

Duo J hanya mengangguk dan mempersiapkan barang dan peralatan untuk di bawa Jovan menuju Afganistan.     

***"     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.