One Night Accident

IMPOTEN 43



IMPOTEN 43

0Enjoy Reading.     
0

***     

Di kerajaan Cavendish.     

"Selamat siang Ratu. Ada kabar dari Indonesia."     

Ai mengambil ponsel dari ajudannya dan menyingkir dari hadapan Zahra.     

"Javier sayang. Bagaimana kabarmu?"     

"Baik mom. Em ... Javier cuma mau bilang. Semua sudah berjalan sesuai rencana."     

"Jadi Jovan sudah berangkat?"     

"Yes mom."     

"Oke sayang. Mommy akan mengambil alih dari sini."     

"Baiklah. Em ... Javier tutup dulu. Ada pasien yang harus di tangani."     

"Baiklah. Hati-hati di sana ya. I love u sayang."     

"Love u to mom."     

Ai menatap ponselnya yang sudah mati. Setelah sekian lama Javier menjauh. Sekarang Javier mau mengatakan love u mom lagi.     

Ternyata kenakalan Jovan ada berkahnya juga. Berkat tingkah playboy nya, Javier yang selama ini cuek pada Ai bahkan mau mendatangi Ai terlebih dahulu agar membantunya menyadarkan Jovan.     

Di benci orang lain itu tidak masalah. Tapi di benci anak sendiri, sangatlah menyakitkan.     

Ai mencium ponsel di tangannya sebelum menghubungi Daniel.     

"Yes tweety. Sudah merindukanku? Tenang aku akan pulang cepat."     

Ai langsung berdecih. "Bukan. Tapi Jovan sudah berangkat ke Afganistan. Pastikan Jovan di sana sampai hari H. Tidak kurang tidak lebih." Yess Ai mau Jovna merasakan berjuang. Berjuang keras hanya untuk bisa bertemu Zahra. Biar dia tahu walau Zahra wanita dari kalangan biasa tapi Zahra itu istimewa dan berharga.     

"Oke tweety. Apa pun aku lakukan untukmu. Tapi, Jangan lupa siapkan hadiahku nanti malam. I love u."     

Persiapkan hadiah nanti malam? Setiap malam juga minta hadiah. Dasar.     

Ai kembali menuju ke tempat dia meninggalkan Zahra setelah mematikan panggilan telpon nya.     

Jovan itu Tidak tahu terima kasih. Punya istri sebaik itu masih mau di duakan.     

Ai sleding tahu rasa.     

***     

Zahra mengeliat saat merasakan silau memasuki kamarnya. Dia terbangun dan melihat ranjang di sampingnya yang kosong.     

Perasaan semalam ada Jovan. Kok sekarang dia bangun sendirian? Apa dia hanya bermimpi?     

Zahra duduk dan merasakan selimut melorot dari tubuh telanjangnya. Dengan cepat dia menariknya kembali khawatir ada yang tiba-tiba masuk dan melihatnya.     

Dia telanjang bulat. Berarti semalam bukan mimpi dan suaminya memang ada di sini.     

Zahra turun dari ranjang menuju kamar mandi. Bagian antara pahanya terasa agak perih karena sepertinya Jovan sedang mode terlalu semangat.     

Rasa nyeri itu juga jadi bukti nyata kalau semalam bukan halusinasi.     

Mana ada halusinasi bikin dia jalan ngangkang begini.     

Untung Jovan masih ingat memberinya jeda istirahat. Ingat memberi makan dan minum  bahkan Jovan memberinya vitamin entah apa sebelum mengulangi percintaan berkali-kali.     

Jadi walau lelah  Zahra tidak terlalu kepayahan. Karena ada asupan tenaga. Dan mungkin efek dari vitamin yang dia berikan.     

Sekarang Zahra tahu. Kenapa dulu setiap Junior keluar dari apartemen Queen. Wajah Queen terlihat kelelahan seperti habis kerja lembur semalaman. Sedang wajah Junior terlihat cerah dan semangat.     

Ternyata. Mengahadapi pria di ranjang memang menguras tenaga. Apalagi kalau cowoknya mesum dan hiper sex macam cowok Cohza.     

Zahra membersihkan diri dengan cepat. Perutnya terasa lapar lagi. Efek terlalu banyak mengeluarkan keringat semalam. Begitu selesai membersihkan diri dan memakai pakaian yang sopan Zahra  segera keluar dari kamar dan mencari keberadaan suaminya sekaligus makan siang.     

"Maaf, apa kalian lihat pangeran Jovan." Zahra Bertanya pada salah satu pelayan.     

"Pangeran sedang berada di halaman depan nona."     

"Terima kasih." Zahra segera keluar menuju halaman kerajaan  yang mana  membutuhkan waktu 10 menit dari kamarnya.     

Tapi begitu sampai di halaman Zahra terheran-heran melihat Jovan yang berdiri di tengah lapangan. Dengan satu kaki di angkat dan kedua tangan menjewer telinganya sendiri.     

Seperti anak SD kalau mendapat hukuman dari gurunya.     

"Masss!!! Kamu ngapain?" Zahra menghampiri Jovan yang terlihat kepanasan dengan keringat menetes di dahi dan lehernya.     

Jovan hanya tersenyum. "Tidak apa-apa. Mas sedang  di hukum mommy karena kembali ke Cavendish sebelum masa pingitan selesai dan menemuimu sebelum waktunya."     

"Mommy?"     

Jovan mengangguk.     

"Astagfirullah. Sudah berapa lama mas di sini?" tanya Zahra khawatir sambil mengusap keringat Jovan yang menetes di dahi.     

"Entahlah. Tapi mas tadi bangun jam 11 dan langsung dapat hukuman sampai sekarang."     

"Masss, ini sudah jam dua. Mas sudah makan." Zahra semakin kasihan. Apalagi ini siang hari dan sedang panas-panasnya.     

Jovan menggeleng.     

"Makan dulu ya. Sekalian biar Zahra ngomong sama mommy supaya mas enggak di hukum." Zahra kembali mengusap keringat Jovan yang terlihat terus mengalir.     

"Enggak apa-apa dek. Hukuman seperti ini enggak seberapa kok. Asal mas bisa lihat wajahmu. Dihukum 100 kali juga mas rela."     

"Mas apaan sih. Sempat-sempatnya gombal. Lagi di hukum juga." Walau memprotes tapi wajah Zahra tetap terlihat memerah malu.     

"Serius dek Zahra. Demi kamu mau di hukum seberat apa pun mas rela kok."     

Zahra tersenyum sambil menunduk semakin malu.     

"Zahra ... Kamu ngapain di sana? Sini ikut mommy. Di sana panas." Ai melambaikan tangan agar Zahra mendekat.     

Zahra melihat Jovan sebentar sebelum menghampiri ibu mertuanya itu.     

"Momm, mas Jovan udahan ya di hukumnya. Kasihan."     

"Kamu nggak usah bela dia. Udah  biasa dia begitu. Ayu masuk, kamu belum sarapan kan?" Zahra menggeleng.     

"Mommmm, kenapa hanya aku yang di hukum?" tanya Jovan membuat Ai kembali berbalik.     

"Kamu mau Zahra di hukum? Tega sekali kamu?" Ai berkacak pinggang.     

"Bukan mom. Tapi dia." Jovan mengendikkan bahu ke arah tempat duduk di bangku halaman.     

Di mana Ashoka dengan santai duduk sambil ngopi. Kan sialan. Saat kakaknya di hukum dia santai tanpa kena imbasnya sama sekali.     

Padahal gara-gara Ashoka Jovan hampir mati di Afganistan.     

Jovan memang sampai di Afganistan dengan selamat. Di lindungi bodyguard dengan ketat. Tapi ternyata Ashoka si adik sialannya itu menempatkan banyak perlindungan bukan untuknya. Bukan juga karena khawatir dia kenapa-kenapa. Tapi, Ashoka melindungi apa yang ternyata diselundupkan dan di bawa oleh Jovan.     

Dan gara-gara barang selundupan nya itu. Jovan berada di sana tanpa rasa tenang dan harus selalu waspada. karena barang itu bisa membahayakan dirinya sewaktu-waktu.     

Benar saja. Dalam waktu lima hari. Jovan sampai Tidak ingat lagi. Berapa kali harus pindah lokasi karena keamanan dirinya terancam.     

Sekarang Jovan tahu kenapa Ashoka mau membantunya. Karena Ashoka menjadikan Jovan kurir. Ingat KURIR.     

Ingin sekali Jovan berkata monyet. Sayang yang keluar malah anjing.     

"Oh ... Ashoka tidak di hukum, karena dia yang memberitahukan keberadaanmu jadi kesalahannya di maafkan. Jelas."     

Ashoka hanya tersenyum tipis sambil mengangkat gelas kopinya ke arah Jovan.     

Jovan menatap Ashoka tajam. Jelas sekali dia semakin kesal. Awas saja kalau hukumannya sudah selesai. Bakal dia kasih pelajaran itu adik kurang ajar.     

"Ayo Zahra kita masuk. Mom Tidak mau calon cucu mom kelaparan." Ai menarik Zahra masuk ke dalam istana dan langsung menuju meja makan.     

Sayang baru saja mulai makan. Ai menerima telfon dari Stevanie dan langsung menyingkir pergi.     

Tentu saja kesempatan itu tidak di sia-siakan oleh Zahra. Dengan cepat dia membawa makanan dan minuman lalu di bawa ke tempatdi mana Jovan di hukum.     

Jovan yang awalnya menunduk langsung melihat kedepan saat mencium aroma istrinya.     

"Minum dan makan dulu." Zahra menawarkan.     

"Nanti di marahin mom lho. Kamu duduk dekat Ashoka saja. Makan di sana. Di sini panas." Jovan mengganti kakinya dengan sebelah kiri.     

"Aku maunya makan sama mas. Anggap saja lagi ngidam." Zahra mengacungkan gelasnya agar Jovan bisa minum.     

Tentu saja Jovan yang memang haus langsung meminumnya. Istrinya itu sangat pengertian.     

"Makan ya?" Zahra menaruh gelas ke bawah dan mengacungkan makanan di piring.     

"Suapin. Soalnya kata mom tangannya harus tetap di telinga. Hanya kaki yang boleh berganti-ganti. Yang penting berdiri satu kaki."     

Zahra tersenyum. Dengan pelan dia menyuapi Jovan yang tidak pernah mengalihkan pandangan dari istrinya.     

"Kamu juga makan ya?" Jovan meminta.     

Zahra hanya mengangguk dan gantian menyuapkan makanan untuk dirinya sendiri.     

"Mommmm, Jovan dan Zahra main drama picisan." Ashoka berteriak dari ponsel miliknya yang ternyata sudah terhubung dengan ibunya.     

Dasar tukang ngadu.     

Ashoka bertugas mengawasi Jovan biar tidak mangkir dari hukuman.     

Benar saja tidak berapa lama kemudian Ai muncul dan berkacak pinggang.     

"Zahraaa, kenapa Jovan malah kalau suapi? Di kasih minum lagi." Teriak Ai kencang.     

Zahra yang merasa Ai membentaknya langsung menunduk takut. Air mata tiba-tiba menetes di pipinya.     

Padahal Zahra tahu Ai tidak bermaksud memarahi dirinya. Tapi melihat Jovan yang terlihat mulai lelah dan wajah merah kepanasan membuat Zahra sedih. Dan lebih sedih saat Ai tega membuat Jovan haus dan lapar.     

Jovan menurunkan tangan dan kakinya saat melihat istrinya menangis. Tidak perduli jika mommy-nya akan  menghukumnya lebih  berat. Entah kenapa melihat Zahra sedih dia jadi tidak tega.     

Dengan lembut Jovan mengambil piring dan menaruhnya ke bawah lalu memeluk Zahra serta mengusap punggungnya.     

"Mommm kamu membuat Zahra takut." Protes Jovan masih mengelus dan mencium dahi Zahra berusaha menghiburnya.     

"Eh ... kok malah nangis. Aduh ... Zahra jangan  nangis. Mom tidak marah sama kamu. Aduh udah dong nangisnya." Ai langsung menghampiri Zahra dan ikut menepuk punggungnya agar tenang.     

Zahra melepaskan pelukan dari Jovan. "Maaf mommy. Tapi mas Jovan jangan di hukum lagi. Zahra tidak tega."     

"Tapi kan Jovan salah. Ya harus di hukum."     

"Mommy hukum Jovan nanti saja lagi ya. Zahra lagi ngidam ingin makan sepiring berdua. Biar Jovan turuti dulu ya. Kasihan nanti kalau tidak di turuti. Nanti cucu mommy ileran lho." Jovan mengambil kesempatan dalam kesempitan.     

Otak ngelesnya bisa berguna juga saat begini.     

"Ngidam? Akhirnya. Zahra nyidam juga. Ayok ke meja makan. Zahra mau makan apa? Bilang sama mommy? Mau sate Padang? Mau gudeg jogja atau mau martabak Bangka? Bilang saja. Nanti biar Jovan yang mencarinya. Kalau perlu biar dia balik ke Indonesia membelinya untukmu. Atau suruh Jovan masak kerak telur isi bolu kukus dan bakso urat di dalamnya. itu lebih bagus lagi."     

"Mommmm." Jovan berjalan menyusul Zahra dan mommy-nya dengan tertatih karena sebelah kakinya terasa kesemutan.     

Mommy-nya itu nyuruh nyidam apa mau nambah kesengsaraan Jovan sih.     

"Urusan kita belum selesai." Tunjuk Jovan pada adiknya yang malah asik bermain ponsel.     

Ashoka hanya mengendikkan bahu tanda tidak perduli.     

Lebih baik mengurus bisnisnya saja. Lebih menyenangkan.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.