One Night Accident

IMPOTEN 46



IMPOTEN 46

0Enjoy Reading.     
0

***     

Jovan mengetuk pintu kamarnya dan terus berusaha memanggil Zahra agar membukanya.     

"Zahraaa, sayang. Dengar penjelasan mas dulu. Zahraaa." Jovan terus mengetuk pintu itu tanpa beranjak dari berjam jam yang lalu.     

Iya. Sudah entah berapa lama setelah Zahra mendengar pertengkaran dirinya dengan Javier.     

Jovan bisa melihat wajah Zahra yang pucat dan pandangan matanya yang terluka. Dan Jovan terasa langsung seperti di tercubit ginjalnya begitu menyadari apa yang baru di dengar oleh Zahra.     

Jovan ingin langsung mengejar Zahra yang berlari sambil menangis menuju kamarnya.     

Tapi mommy-nya yang terlihat murka. Malah sibuk memukuli Jovan hingga puas. Baru setelah mommy-nya puas Jovan diizinkan menemui Zahra.     

Sayangnya gantian Zahra yang tidak mau bertemu dengannya.     

Jovan mau mendobrak pintu. Tapi khawatir Zahra akan kaget atau malah semakin membenci dirinya.     

Pilihannya hanya membujuk Zahra dari luar kamar.     

"Zahra, buka pintunya sayang. Please. Setidaknya makan dulu. Ingat, kamu lagi hamil."     

Jovan bersandar di pintu kamarnya dan merosot turun duduk dengan wajah sedih.     

Jovan melihat sekeliling. Tingkah lakunya membuat   beberapa pengawal dan maid memperhatikan dirinya. Walau tidak terang-terangan. Tapi Jovan yakin sebentar lagi  dia dan Zahra akan menjadi bahan gosip kerajaan.     

Itulah kenapa Jovan lebih suka tinggal di Indonesia. Di sana Jovan bebas melakukan apa saja. Tanpa merasa jadi bahan perhatian.     

Di Cavendish. Tidak ada privasi sama sekali.     

"Minggir." Jovan mendongak dan melihat mommy nya membawa nampan di tangannya.     

"Zahraaa. Buka pintunya sayang. Biarkan mom masuk. Mommy pastikan tidak ada Jovan di sini." Ai memanggil Zahra tanpa memperdulikan keberadaan Jovan di sampingnya.     

"Mommm."     

"Diam kamu," bentak Ai. Membuat Jovan terdiam seketika.     

"Zahraaa. Buka sayang." Ai kembali memanggil menantunya dengan khawatir.     

"Pengawal, ambil kunci cadangan kamar ini. Dan bawa dia menyingkir dari hadapanku."     

"Baik yang mulia."     

"Mommmm." Jovan berontak saat pengawal hendak menjauhkannya dari kamar Zahra.     

"Apa? Bukannya kamu hanya cinta sama Ella. Pergi sana sama Ellamu itu. Tenang saja mom sudah bilang sama Daddy mu agar pernikahanmu dengan Ella di percepat."     

"Tapi, mommm ...."     

"Pengawal bawa dia pergi. Aku nggak mau Zahra jadi stress gara-gara lihat wajahnya." Ai berbalik saat ajudannya membuka pintu kamar dengan kunci cadangan.     

Sedang Jovan dengan paksa di tarik  beberapa pengawal agar menjauh dari kamarnya sendiri.     

Ai mau membuat Jovan menelan apa yang dia katakan sebelumnya.     

***     

Zahra duduk di ranjang dengan kaki di tekuk dan memeluk kakinya erat.     

Dia sudah menangis sampai matanya terasa perih. Kepalanya berdenyut pusing dan seluruh lengan bajunya basah oleh air mata dan ingusnya sendiri.     

Zahra baru tahu. Kalau patah hati semenyakitkan ini.     

Zahra mengingat-ingat lagi kebersamaannya dengan Jovan.     

Semuanya terasa manis. Tidak ada satu pun yang janggal. Jovan memeperlakukan dirinya seolah begitu memuja dan mencintai Zahra.     

Seolah-olah Zahra adalah wanita paling beruntung yang memiliki suami sesempurna Jovan.     

Tapi ternyata semua bohong.     

Semua hanya sandiwara belaka.     

Ternyata selama ini Zahra hanya hidup dalam ilusi.     

Zahra hidup dalam mimpi.     

Ilusi dan mimpi yang di ciptakan oleh Jovan dengan keindahan sempurna.     

Makanya saat Zahra terbangun.     

Semuanya langsung hilang tak berbekas. Semua hancur menjadi serpihan tak kasat mata.     

Apalagi Ilusi dan mimpi itu membuatnya terbang melayang sangat tinggi.     

Saking tingginya sampai Zahra lupa bahwa tidak ada pengaman di hatinya.     

Tidak ada casing tidak ada parasut tidak ada tameng yang akan mengamankan hatinya.     

Lalu saat dia benar-benar terjatuh.     

Semuanya langsung hancur berkeping-keping.     

Hatinya hancur.     

Cintanya hilang.     

Lalu apa lagi yang harus Zahra perjuangkan?     

Tidak akan ada yang memperjuangkan dirinya.     

Dan tidak ada yang bisa dia perjuangkan.     

Dirinya hanya sebuah kesalahan.     

Ketidaksengajaan dan keterpaksaan.     

Dia di sini, bukan karena memang di harapkan. Bukan karena memang di inginkan.     

Bukan.     

Zahra di sini bukan siapa-siapa.     

Zahra menangis kembali. Membenamkan wajahnya di antara kakinya.     

Zahra bahkan tidak memperdulikan gedoran dan teriakan dari luar kamarnya sedari tadi.      

Zahra tidak perduli pada sekitanya lagi. Zahra seperti berada di dunianya sendiri.     

Dunianya yang hancur tanpa bisa di perbaiki.     

"Zahraaa." Ai menaruh nampan makanan di meja. Mendekati Zahra yang walau menyembunyikan wajahnya tapi Ai tahu.     

Zahra sedang menangis dan merasa sangat tersakiti.     

Zahra sendiri sudah tidak memiliki tenaga untuk menanggapi panggilan ibu mertuanya.     

Zahra tidak perduli lagi.     

Buat apa? Jovan saja tidak perduli padanya. Jadi Zahra juga tidak akan perduli lagi pada semuanya.     

Zahra tidak tahu Ai berkata apa saja. Mungkin kata-kata penghiburan. Pembelaan atau kecaman atau menertawakan. Terserah.     

Zahra tidak mau mendengar apa pun.     

Karena apa pun yang keluar dari mulut keluarga Cavendish. Tidak ada yang bisa di percaya.     

Bulshit semua.     

Zahra hanya diam sampai akhirnya ibu mertuanya sepertinya lelah dan kembali meninggalkan dirinya sendiri.     

Bagus.     

Biarkan Zahra sendiri.     

Zahra tidak butuh kata-kata manis.     

Zahra tidak butuh perhatian.     

Zahra Tidak butuh rasa kasihan.     

Karena Zahra tahu.     

Semuanya hanya kebohongan.     

Semua hanya oplosan.     

Cantik di luar, busuk di dalam.     

***     

"Bagaimana keadaan Zahra?"     

Ai melirik Jovan tidak berminat. "Ngapain nanya? Urus saja cintamu di Inggris sana," ucap Ai jutek.     

Ai masih kesal dan ikut sakit hati mendengar perkataan Jovan siang tadi.     

Dari ketiga anaknya Jovanlah yang selama ini paling manja padanya. Jadi tidak heran kalau Ai seperti berat sebelah dan lebih menyayangi Jovan dari pada Javier atau Ashoka.     

Makanya Ai masih tidak percaya kalau Jovan bisa menyakiti wanita sampai sedalam ini.     

Ai tahu Jovan playboy. Tapi Ia tidak menyangka. Anaknya penjahat wanita yang sesungguhnya.     

Dekati. Miliki. Lalu buang begitu saja.     

Selama ini Javier lebih dekat dengan Marco. Ashoka sudah jelas jadi anak emas Stevanie. Makanya Jovanlah yang selalu Ai beri perhatian lebih. Karena dengan Jovan yang manja padanya, Ai merasa masih berguna sebagai ibu.  Bukan hanya seorang wanita yang setelah menjadi Ratu, malah membiarkan ketiga anaknya di rawat orang lain. Seolah dia ibu yang jahat karena membuang anak-anak nya.     

"Mommy, please. Beritahu aku bagaiman keadaan Zahra?"     

Ai mendesah. "Zahra bahkan tidak mau melihat wajah mommy. Sebaiknya kamu jangan muncul di hadapannya dulu. Pasti dia masih marah. Biarkan Zahra menenangkan diri." Ai berjalan meninggalkan Jovan. Tapi beberapa saat kemudian dia berbalik.     

"Obati lukamu. Mom sebel lihat wajah bonyokmu itu."     

Baru saja Ai akan berjalan lagi seorang maid datang tergopoh-gopoh menghampiri.     

"Ada apa?"     

"Maaf yang mulia, nona Zahra sakit."     

"Whatttt?"     

"Apaaaa?"     

Ai dan Jovan langsung berjalan dengan sangat tergesa-gesa menuju kamar Zahra.     

"Bagaimana bisa. Belum ada satu jam aku dari sana?" tanya Ai sambil terus berjalan cepat.     

Jovan sudah berlari dan mungkin sudah sampai di kamar Zahra.     

"Kami juga khawatir yang mulia. Saat anda memerintahkan kami untuk memantau keadaan nona Zahra kami melakukannya dan maid yang berjaga langsung terkejut saat mendapati tubuh nona Zahra menggigil tapi suhu tubuhnya sangatlah panas."     

Ai mengangguk dan membuka pintu kamar Zahra. Di mana sudah ada Dokter yang sepertinya telah memeriksa keadaannya. Di sebelahnya Jovan terlihat semakin merasa bersalah.     

Sabodoteinglah sama Jovan.     

"Bagaimana keadaan menantu saya?" tanya Ai langsung.     

"Nona Zahra sepertinya banyak pikiran dan lumayan tertekan. Sebaiknya jangan melakukan sesuatu yang tidak di sukai oleh beliau. Karena nona Zahra sedang hamil dan ini masih trimester pertama. Jadi, masih rawan keguguran."     

"Tapi Zhara akan baik-baik saja kan? Kenapa dia diam saja?" Ai sangat khawatir dan ingin memastikan betul keadaan menantunya.     

"Saya sudah memasang infus dan memberinya obat serta vitamin. Saat ini nona Zahra hanya tertidur. Sebaiknya jangan di ganggu dulu paling tidak untuk malam ini," ucap Dokter menjelaskan.     

Ai mengangguk lalu maju mendekati ranjang yang di tepati Zahra. Dokter dan para maid langsung undur diri.     

"Enggak usah pegang-pegang." Ai menepis tangan Jovan yang mau mengelus wajah Zahra.     

Jovan tidak membantah tapi memasang tampang melas andalannya.     

"Keluar kamu. Enggak dengar tadi dokter bilang apa? jangan ganggu zahra."     

"Tapi aku mau menjaga Zahra mom."     

"Justru mukamu itu yang bikin Zahra stress. Bukan menjaga malah bikin histeris. Sana pergi, mom saja yang jaga Zahra. Kamu jagain saja si Ella itu."     

"Mommmm." Jovan semakin merasa bersalah. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa saat Ai memelototi dirinya dan kembali mengusir Jovan dari kamar Zahra.     

Ai duduk di sofa panjang yang baru saja di masukkan pengawal untuknya.  Malam ini Ai berencana tidur di sana saja karena khawatir kalau sewaktu-waktu Zahra bangun dan membutuhkan sesuatu.     

Ada banyak maid yang siap menjaga Zahra. Tapi, Ai ingin memastikan sendiri kalau Zahra benar-benar akan sembuh.     

Zahra itu jauh dari rumah. Tidak mengenal siapapun di sini selain Jovan dan dirinya. Sayangnya orang yang dia kenal malah menyakitinya makanya Ai yang akan menjaga Zahra seperti ibu yang menjaga anaknya sendiri.     

Ai pernah merasa terasing di Cavendish waktu dulu pertama kali ke sini. Jadi Ai tahu rasanya menjadi Zahra. Sendiri di tempat tak di kenal.     

"Mommm." Ai menoleh dan melihat Javier sudah ada di sebelahnya.     

"Mom ke kamar saja. Biar Javier yang jaga Zahra. Daddy tadi mencari mom."     

"Wajahmu itu sama kayak Jovan. Nanti Zahra malah semakin stress."     

"Mom tenang saja. Zahra bisa membedakan kami kok. Lagipula Javier tidak mau Daddy membentak semua orang karena mommy tidak mau tidur di kamar."     

Ai mendesah kesal. Daniel itu sama sekali tidak mau mengalah.     

Jangankan sama mantu. Sama anak sendiri saja tidak mau mengalah.     

"Kalau Zahra bangun. Langsung bertahu mommy ya." Ai berdiri. Mengusap wajah Javier yang terlihat lebam.     

Javier hanya mengangguk kaku.     

"Maafkan Jovan ya. Dia hanya sedang kesal. Dan butuh di sadarkan. Jangan marah padanya, karena bagaimanapun dia saudaramu. Mom enggak suka kalian berantem hanya karena wanita."     

Javier hanya mengangguk lagi. Ai melihat Zahra sebentar sebelum benar-benar keluar dari kamar.     

Setelah beberapa lama akhirnya Ai keluar dari kamar Zahra.     

Lalu hanya ada keheningan.     

Javier menarik kursi ke sebelah ranjang Zahra. Menatap wajah yang sudah dia seret tanpa tahu apa-apa.     

Javier menghela nafas berat.     

"Aku tahu kamu sudah bangun," ucap Javier memecah keheningan di kamar itu. Tidak ada gerakan apa-apa dari tubuh Zahra. Tapi, gerakan kelopak matanya tidak bisa menipu.     

"Tidak perlu bicara. Dengarkan saja. Itu juga kalau kamu mau dengar. Kalau tidak juga tidak apa-apa."     

Javier duduk tepat di sebelah Zahra. Lalu hening kembali.     

"Aku minta maaf."     

Javier menunduk sebentar.     

Dia menatap wajah Zahra kembali sebelum mulai melakukan pengakuan dosa.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.