One Night Accident

IMPOTEN 50



IMPOTEN 50

0Enjoy Reading.     
0

***     

Jovan merasakan kepalanya sangat sakit. Dia tahu ada darah yang menetes entah dari bagian tubuhnya yang sebelah mana. Karena Jovan merasa semua bagian tubuhnya nyeri dan remuk redam.     

Jovan hanya mau segera bertemu Zahra. Jovan tidak mau Zahra menjadi milik Javier.     

Jovan cinta sama Zahra.     

"Astaga, bukankah itu pangerannn." Seseorang yang mengenali Jovan segera membantu Jovan keluar dari dalam mobil yang terbalik.     

Jovan melepas sabuk pengamannya dengan susah payah sebelum akhirnya tubuhnya terhempas ke bawah. Untung beberapa orang yang menolongnya sigap dan segera membantu Jovan keluar dari dalam mobil yang sudah ringsek itu.     

"Tolong antarkan aku ke bandara,"  ucap Jovan berusaha bangkit dan menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya.     

"Astaga, cepat sediakan mobil. Pangeran harus di bawa ke rumah sakit," teriak seorang yang ikut membantu Jovan. Merasa khawatir dengan keadaan sang pangeran.     

Begitu tahu yang mengalami kecelakaan adalah pangeran Jovan. Kerumunan orang langsung tidak terhindarkan. Mereka berbondong-bondong ingin ikut menyelamatkan.     

"Please, bawa aku ke bandara saja." Jovan tetap ngotot ke bandara. Walau tubuhnya serasa sulit digerakkan. Dia harus bertahan.     

"Tapi pangeran ...."     

"Stttt, bawa aku ke bandara. Kamu bisa kirim dokter ke bandara juga. Oke." Jovan masuk ke dalam salah satu mobil dan memerintahkan pengemudinya menuju bandara sesegera mungkin.     

Tentu saja mereka melakukan apa yang di katakan Jovan. Siapa yang bisa membantah seorang pangeran.     

"Aku tidak apa-apa," ucap Jovan saat melihat pengemudi lelaki di depannya terlihat khawatir. Walau sebenarnya kepala Jovan terasa mau pecah tapi Jovan harus menahannya. Dia tidak boleh menyerah.     

Semakin cepat Jovan menyusul Zahra semakin kecil kemungkinan Zahra di rebut oleh Javier.     

"Pangeran kita sudah sampai."     

"Terima kasih."     

"Pangeran ...." lelaki yang mengantar Jovan ke bandara berteriak dan langsung menopang tubuh Jovan saat melihatnya agak limbung saat keluar dari mobil. Bagaimana tidak. Kaki Jovan saja bergetar hebat saat digunakan melangkah.     

"Tidak apa-apa." Jovan menarik nafas dan berusaha berdiri dengan tegak saat memasuki bandara. Walau banyak orang yang melihatnya heran karena mungkin melihat darah di wajah dan tubuhnya. Jovan tidak perduli.     

Dengan sekuat tenaga Jovan langsung menuju pesawat kerajaan dan memerintahkan seluruh kru segera menjalankan pesawatnya.     

Tentu saja semua langsung bergerak dengan sigap. Apalagi melihat keadaan Jovan yang penuh luka.     

Mereka takut, ngeri dan khawatir. Makanya tidak ada yang berani meninggalkan Jovan sendiri sebelum di tangani dokter.     

Akhirnya begitu pesawat benar-benar sudah lepas landas Jovan baru merasa lega dan agak tenang.     

Dan baru saat itulah Jovan mengizinkan dokter membersihkan dan mulai mengobati lukanya.     

Lalu Jovan membiarkan tubuhnya beristirahat. Karena dia tahu. Perjuangannya masih panjang.     

Ini baru permulaan.     

***     

"Lho ... Zahra? Jovan? kok kalian malah ke Jogja? Bukannya kita yang katanya mau di jemput Marco pergi ke Cavendish ya?" Eko yang sedang menikmati sop buah di depan rumahnya heran melihat anak dan menantunya datang tanpa pemberitahuan.     

"Assalamualaikum bapak." Zahra mengingatkan. Lalu menciumnya tangan pak Eko.     

"Ah iya lupa. Wa'alaikumsalam." Eko membalas salam anaknya lalu mengangsurkan tangannya agar di cium Javier.     

Javier menatap tangan pak Eko bingung. Begitu melihat Zahra mendelik ke arahnya barulah Javier ngeh dan ikut mencium tangan pak Eko.     

"Jovan kenapa pakai masker? lagi pilek?" tanya pak Eko penasaran.     

"Bukan om, saya Jav ...."     

"Iya pak. Mas Jovan lagi pilek dan sedikit batuk. Zahra kan lagi hamil jadi Zahra enggak mau sampai tertular." potong Zahra sebelum Javier menyelesaikan ucapannya     

Zahra belum bisa berkata jujur pada ayahnya tentang Jovan. Jadi biar saja Javier di anggap Jovan oleh bapaknya. Toh mereka kembar identik dan bapaknya tidak bisa membedakan mana Javier mana Jovan.     

Selain itu saat ini Zahra masih sangat lelah dan malas jika harus memberi penjelasan panjang lebar tentang permasalahan rumah tangganya.     

Mungkin nanti malam kalau semua sudah berkumpul Zahra akan menceritakan yang sebenarnya.     

"Kamu hamil? berapa bulan? Alhamdulillah bapak mau punya cucu lagi." Pak Eko berdiri mengamati anak perempuannya dan memeluknya bahagia.     

"Pak, Zahra ke kamar dulu ya. Capek." Wajah Zahra memang terlihat lebih pucat.     

"Oh ... ya sudah sana ke kamar. Bapak tak kasih tahu ibumu kalau kamu pulang."     

Zahra langsung masuk ke rumah dan menuju kamarnya.     

"Kamu ngapain masih di sini?" tanya Eko melihat Javier hanya berdiri di hadapannya.     

"Ha, emang aku musti di mana?" Javier bingung. Kan dia tamu, belum di persilahkan masuk atau duduk, masak main nyelonong aja.     

"Ya elah ini bocah. Pilek bisa bikin goblok ya. Ya masuk ke kamarmu sama Zahra sana. Malah bengong." Eko masih nggak ngeh kalau yang di depannya bukanlah Jovan tetapi sang kembaran.     

Javier mau membantah tapi dia ingat tadi Zahra memperkenalkan dirinya sebagai Jovan.     

Kalau Zahra melakukan itu pasti ada alasannya. Ya sudah Javier ngikut saja dari pada Zahra ngambek lagi.     

"Saya masuk dulu om," ucap Javier sebelum masuk dan mencari kamar Zahra.     

Pak Eko yang sudah memencet tombol ponsel android miliknya jadi heran. Itu mantunya sejak kapan pakai saya, saya segala. Biasanya pecicilan. Efek pilek luar biasa ya. Sampai lupa sama mertua dan malah panggil dirinya dengan sebutan om.     

Perasaan kemarin-kemarin sok akrab bapak mertua tersayang. Kenapa balik jad Om.     

Javier menaruh koper Zahra di dekat lemari.     

"Kamu ngapain di sini?" Zahra mendelik melihat Javier ikut masuk kamarnya.     

Enggak adik enggak kakak sama-sama kurang ajar. Nyelonong sembarangan.     

"Kata Om suruh masuk ke sini. Lagi pula kamu bilang ke papamu kalau aku ini Jovan. Jadi mungkin ...." Javier mengusap tengkuknya salah tingkah saat Zahra semakin menatapnya tajam.     

"Aku mau tidur, jangan ganggu. Dan jangan bilang ke bapak kalau kamu itu Javier. Nanti aku sendiri yang bicara. Mending kamu tidur di sofa luar sana atau di lantai. Terserah, Yang penting jangan berisik." Zahra sudah naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut menutupi tubuhnya. Malas juga melihat wajah Javier yang mirip suaminya.     

Javier mlongo. Tidur lagi? Benar-benar kebo ini anaknya Jovan.     

Mana Zahra jadi galak lagi, perasaan pas sama Jovan dulu manis dan nurut banget dah. Apa karena Jovan pinter gombalin cewek ya. Javier kan enggak bisa sama sekali.     

Semoga anaknya Jovan nanti kalau gede tingkanya enggak kayak bapaknya. Bisa pusing dia.     

Astagaaaa. Bukan Javier itu bukan anaknya Jovan. Calon anak kamu dan yang lagi bobo cantik juga calon istrimu.     

Oke Javier mulai sekarang sugesti dirimu dengan kata-kata itu.     

Zahra calon istrimu dan di perutnya adalah anak kamu.     

Ucapkan 10 kali dalam sehari.     

Biar enggak lupa lagi.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.