One Night Accident

IMPOTEN 55



IMPOTEN 55

0Enjoy Reading     
0

***     

"Hay mas Jovan. Butuh bantuan?" Jovan menoleh ke arah seorang wanita cantik yang tersenyum kepadanya.     

"Maaf siapa ya?" Jovan benar-benar lupa.     

"Aku Mirna. Rumah baru kamu sama rumahku cuma jarak dua rumah kok. Masak enggak tahu?"     

"Oh ... Maaf aku benar-benar lupa." Jovan merasa tidak enak karena ada beberapa tetangga yang mulai memperhatikan mereka.     

Mirna tersenyum kecut. Sebagai kembang desa yang sudah terkenal kecantikannya dia merasa terabaikan. Karena baru kali ini ada yang lupa sama namanya. Terang-terangan lagi.     

"Mirna bantuin ya mas." Mirna mengambil beberapa kantong yang berisi buah.     

Saat ini memang Jovan sedang belanja untuk memenuhi isi kulkasnya. Siapa tahu hari ini Zahra mau datang dan mau tinggal di rumah baru miliknya.     

"Enggak usah. Aku bisa sendiri." Jovan kembali membawa semua barang-barang belanjaannya dan berjalan pulang. Mirna setia mengikutinya.     

"Mas Jovan mau tinggal di Jogja permanen?" tanya Mirna berjalan bersisian dengannya.     

"Belum tahu." Jovan sebenarnya sedang malas berbincang-bincang tapi dia juga tidak enak kalau bicara ketus di depan umum begini.     

"Nunggu mbak Zahra melahirkan ya?" Jovan hanya mengangguk dan terus berjalan.     

Mirna cemberut dan kembali menjejeri langkah Jovan.     

"Awwww." Tiba-tiba kaki Mirna yang memakai high heels terpeleset. Tentu saja Jovan dengan sigap menopangnya agar tidak jatuh.     

"Kamu enggak apa-apa?"     

"Enggak mas. Makasih ya." Mirna tersenyum lebar.     

Jovan mengangguk dan mengambil lagi belanjaannya yang sempat terjatuh karena menahan tubuh Mirna.     

"Mas Jovan?"     

Deggg.     

Suara itu. Suara yang sudah seminggu lebih tidak di dengar oleh Jovan. Suara yang dia nantikan.     

Jovan tersenyum dan mendongak. Sayangnya wajah Zahra tidak terlihat senang. Malah terlihat memberengut ke arahnya.     

Javier menoleh dan baru ingat ada Mirna di sampingnya.     

"Dasar playboy." Zahra langsung melempar kunci rumah Jovan dengan kesal dan langsung berbalik pergi.     

Apanya yang berubah. Apanya yang cinta sama dia. Baru seminggu sudah kegatelan sama kembang desa.     

Dasar playboy cap cicak.     

"Dek Zahra ...." Jovan berlari dan mencekal tangan Zahra agar berhenti.     

"Apaan sih, enggak usah pegang-pegang. Pegang Mirna sana." Zahra menepis tangan Jovan dan terus berjalan pulang.     

Sejak di nasehati ibunya tadi pagi. Zahra berfikir seharian mengenai hubungan dirinya dengan Jovan. Dan akhirnya memutuskan akan memberikan kesempatan kedua pada suaminya.     

Tapi malah sekarang dia melihat suaminya dekat-dekat dengan si kembang desa. Dasar suami mesum.     

Emang dasarnya playboy ya playboy.     

"Zahra ... mas bisa jelaskan. Tadi itu Mirna mau jatuh. Mas enggak ada niat pegang-pegang."     

"Bohong. Bilang saja mas emang nyari kesempatan. Mumpung Zahra enggak ada." Zahra semakin berjalan dengan cepat.     

"Dek ... pelan-pelan. Kamu lagi hamil." Jovan kembali memegang tangan Zahra begitu sampai di depan rumahnya.     

Zahra ingin melepaskan tapi kali ini cekalan Jovan kencang jadi susah.     

"Zahra dengerin mas dulu, kamu enggak usah cemburu sama Mirna?"     

"Enggak. Siapa juga yang cemburu." Zahra memalingkan wajahnya.     

"Cemburu juga enggak apa - apa. Itu tandanya kamu masih cinta sama aku.  Tapi, kamu benar - benar salah faham.Mas  cuma bantu Mirna yang mau jatuh. Percayalah ... Mas jovan cuma cinta sama kamu sayang. Kamu mau apa pasti mas Jovan turuti." Jovan menarik bahu Zahra agar menghadap dirinya.     

"Aku enggak cemburu," ucap Zahra keukeuh.     

"Iya, kamu enggak cemburu. Mas mengerti dan mas tahu mas salah. Karena sudah bikin kamu kecewa. Mas benar-benar menyesal. Menyesal banget sudah bikin kamu sedih." Jovan menggenggam tangan zahra.     

"Mas minta maaf. Maaf ini benar - benar dari lubuk hati yang paling dalam. Mas menyesal semenyesalnya  pleaseeee berikan mas kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya." Jovan berlutut di hadapan Zahra.     

"Mas, jangan begitu." Zahra melihat sekitar. Khawatir jika ada yang melihat Jovan berlutut di hadapannya. Dia bingung. Dia tidak tega melihat Jovan memohon seperti itu.     

"Dek ...." Jovan mencium tangan Zahra sambil mendongak melihat ke arah matanya.     

"Mas cinta banget sama kamu, sayang sama kamu. Semua hati mas sudah penuh dengan namamu. Enggak ada wanita lain selain kamu. Hanya Zahra yang mas inginkan untuk mendampingi hidupku. Pleaseeee Zahra  mau kan maafin mas Jovan?"  Jovan menatap Zahra  penuh harap.     

Zahra tidak tahan lagi. Suaminya itu memang pintar meluluhkan hati Zahra sudah akan mengangguk saat suara itu menyadarkan dirinya.     

"Mas Jovannnnn. Ini kenapa barangnya di tinggal," teriak Mirna di belakang mereka. Sambil mengacungkan belanjaan Jovan.     

Mendengar itu Zahra langsung tersadar dan menatap Jovan tajam. Dia menepis tangannya dengan kesal. "Pergi sana sama Mirna." Zahra berbalik dan memasuki rumahnya.     

Brakkkkk.     

Jovan mengerang dan mengumpat kesal. Dengan cepat dia bangun dan menyusul istrinya."Zahraaa, Zahraaa ...." Jovan mengetuk pintu rumah Zahra berharap Zahra akan membukanya.     

"Zahra, dengarkan mas dulu. Zahraaa." Jovan terus mengetuk pintu  tanpa jeda.     

"Mas Jovan ini di taruh di mana?" Mirna tiba-tiba sudah ada di belakangnya.     

Jovan menghela nafas kesal. "Bisa tolong pergi."     

"Tapi ..."     

"Pergiiiiii," bentak Jovan membuat Mirna terlonjak kaget dan langsung menaruh barang-barang Jovan begitu saja lalu berlari ketakutan. Dia kan cuma mau membantu kenapa galak sekali.     

Mirna menangis dan memilih  pulang. Baru ini ada cowok yang membentaknya.     

"Zahra ... buka pintunya sayang. Mirna udah mas usir. Mas enggak selingkuh. Mas cuma cinta sama Zahraaa."     

Tidak ada tanggapan dari dalam.     

Jovan berjalan ke samping rumah di mana ada jendela di kamar Zahra.     

"Zahraaa, dengarkan mas dulu sayang. Mas benar-benar enggak ada apa-apa sama Mirna." Jovan mengetuk jendela kamarnya.     

"Bodo. Zahra sebel sama mas. Kenapa semua cewek bisa suka sama kamu. Zahra enggak suka kalau ada yang dekat sama mas," teriak Zahra dari dalam kamar.     

"Ya, mas enggak tahu sayang. Yang suka kan mereka bukan mas."     

"Pokoknya salah mas Jovan. Kenapa mereka bisa suka."     

"Iya sayang. Mas yang salah. Maafin mas ya."     

"Enggak mau. Zahra masih kesel."     

"Ya sudah mas bakalan tetap di sini sampai Zahra maafin mas."     

"Jangan di sini, di halaman saja sana. Ganggu Zahra mau tidur."     

"Baiklah. Mas tunggu di halaman. Kalau Zahra sudah maafin mas. Zahra keluar ya." Tidak ada jawaban lagi.     

"Zahra ... mas tunggu di halaman lho."     

Hening.     

"Zahra ... mas beneran nunggu ini. Kalau kamu enggak maafin aku. Mas Jovan enggak akan pergi."     

Tetap tidak ada tanggapan     

Jovan berjalan lesu ke depan rumah. Dia bisa saja duduk di teras. Tapi, tidak dia lakukan karena ingin membuktikan kesungguhan kata - katanya. Jovan akan terus berdiri di halaman sampai Zahra keluar dan memaafkan dirinya.     

Waktu berlalu terasa lambat dan ternyata hari sudah mulai gelap.     

Jovan memandangi rumah Zahra  yang mulai terang karena sepertinya Zahra menyalakan  lampu.     

Jovan mendesah lagi. Dia harus bagaiman agar Zahra mau memaafkan dirinya? Apalagi yang harus dia lakukan?     

Rencana A dirayu sudah.     

Rencana B diberi hadiah juga sudah.     

Haruskah dia melakukan rencana C.     

Jovan mendesah pasrah. Seperti dia memang harus melakukan ini. Dia sudah tidak tahan kalau terus - terusan di cuekin begini.     

Jovan merana, Jovan kesepian, Jovan kehilangan.     

Jovan mau Zahra ya Allah.     

Akhirnya dengan memandang rumah Zahra yang sepertinya tidak ada tanda - tanda akan segera di buka. Jovan menyerah dan mengambil ponsel di saku celana dan menghubungi dedengkot Cohza.     

"Alxi, persiapkan rencana C," perintah Jovan langsung.     

"Siap bosqueeeeeeeeee. Meluncurrrrr."     

Cinta di tolak.     

Fulus bertindak.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.