One Night Accident

IMPOTEN 57



IMPOTEN 57

0Enjoy Reading.     
0

***     

Astagfirullah, ini jam berapa? Kalian masih asik nonton film." Anisa terbangun tengah malam saat tidak mendapati suami di sampingnya.     

"Ini baru selesai filmnya," ungkap Eko sambil menunjukkan ponselnya.     

"Ya sudah sana pada tidur. Nanti waktu sholat subuh malah pada kesiangan."     

"Iya." Eko mematikan televisi yang tadi tersambung dengan ponselnya, sedang Zahra mengeliat sebelum berdiri bermaksud kembali ke kamarnya sendiri untuk istirahat.     

"Jovan sudah pergi?"tanya Anisa sebelum masuk ke dalam kamarnya lagi. Dia ingat tadi menantunya dibiarkan berdiri di luar.     

Tubuh Zahra dan pak Eko langsung terpaku.     

"Astagfirullah kita enggak periksa," ucap pak Eko langsung menuju jendela.     

"Ya Allah, Buk. Itu Jovan bukan? Mataku enggak terlalu awas ini. Masih hujan deres." tunjuk Eko ke halaman rumahnya.     

"Astagfirullah itu Jovan pak. Cepat bawa masuk, ya Allah anak orang itu." Anisah jadi panik sedang pak Eko langsung membuka pintu dan berlari ke halaman di mana Jovan terlihat tergeletak di atas tanah.     

"Mas Jovan kenapa Bu?" Zahra ikut panik melihat ibunya yang terlihat memucat. Lalu Zahra melihat bapaknya membopong tubuh Jovan masuk.     

Zahra langsung terpaku sambil membekap mulutnya. Tubuhnya gemetaran. "Massss Jovannnnn." Zahra menghambur ke arah Jovan yang di letakkan bapaknya di lantai kamarnya karena tubuhnya yang basah kuyup dan kotor.     

"Mas ... ya Allah mas ... hikssss mas." Zahra sudah menangis sesenggukan saat melihat wajah Jovan yang terlihat sangat pucat dan tubuhnya sangat dingin.     

Anisa langsung memeriksa denyut jantung Jovan. "Zahra, tenang sayang. Jovan masih hidup. Kamu sebaiknya lepas semua bajunya terus ganti yang kering biar dia tidak menggigil lagi. Ibu akan ambil obat di klinik." Anisa berdiri menarik Eko keluar kamar agar Zahra bisa melepas semua baju Jovan.     

Zahra melepas baju Jovan sambil menangis dengan tangan gemetar hebat. Dia sangat takut dan khawatir.  "Maaf mas ... maafin Zahra. Zahra enggak bermaksud mencelakai mas. Huhuhuuu mas jangan tinggalkan Zahra. Huuuhh Zahra cinta sama mas Jovan. Hiks hikssss." Zahra mengambil handuk yang dia basahi dengan air hangat lalu membersihkan tubuh Jovan dan mengeringkan tubuh Jovan. setelah itu menutup bagian bawah tubuhnya dengan handuk lainnya.     

"Pak ... sudah," teriak Zahra agar bapaknya masuk dan membantu Zahra mengangkat Jovan ke atas ranjang yang kering dan hangat.     

"Biar bapak saja Zahra. Bapak kuat kok," ucap pak Eko sambil membawa Jovan ke atas ranjang.     

Zahra langsung menyelimuti seluruh tubuh Jovan agar tidak dingin lagi. Zahra juga terus mengelus tangan Jovan yang terlihat mengkerut karena kedinginan.     

Pak Eko membereskan baju Jovan yg berserakan di lantai dan mengeringkan lantai agar tidak membuat Zahra terpeleset.     

Tidak lama kemudian Anisa masuk dengan membawa tas yang berisi obat dan alat kesehatan.     

"Zahra sudah jangan menangis terus. Jovan pasti baik-baik saja." Hibur Eko menyandarkan kepala anaknya di pinggang dan mengelus rambutnya pelan karena saat ini Zahra duduk di pinggir ranjang dan Eko berdiri di sebelahnya.     

"Ini kan gara-gara kamu pak. Pakai acara ngetes anak orang segala. Kalau Jovan meninggal bagaimana?" Omel Anisah sambil mengecek suhu tubuh Jovan dan tensi darahnya.     

Zahra  semakin menangis kencang. Apa yang di katakan ibunya benar. Bagaimana kalau gara - gara ini Jovan sakit parah, atau paling sadis jika Jovan sampai meninggal? Zahra pasti akan menyesal sampai akhir hayatnya. Dan seluruh keluarga Jovan mungkin akan mengutuknya hingga 7 turunan.     

"Maaf Bu, ini salah Zahra, coba Zahra enggak egois, enggak suruh mas Jovan nunggu di halaman pasti enggak akan kayak begini jadinya. huhuhuuu." Zahra menyalahkan dirinya sendiri sambil terus memandangi wajah suaminya yang sangat dia cintai.     

Anisah yang melihat anaknya malah semakin menangis kencang jadi tidak tega mau memarahinya. Mana lagi hamil lagi. "Sudah enggak usah menangis. Jovan enggak apa - apa. Dia  kelelahan dan perutnya kosong makanya tubuhnya ngedrop. Di tambah kehujanan semalaman. Semoga saja dia tidak terkena hipotermia gara - gara kejadian ini."     

Mendengar ucapan ibunya Zahra menangis dan memeluk Jovan erat. "Maafin Zahra massss, huhuuu."     

Anisah mengelus kepala anaknya. "Zahra sudah ya, kamu tenangkan dirimu dan sekarang coba bangunin Jovan. Biar bapak kamu belikan bubur di perempatan," ucap Anisah.     

"Ini sudah tengah malam, mana ada yang jualan bubur?" Protes Eko.     

"Ada, yang sebelum orang jual ayam bakar. Itu ada yang jual bubur ayam sampai tengah malam," Anisah memberi tahu.     

"Sama kamu saja, dari pada salah tempat."     

"Huft, ya sudah sebentar." Anisah menoleh ke arah anaknya. "Zahra ... kamu bisa kan coba bangunkan Jovan?"     

Zahra mengangguk masih memeluk Jovan.     

"Bagus, kamu coba bangunkan Jovan ibu dan bapak cari bubur sebentar untuknya. Ya? Biar dia nanti makan dan minum obat." Zahra mengangguk lagi.     

Anisah langsung menyeret tangan Eko keluar dari rumah dengan cepat. Hujan masih turun dan mereka berharap kang bubur tetap buka di cuaca yang aneh ini.     

Musim kemarau kok tiba-tiba hujan deras.     

***     

Jovan mengerang lalu membuka matanya saat merasa risih dengan aroma di hidung dan suara tangisan di sampingnya.     

"Mas ... hiks, bangun mas ... Hiks ...." Zahra menatap Jovan dengan tangisan dan rasa penyesalan.     

"Zahra?" ucap Jovan dengan suara serak. Antara percaya dan tidak bahwa istrinya kini ada di sampingnya.     

Tanpa aba-aba Zahra langsung memeluk Jovan dan menangis kencang. "Maaf massss, maafin Zahra huhuhuuu, Zahra ... hikssss enggak maksud bikin mas Jovan celaka. Huhuhuuu."     

Jovan sebenarnya merasa sesak dengan pelukan Zahra yang terlampau erat. Tapi dia tidak perduli yang penting Zahra mau memeluknya saja dia sudah sangat bahagia.     

Jovan mengelus kepala hingga punggungnya. Antara percaya dan tidak  bahwa saat ini Zahra ada di pelukannya.     

Zahra masih bergetar karena menangis dan terus minta maaf padanya berulangkali.     

"Zahra ...." Jovan mendongakkan wajah Zahra yang basah penuh air mata. "Kamu kenapa minta maaf terus? kan mas Jovan yang salah sama kamu."     

"Tapi, hiks tapi ... kan. Zahra sudah hiks ... bikin Mas Jovan kehujanan sampai hiks ... pingsan. Huhuuu maafin Zahra ya, Zahra benar - benar enggak mau Mas celaka huhuuu."     

Jovan memeluk Zahra dan mengecup keningnya. "Kamu enggak salah sayang, Mas Jovan yang salah. Jadi kamu enggak perlu minta maaf. Harusnya mas Jovan yang minta maaf sama kamu." Jovan terus menelusuri punggung Zahra agar lebih tenang.     

"Tetap saja Zahra sudah bikin mas sakit."     

"Sttt ... enggak apa-apa sayang. Mas enggak masalah kok. Mau kamu bunuh mas juga. Mas rela."     

"Huaaaa, enggak mauuu. Zahra gak mau mas meninggal. Maafin Zahra yaaa ...?" Zahra malah semakin sesenggukan.     

"Iya sayang, gak papa. Mas akan selalu maafin kamu."     

"Tapi, Zhara juga mau maafin mas Jovan kan?" tanya Jovan penuh permohonan.     

Zahra mengangguk di dalam pelukannya. "Zahra sudah maafin mas kok. Zahra enggak mau kehilangan mas Jovan."     

Jovan langsung merasa hatinya plong.     

"Makasih ya sayang. Makasih banget karena sudah mau maafin aku. Mas Jovan janji enggak akan pernah buat kamu kecewa lagi." Jovan mendongakkan wajah Zahra. Kali ini mencium bibirnya. Tapi, hanya menempel dan seperti ingin meresapi semuanya.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.