One Night Accident

IMPOTEN 61



IMPOTEN 61

0Enjoy Reading.     
0

***     

Jovan membuka matanya dan langsung mengerang, merasakan sakit di seluruh tubuhnya.     

"Akhirnya ... kamu bangun juga. Bagaimana perasaanmu?" Javier mendekat ke arah saudara kembarnya yang penuh perban.     

Jovan menatap Javier yang terlihat sangat khawatir. Dia merasa Dejavu dengan pertanyaan itu.     

Perasaan dia pernah mengalami ini. Ah ... waktu dia menyusul Zahra ke Jogja dan kecelakaan. Posisinya persis seperti ini.     

"Jovan?" Javier kembali memanggil Jovan saat saudaranya itu diam saja. Apakah ada yang salah?     

"Jovan ...."     

Jovan bermaksud duduk tapi langsung meringis kesakitan. Javier dengan cepat membantu Jovan menaikkan ranjang rumah sakit yang dia tempati agar Jovan bisa duduk bersandar.     

"Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kakimu patah. Tapi tenang saja, Om Marco sudah mengoprasinya jadi dua Minggu lagi kamu pasti sudah bisa berjalan normal kembali." Javier menjelaskan kondisinya.     

Jovan melihat kaki kirinya yang di gips. Lalu dia mengingat-ingat apa yang terjadi. Dia sedang pergi ke bazar dengan Zahra. Lalu ....     

"Astagaaaaa. Zahra ... Awwww." Jovan kembali meringis saat memaksakan diri untuk bangun dan kakinya terasa berdenyut-denyut.     

"Di bilang jangan banyak bergerak dulu. Tubuhmu masih banyak lukanya Jov." Javier memegang tubuh Jovan yang hampir terjatuh ke samping.     

"Zahra? Bagaimana keadaan Zahra? Dia baik-baik saja kan? Di mana dia?" Jovan mencengkram lengan Javier dengan erat dan wajah panik. Dia memeluk Zahra waktu itu tetapi dia juga melihat banyak darah.     

Mendengar pertanyaannya Jovan tubuh Javier langsung menegang.     

"Zahra ...." Javier menelan ludah sambil memalingkan wajahnya.     

"Zahra sudah melahirkan ...." Javier menelan kata selanjutnya saat merasakan tenggorokannya tercekat. Tidak sanggup memberitahu Jovan keadaan Zahra yang sebenarnya.     

"Benarkah? lalu di mana dia?Aku ingin bertemu dengannya." Jovan terlihat senang mendengar Zahra sudah melahirkan dan berusaha  bangkit dari ranjang.     

"Jangan bergerak dulu." Javier mencegahnya.     

"Tapi ... aku ingin bertemu Zahra dan anakku." Jovan masih berusaha bangun. Sudah tidak sabar menemui mereka.     

"Nanti, nanti aku akan membawa anakmu ke sini." Javier memaksa Jovan merebahkan tubuhnya lagi.     

"Aku ingin bertemu sekarang Jav! Apa dia setampan diriku?" tanya Jovan penuh semangat.     

Javier hanya mengangguk dan kembali memalingkan wajahnya.     

Bertepatan dengan itu, pintu terbuka.     

Ai langsung menghambur ke arah Jovan dan mencium wajahnya sayang. begitu melihat putranya sudah siuman.     

Di belakangnya ada Daniel dan Marco.     

"Syukurlah kamu sudah sadar ... Mom sangat khawatir sayang." Ai mengusap wajah Jovan dengan lembut.     

"Mom ... aku baik-baik saja." Jovan menenangkan Ai yang wajahnya  penuh dengan air mata.     

Ai berusaha tersenyum dan mengangguk sambil mengusap air matanya yang tidak berhenti mengalir.     

"Mom, jangan menangis terus. Harusnya mom bahagia. Mom sudah jadi nenek sekarang. Bukankah kata Javier Zahra sudah melahirkan?" Jovan membantu ibunya mengusap air matanya. Tapi, mendengar kata-kata Jovan. Tangis Ai bukannya berhenti  malah semakin deras.     

"Mommm, sudahlah. Jovan tidak apa-apa." Jovan tidak tega melihat mommynya terus sesenggukan. Sebagai anak paling manja memang Jovan biasanya suka membuat Ai menangis khawatir. Tetapi kali ini kan Jovan hanya terluka sedikit bahkan istrinya sudah melahirkan. Harusnya Ai enggak usah menangis terus.     

"Mom terharu ya, karena sekarang punya cucu."     

Ai menarik nafas panjang dan berusaha tersenyum. Ai harus kuat. Tidak boleh membuat Jovan semakin tertekan dan sedih.     

"Iya, mom akhirnya punya cucu."     

"Mom, bisakah membawa anakku kemari?"     

"Belum bisa Jovan. Anakmu prematur jadi harus di incubator selama seminggu dulu." Marco yang menjawabnya.     

"Dia pasti sangat tampan," ucap Jovan penuh binar bahagia di matanya.     

Ai mengangguk. " Dia sangat tampan, seperti dirimu, Tampan sekali," ucap Ai semakin merasa sesak di dadanya.     

"Mahesa. Namanya Mahesa mom. Aku sudah sepakat dengan Zahra." Jovan menjelaskan.     

"Kalau aku belum boleh bertemu anakku. Kalau begitu aku ingin bertemu Zahra saja? Di mana dia?"     

Semua orang yang berada di ruangan itu langsung terdiam. Marco menunduk, Javier memalingkan wajahnya. Ai kembali menangis. Daniel hanya diam dengan wajah sedih.     

"Ada apa? kenapa kalian diam saja?" Jovan merasa tidak tenang. Ada yang tidak beres di sini.     

"Javier bisa antar kan aku ke tempat Zahra?" Paksa Jovan.     

"Kamu masih sakit Jov. Nanti saja kalau sudah agak enakan," jawab Javier tanpa berani menatap saudaranya.     

"Aku tidak apa-apa. Om Marco bisa tunjukkan ruangan Zahra?" Jovan melihat paman kesayangannya terlihat ikut menangis.     

"Ada apa ini? Kenapa kalian aneh sekali? Di mana Zahra? Ada apa dengannya?" Jovan menatap wajah mereka satu persatu dengan panik.     

"Mommm di mana Zahra?" Ai berbalik dan malah memeluk Daniel erat.     

"Om Marco Zahra tidak apa-apa kan?"  Jovan melihat Marco penuh harap.     

"Maaf," ucap Marco lirih.     

Jovan semakin panik. "Jav, kamu bilang Zahra sudah melahirkan. Dia pasti sekarang ada di ruang perawatan pasca melahirkan. Iya kannn? Antar aku ke sana Jav." Jovan kembali mencengkram lengan Javier.     

"Maaf, Zahra ... Zahra ...." Javier tidak sanggup mengatakan ini.     

Jovan melepas cengkraman tangannya. Melihat semua orang di ruangan itu dengan jantung berdegup kencang.     

"Di mana Zahra?" tanyanya sekali lagi.     

"Zahra ... Zahra sudah tidak ada."     

Deggg.     

Jovan menatap Daniel yang berbicara sambil memeluk Ai yang semakin sesenggukan.     

"Tidak ada? apa maksudnya tidak ada?"     

"Zahra tidak selamat Jov. Dia meninggal." Marco mendekati keponakannya.     

Jovan tertawa menatap semuanya. "Kalian mengerjaiku kan? pasti kalian ingin membuat kejutan? iya kan?" Jovan tidak percaya. Tidak.     

Tidak mungkin Zahra meninggalkan dirinya. Jovan masih ingat dia memeluk Zahra saat kecelakaan. Dia masih ingat Zahra tersenyum sebelum Jovan pingsan. Itu sangat tidak mungkin.     

"Jov ... tenangkan dirimu,."     

Jovan menepis tangan Javier yang mengelus pundaknya. "Apaan sih tenang-tenang. Kalian jangan pada ngaco deh. Zahra itu enggak apa-apa." Jovan bangun dan berusaha menurunkan kakinya yang di gips.     

"Jovan tabah Jov, Zahra memang tidak selamat. Dia meninggal setelah melahirkan anakmu." Marco berusaha ikut menenangkan jovan.     

"Aku enggak percaya. Aku mau ketemu Zahra." Jovan turun dari brangkar dan mencabut infusnya begitu saja. Walau tubuhnya terasa sakit semua. Tapi dia tetap berusaha berdiri.     

Javier membantu menopang tubuh Jovan saat melihat tubuhnya limbung.     

"Antar kan aku ke tempat Zahra." Perintah Jovan  dengan nada dingin sambil berusaha melangkah.     

Javier memandang Marco dan Daddynya. Daniel mengangguk, bagaimana pun juga  Jovan harus mengetahui keadaan istrinya.     

Javier mengambil kursi roda dan menyuruh Jovan duduk di sana. Jovan menolak dan memilih berjalan sambil terpincang-pincang dengan sebelah kaki dan Javier menuntunnya sepanjang jalan.     

Marco, Daniel dan Ai hanya mengikuti dari belakang.     

"Di mana ruangannya?" tanya Jovan menatap setiap ruangan yang dia lewati.     

"Zahra ada di dalam sana."     

Jovan melihat pintu di hadapannya.     

Ruang jenazah.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.