One Night Accident

IMPOTEN 62



IMPOTEN 62

0Enjoy Reading.     
0

***     

Jovan melihat pintu di hadapannya.     

Ruang jenazah.     

Apa maksudnya ini? Kenapa Javier malah membawanya ke ruang jenazah.     

"Sudah aku bilang jangan bercanda Jav." Jovan mendorong tubuh Javier menjauh darinya dan memilih berpegang di tembok.     

Ini enggak lucu sama sekali. Mereka boleh kesal karena selama ini Jovan nakal. Tetapi bukan berarti Jovan suka dengan cara mengerjai seperti ini.     

Nyawa Zahra bukan mainan.     

"Ikhlaskan Jov. Zahra memang sudah meninggal." Javier menatap Jovan dengan sedih dan kasihan.     

"TIDAK, GAK MUNGKIN ZAHRA MENINGGAL. BILANG SAJA KAMU MAU AMBIL ZAHRA DARIKU." Dada Jovan naik turun karena merasa sesak. Javier pasti masih berharap bisa ambil Zahra darinya. Makanya melakukan hal ini.     

Javier mendekat, membuka ruang jenazah.     

"Masuklah ...."     

Jovan tidak percaya. Dia memandang Javier dan ruang jenazah secara bergantian.     

Jovan mendorong tubuh Javier agar menyingkir. Dia berjalan tertatih-tatih menuju sebuah brangkar dengan sesosok tubuh yang sudah tertutup kain putih.     

Semakin dekat dadanya semakin berdebar dengan kencang. Jovan tidak mau mengakui ini. Pasti yang ada di balik kain itu bukanlah Zahra.     

Pasti orang lain.     

Jovan berusaha menenangkan dirinya sendiri.     

Jovan berdiri tepat di sebelah jenazah itu. Javier ada di belakang Jovan siap untuk menenangkan Jovan jika dia lepas kendali.     

Ai, Marco  dan Daniel  melihat Jovan dengan wajah tidak tega. Mereka semua tahu tidak akan mudah bagi Jovan menerima kenyataan ini.     

Saat Jovan membuka kain itu. Dirinya langsung terasa terhempas ke dalam jurang.     

Dadanya terasa sesak seperti kehabisan napas. Sakit, sakitnya tak terkira.     

"Enggak mungkin, ini enggak mungkin." Jovan menatap wajah Zahra yang pucat pasi. Seperti ada lapisan es yang menutupi kecantikannya.     

"Zahra ... Zahra sayang, bangun sayang. Ini mas Jovan." Jovan menepuk pipi istrinya berusaha membangunkannya. Namun hanya rasa dingin yang dia rasakan.     

"Zahra, kalau mas ada salah. Mas minta maaf, tapi jangan diam saja. Ayo bangun sayang ...." Jovan terus menepuk pipi Zahra dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya.     

"Jov ... ikhlaskan ...." Javier memegang tubuh Jovan yang terasa bergetar hebat.     

"NGGAK!!! ZAHRA TIDAK MATI, DIA AKAN BANGUN SEBENTAR LAGI," Teriak Jovan masih menyangkal dan kembali membujuk Zahra agar bangun.     

"Ayo sayang bangun. Bilang sama mereka semua kalau kamu baik-baik saja. Zahra ... Bangunnnnnnn. kamu dengar mas nggak sih? BANGUNNNNN." Jovan mengguncang-guncang tubuh Zahra dengan kencang karena Zahra tetap diam.     

"Jovvv, hentikan." Marco berusaha menghentikan perbuatan Jovan.     

Jovan tetap memegang tangan Zahra dengan erat. "Kamu bilang cinta sama aku, kamu bilang asal aku setia, kamu akan menemaniku selalu."     

"Aku benar-benar sudah berubah sayang. Aku hanya cinta sama kamu. Aku setia sama kamu. Kenapa kamu malah ninggalin aku?"     

Tubuh Jovan hampir merosot jika saja tidak di  topang oleh Marco. Dengan tangisan menyayat hati Jovan menciumi tangan Zahra. Seolah berharap keajaiban menghampirinya.     

Keajaiban?     

Jovan mencengkram lengan Marco dan memandang penuh harapan.     

"Paman ... paman pasti bisa menyembuhkan Zahra bukan? Paman pernah menghidupkan Javier. Pasti sekarang paman juga bisa menghidupkan Zhara. Iya kan paman? Bisa kan?"     

"Maaf ... Jovan, maaf ...." Marco menunduk ikut merasa sakit.     

"Jangan minta maaf, aku tahu paman bisa melakukannya. Ayolah paman. Tolong hidupkan Zahra untukku. Jovan janji Jovan akan menjaganya, tidak akan menyakitinya. Dan mulai hari ini Jovan akan selalu melakukan apa kata paman. Tapi Jovan mohon selamatkan Zahra .... Selamatkan istriku paman ...." Jovan merosot turun dan bersimpuh di kaki Marco.     

Marco ikut bersimpuh dan memeluk Jovan sambil ikut menangis. Tidak ada satu katapun yang sanggup keluar dari bibirnya.     

Dia terlambat. Dia terlambat menyelamatkan Zahra.     

Andai Zahra baru meninggal beberapa jam yang lalu, Marco masih bisa mengusahakannya. Sayangnya keluarga Cohza baru mendapat berita kecelakaaan Jovan setelah 2 hari.     

Hal itu di karenakan saat mengalami kecelakaan Jovan dan Zahra tidak membawa identitas diri, hingga akhirnya polisi mencari nomor keluarga dari ponsel Zahra yang sudah hancur.     

"Paman, katakan kamu akan melakukannya. Katakan kamu bisa menghidupkan Zahra lagi." Jovan kembali memohon.     

Ai sudah tidak tahan melihat anaknya yang terlihat sangat terpuruk. Dengan air mata berlinang dia keluar dari ruang jenazah dan menangis sesenggukan di depan pintu.     

"Maaf ...."     

Jovan langsung mendorong Marco menjauh dan menatapnya penuh kebencian."Kalau kalian tidak mau menyelamatkan Zahra. Aku akan melakukannya sendiri."     

Jovan berdiri dengan satu kaki dan kembali menghampiri tubuh Zahra yang sudah kaku.     

"Kamu tenang saja sayang. Mas akan segera menyelamatkan dirimu. Mas janji tidak ada yang akan memisahkan kita lagi." Jovan berusaha mengangkat tubuh Zahra.     

"Jovan ... apa yang kamu lakukan?" Javier berusaha melepaskan Zahra dari dekapan Jovan.     

"LEPASKAN, AKU AKAN MENYELAMATKAN ZAHRA." Jovan berusaha menepis siapa pun yang berusaha menjauhkan dirinya dari Zahra.     

"Jovannnnn, Zahra sudah meninggal." Marco melihat keponakannya yang terlihat mengenaskan.     

"AKU AKAN MENGHIDUPKANNYA LAGI." Jovan semakin mengeratkan pelukannya ke tubuh Zahra. Seolah-olah takut akan ada yang mengambil Zahra darinya.     

"Ikhlaskan nak ...."     

"MENJAUH KALIAN," Jovan semakin ketakutan. Tidak ada yang boleh memisahkan dirinya dengan Zahra.     

Tidak. Tidak boleh.     

Zahra hanya miliknya.     

Dan siap pun tidak akan bisa mengambil Zahra darinya.     

Tidak akan pernah Jovan biarkan.     

"Jovan, terimalah. Zahra sudah meninggal, biarkan dia tenang di alamnya." Daniel berusaha membujuk anaknya.     

Jovan menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Zahra.     

"Zahra akan hidup lagi, Jovan percaya Zahra tidak akan meninggalkan Jovan. Zahra cinta sama Jovan. Dia akan kembali Dad, percayalah padaku."     

Semua yang berada di ruangan itu melihat Jovan seperti orang yang putus asa.     

"Jovannnnn, lepaskan Zahra. Dia  harus di makamkan, Nak."     

"Ikhlaskan Jov, biarkan Zahra tenang di sana."     

"ENGGAK MAUUUU, JANGAN AMBIL ZAHRAAAA. LEPASKAN TANGAN KALIAN DARI ZAHRAAAA, LEPASSSSSSSSSSS."     

"PERGIIIII, JANGAN LAKUKAN ITUUUU, DADDD, MARCOOOO, LEPASKAN. ZAHRAAAA ... JANGANNNNNNNNNN."     

Daniel dan Marco berusaha melepaskan pelukan Jovan ke tubuh Zahra, sedang Javier dengan wajah sedih menyuntikkan obat bius ke tubuh Jovan agar tidak terus meronta dan melawan mereka.     

Beberapa detik kemudian tubuh Jovan mulai lemas, dengan sigap Javier menangkapnya agar tidak terhempas ke lantai.     

"Jangan bawa Zahra, kembalikan zahra padaku  ... aku mencintai Zahraaa, Zahra ... Zahra ...."  suara Jovan semakin lirih sebelum akhirnya matanya terpejam akibat pengaruh obat bius.     

Javier hanya sanggup memeluk tubuh Jovan yang sudah lemas dan tertidur.     

Javier sangat sedih dan ikut merasa sakit serta sesak di dadanya.     

Javier tahu bagaimana rasanya kehilangan. Javier mengerti bagaimana hidupnya terasa tidak berarti saat wanita yang dia cintai menghilang.     

Javier pernah merasakannya.     

Sakit yang tidak ada obatnya.     

Tapi Javier lebih hancur saat melihat Jovan juga harus merasakan apa yang dulu pernah dia alami.     

KEHILANGAN.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.