One Night Accident

IMPOTEN 64



IMPOTEN 64

Enjoy Reading.     

***     

Pagi itu suara alarm yang berbunyi keras dari ponsel mengganggu tidur Jovan yang sedang nyenyak-nyenyaknya.     

Ia mematikan alarm dengan sebelah tangan dan tangannya yang sebelah meraba ke samping.     

"Zahra ... bangunnnnnnn."     

Jovan meraba lagi. Tempat di sebelahnya kosong, tidak ada apa pun di sana. Hanya seprai dan bantal yang rapi tanpa ada tanda-tanda ada orang lain yang menidurinya.     

Jovan selalu lupa.     

Zahranya sudah tidak ada.     

Zahranya sudah pergi.     

Zahranya tidak akan pernah terbangun lagi.     

Selalu saja seperti ini.     

Padahal sudah hampir lima tahun semenjak kematian istrinya. Jovan masih melakukan hal itu. Menyetel alarm dengan suara keras dan berharap bisa membangunkan Zahra untuk sholat subuh berjamaah.     

Berharap kematian Zahra hanya mimpi belaka.     

Berharap apa yang ia alami hanya halusinasi.     

Berharap Javier dan keluarganya sedang mengerjainya lagi.     

Sayangnya ia lagi-lagi harus menerima tanpa bisa protes apalagi minta dispensasi.     

Zahra sudah meninggal dan tidak akan pernah kembali.     

Jovan bangun dan masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan diri dengan air dingin untuk menyadarkan otaknya yang masih memikirkan harapan-harapan yang tidak akan mungkin terjadi.     

"Ayah ...."     

Jovan baru keluar dari kamar mandi saat melihat anaknya sudah berada di pintu kamarnya.     

Jovan tersenyum dan langsung menghampirinya.     

"Sudah bangun? Sudah ambil wudhu?" tanya Jovan yang lagi-lagi merasa sedih setiap melihat anaknya yang harus tumbuh tanpa seorang ibu.     

Mahesa menggeleng.     

"Mau wudhu di kamar ayah?"     

Mahesa mengangguk masih dengan muka bantalnya.     

Jovan menggendong Mahesa dan memasukkannya ke kamar mandi di dalam kamarnya.     

Beginilah rutinitasnya setiap hari. Bangun pagi dan mengajak anaknya sholat subuh berdua. Dan karena sudah kebiasaan, jadi tanpa dibangunkanpun Mahesa selalu sudah bangun tiap jam setengah lima pagi.     

Jovan melihat anaknya yang sudah siap di belakangnya.     

Harusnya ada Zahra di sana.     

Harusnya ada adik-adik Mahesa juga di sana.     

Lagi-lagi Jovan menyadarkan dirinya sendiri. Dan menghentikan pemikiran mustahilnya.     

Harusnya sekarang dia sholat dan mendoa'akan sang istri agar selalu tenang. Bukan memberatkan Zahra dengan kesedihan dan ketidakrelaannya.     

Semua sudah terjadi.     

Ikhlas atau pun tidak, Jovan harus tetap berusaha mengikhlaskannya.     

****     

"Trima kasih." Jovan menerima data pasiennya untuk hari ini.     

Perawat yang memberikannya tersenyum bahagia.     

Siapa sih yang tidak bahagia jadi asisten dokter seperti Jovan. Apalagi setatusnya sebagai duren Cohza malah membuat semua staf, perawat dan suster di rumah sakit Cavendish semakin penasaran dan berharap bisa menggantikan istri Jovan yang kabarnya sudah meninggal.     

Sebenarnya ada Javier dan Junior juga yang menjadi idola. Sayangnya Javier walau ramah dan murah senyum tapi sangat susah dijangkau.     

Sedang Junior walau ketampanannya membuat semua wanita terpana. Sayang wajah datarnya cukup membuat takut. Apalagi setatusnya sudah menikah dan memiliki istri cantik, sexy dan segalak singa betina. Lirik sedikit auto disleding mereka.     

Makanya Jovan  jadi lebih populer dari mereka. Lagi pula status yang di miliki Jovan malah seperti mendongkrak popularitas.     

Entah kenapa duda terlihat lebih menggiurkan dibandingkan Javier yang jelas-jelas masih Single dan perjaka.     

Mungkin karena dianggap lebih berpengalaman kali ya.     

"Kenapa kamu masih di sini?" Jovan menatap asistennya yang tersenyum sendiri.     

"Sudah tidak ada yang bisa saya bantu Dok?" bantu jadi ibu dari anak-anakmu misalnya. Batin perawat itu penuh harap.     

"Tidak. Silahkan panggil pasiennya," ucap Jovan ramah.     

"Baik, Dok." Perawat itu keluar dari ruangan Jovan dengan senyum semakin lebar.     

Udah ganteng, kaya, ramah lagi. Siapa yang tidak meleleh coba. Tiap hari disuguhi beginian bisa-bisa dia kena virus Jovan garis keras. Batin perawat itu mulai kembali ke habitatnya.     

Jovan meneliti jumlah pasiennya. Sepertinya ia akan sangat sibuk hari ini.     

Jovan selalu berusaha terlihat tetap ramah, apalagi kepada pasiennya yang memang adalah ibu-ibu hamil.     

Jovan mau semua wanita hamil merasa dimanjakan. Dan Jovan akan selalu berusaha membantu kelahiran anak-anak mereka dengan selamat.     

Jangan sampai ada anak yang lahir tanpa ada ibu yang merawatnya. Atau, jangan sampai ada ibu yang kehilangan anaknya.     

Jovan sudah mengalami dan tahu sakitnya kehilangan. Jadi, ia selau berusaha menyelamatkan semuanya tanpa terkecuali.     

Jovan bersyukur karena mengambil spesialisasi kandungan. Karena menyambut kelahiran anak memang hal yang dinantikan setiap pasangan.     

Walau dulu ia mengambil jurusan itu hanya untuk modus. Tapi, ilmunya sekarang terbukti bermanfaat.     

Jovan memastikan kebahagiaan para pasangan lengkap waktu menyambut anggota keluarga mereka yang baru tanpa harus kehilangan salah satunya.     

Semoga Zahra bahagia melihat Jovan yang sekarang jadi orang  berguna dan bermanfaat untuk sesama.     

****     

Jovan mendengar suara ribut-ribut saat baru selesai memeriksa pasiennya yang ke 8 untuk hari ini. Karena penasaran ia keluar ruangan dan melihat Alxi serta Nabilla yang sepertinya diprotes ibu-ibu lain saat menyerobot antrian.     

Iyalah, semua wanita hamil sepertinya ingin memiliki dokter kandungan seperti Jovan. Makanya harus membuat janji dulu dan rela antri lama kalau mau di tangani olehnya.     

"Jovannnnn, periksa bini gue dulu." Tanpa mendengar gerutuan dan protes pasien Jovan yang lain. Alxi langsung menarik Nabilla memasuki ruang periksa milik Jovan.     

"Antri dulu Al." Jovan mendesah karena tiba-tiba Nabila sudah di tidurkan di ranjang pasien.     

"Elah ... gak usah sombong loe sekarang. Sama gue masak antri juga. Kebangetan loe." Alxi mengelus perut Nabilla yang terlihat membuncit.     

Membuat Jovan langsung merasa iri karena tidak akan pernah bisa mengelus perut istrinya lagi.     

"Harusnya emang antri dulu Alxi." Nabilla ikut menimpali.     

"Nanik sayang, buat kamu mah. Gak ada yang namanya antri. Karena apa? kamu itu istimewa jadi harus di utamakan. Dan tidak ada bantahan."     

Jovan menggeleng dengan tingkah Alxi yang tidak pernah mau mengalah itu. Dan memilih mendekati perut Nabilla lalu memeriksanya.     

Alxi itu luar biasa. Belum setahun Nabilla melahirkan anak keempatnya dan sekarang sudah hamil anak kelima.     

Katanya sih kebobolan. Tapi, entah kebobolan entah sengaja lama-lama Jovan kasihan juga dengan Nabilla yang sudah seperti kelinci.     

Beranak Pinak setiap tahun.     

"Mau melihat jenis kelaminnya?" Jovan menawarkan.     

"Nggak usah. Mau cewek mau cowok, pasti tetap keren kalau anaknya Alxi." Alxi yang selalu percaya diri.     

Bilang saja gara-gara sudah punya anak perempuan dan laki-laki makanya Alxi sudah tidak mempermasalahkan gender. Padahal sebelum Della lahir Alxi selalu penasaran, kapan punya anak perempuan. Karena Nabilla sudah melahirkan tiga kali tapi anaknya tetap laki-laki.     

"Bagaimana?" tanya Nabilla langsung.     

"Semuanya bagus, posisi bayi juga sudah pas. Beratnya 2,6 dan sangat sehat."     

"Iyalah, anak Alxi always strong."     

"Tapi ... jangan keseringan ML. Ingat, Nabilla hamil dan butuh istirahat yang cukup." Jovan mengingatkan.     

"Iya tahu."     

"Iya apaan, semalam berapa kali? berkali-kali," protes Nabila.     

"Alxi ...." Jovan menatap Alxi memperingatkan.     

"Iyaaa, elah. Ngewe sama bini sendiri susah," gerutu Alxi.     

"Makanya stop, jangan suruh Nabilla hamil lagi. Biar bisa ML sepuasmu. Habis ini sebaiknya kamu KB sajalah."     

"Kata Marco gara-gara ginjalnya bermasalah Nanik nggak cocok KB."     

"Bukan Nabilla. Tapi, kamu yang KB Al."     

"Pakai kondom. Ish ... ogah."     

"Kan kamu bisa pakai susuk atau mau disteril sekalian."     

"What? Steril? Noooooooo. Katanya kalau abis steril performa turun, gue gak mau."     

Jovan mendesah. Susah ngomong sama ini makhluk. Biar paman Marco saja yang mengatasinya.     

"Udah ini, boleh pulang kita?" tanya Alxi setelah menerima resep vitamin yang harus diminum Nabilla.     

"Kalau mau nginep boleh. Tapi bayar, apalagi yg VIP atau VVIP 3-10 juta semalam," ucap Jovan menawarkan.     

"Ish ... itu Rumah sakit apa hotel? yuk Nanik pulang saja. 10 juta semalam, pemerasan itu namanya." Alxi menggandeng Nabila keluar dari ruangan Jovan.     

Jovan menatap Alxi dan Nabila yang sudah pergi. Masih merasa iri dengan kebahagiaan mereka yang terasa lengkap.     

Jovan jadi ingin melihat Mahesa. Mungkin lebih baik ia pulang sebentar dan mengajaknya makan siang bersama. Pasti anaknya akan senang.     

Jovan baru akan berdiri saat ponselnya berdering.     

Javier calling.     

"Assalamualaikum, Jav?"     

"Wa'alaikum salam. Apa kabarmu?"     

"Aku baik. Kamu juga baik kan?"     

"Aku juga baik kok. Tapi, Aku memperpanjang liburanku di Padang."     

"Diperpanjang lagi? tapi ini sudah sebulan kamu di sana? Paman Marco mulai curiga dengan apa yang kamu lakukan di kota Padang."     

"Aku tahu, aku akan menjelaskan sendiri pada Paman Marco."     

"Apa ada masalah?" tanya Jovan mulai khawatir.     

"Jean tidak ingat padaku."     

"Tidak ingat? maksudmu Jean amnesia?"     

"Begitulah."     

"Apa dia pernah mengalami kecelakaan waktu kabur dulu?" tanya Jovan penasaran.     

"Itulah yang sedang berusaha aku cari tahu. Dan ... Jean sudah punya kekasih di sini. Bahkan sepertinya dia akan segera menikah." Suara Javier terdengar lemas.     

Jovan terdiam. Ia tahu seberapa gigih perjuangan Javier menemukan Jean. Dan Jovan juga tahu seberapa cinta Javier pada saudara angkatnya itu.     

"Aku akan ke sana."     

"Tidak perlu, aku masih bisa mengatasinya."     

"Tidak. Kamu tidak baik-baik saja di sana dan kamu butuh aku."     

"Tidak Jov, jangan kesini dulu. Aku tidak mau jika semuanya jadi lebih sulit. Lagi pula, pernikahan Jean masih 4 bulan lagi jadi ... aku masih ada waktu membuatnya ingat padaku."     

"Baiklah, tapi jika sampai bulan depan tidak ada perubahan dengan ingatan Jean . Aku tetap akan menyusul."     

"Oke terserah padamu saja. Btw, bagaimana kabar keponakanku?"     

"Mahesa baik dan tentu saja semakin pintar."     

"Pintar apa? berantem dengan anaknya Alxi?"     

"Sepertinya bertengkar dengan Dava, Deva dan Dika  memang sudah jadi rutinitas hariannya. Apa yang bisa aku lakukan?" Jovan mengendikkan bahunya.     

"Tapi, walau mereka bertiga entah kenapa anakmu yang selalu menang, sepertinya dia mewarisi bakat modus dan penuh tipuan milikmu."     

Jovan tersenyum.     

Mahesa memang mewarisi kecerdasan dan otak bulus miliknya. Tapi, Mahesa juga mewarisi sikap baik dan penuh pengertian dari Zahra.     

"Yah ... kan Mahesa anakku, jadi ya mirip akulah." Jovan membenarkan.     

"Ya sudah. Salam buat Mahesa ya."     

"Oke. Hati-hati di sana. Ingat kalau ada apa-apa langsung hubungi aku."     

"Iya, assalamualaikum."     

"Wa'alaikumsalam."     

Jovan menatap ponselnya begitu Javier mematikan panggilannya.     

Jovan memang mengatakan tidak akan menyusul Javier. Tapi ... bukan Jovan namanya kalau ia mengikuti perkataan saudaranya.     

Jovan sudah kehilangan Zahra.     

Jangan sampai Javier juga tidak mendapatkan wanita yang dia cintai.     

Bagi pria Cohza. Cinta itu harus memiliki. Kecuali Jovan karena bagaiman bisa  memiliki kalau Zahranya  saja sudah meninggal.     

Jadi Jovan akan membantu Javier mendapatkan cintanya.     

Dari cara halus hingga licik akan Ia gunakan asal Javier bahagia.     

Cowok Cohza memang egois dan Jovan enggak akan malu akan hal itu.     

Mau di sebut pembinor juga tidak masalah. Yang penting Javier senang.     

Yah ... setidaknya salah satu duo J harus bahagia kan.     

Masak dua-duanya ngenes dan menderita gara-gara cinta.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.