One Night Accident

IMPOTEN 74



IMPOTEN 74

0Enjoy Reading.     
0

***     

Sarah baru selesai mandi dan berganti baju santai. Berniat menikmati sore dengan membaca buku di pinggir kolam renang.     

Walau sudah seminggu lebih Sarah tinggal di Indonesia. Tapi, Sarah belum berani keluar dari rumah. Jovan belum mengatakan atau mengizinkan dia pergi sesuka hati. Jadi Sarah cari aman saja dan tetap berada di dalam rumah.     

Hidupnya sudah cukup susah tanpa harus ditambahi masalah yang bisa membuatnya sengsara di sini. Lagian Sarah sudah pernah diasingkan dan tidak membuatnya mati. Jadi, kalau cuma tetap didalam rumah Sarah rasa dia akan baik-baik saja. Kecuali kalau mengingat Kevin. Sarah masih sedih dengan hal itu.     

"Ella." Sarah yang mau menuju kolam renang terkejut saat tiba-tiba ada yang memanggilnya.     

Ternyata Jovan yang datang dengan seorang anak yang sedang berada di dalam gendongannya. Sarah belum melihat wajah anak itu karena posisinya masih menghadap kebelakang.     

"Pang ... em, Jovan. Ada yang bisa aku bantu?" tanya Sarah tidak siap dengan kedatangan Jovan yang tiba-tiba. Bagaimanapun penampilannya saat ini biasa saja.     

Selama seminggu tinggal di sini. Baru dua kali Jovan datang. Yang pertama saat mengantarnya dan sekarang. Kenapa tidak ada pemberitahuan kalau Jovan mau menemuinya. Setidaknya dia bisa memakai baju yang lebih sopan. Bukan hanya tangtop dan celana jeans pas pantat.     

Jovan melihat Ella sama kagetnya. Gimana tidak kaget, biasanya Jovan melihat Ella  menggunakan gaun dan baju desainer ternama. Tapi kali ini Jovan melihatnya hanya memakai pakaian minimalis dan tanpa make-up.     

Lebih parahnya, Ella terlihat tidak memakai bra dibalik kaus tipisnya. Untung Jovan Impoten. Kalau tidak, Jovan yakin saat ini sosisnya bakalan membengkak nyari pelampiasan.     

Sayangnya walau sosisnya tidak membengkak, tapi sebagai mantan playboy melihat Ella begitu tetep bikin nelen ludah berkali-kali.     

"Jovan?"     

Jovan tersentak. Ternyata dia memandang Ella tanpa berkedip. "Oh, maaf. Aku mau mengenalkanmu pada anakku."     

Jovan berbisik kearah Mahesa sebelum menurunkannya agar melihat Ella.     

"Mahesa, ini Ella. Tetangga baru kita, dan Ella ini Mahesa anakku satu-satunya." Jovan memperkenalkan mereka.     

Ella melihat Mahesa dan tahu dia langsung merasa gemas saat melihatnya. Anak itu ganteng bangets. Banget ya pake s.     

Tapi ... apa tadi yang Jovan katakan? Tetangga baru? Sarah hanya tetangga? bukan istri, bukan ibu atau setidaknya pacar atau kekasih gitu.     

Ternyata memang benar. Jovan tidak pernah menginginkan dirinya sama sekali. Bahkan Sarah hanya dianggap sebagai tetangga, tidak lebih.     

Meski kecewa dan merasa kesal. Tapi Sarah berusaha tenang. Toh Aunty Laurance sudah berpesan kalau tidak boleh pake hati. Jadi sepertinya Sarah memang harus menyiapkan diri untuk kekecewaan-kekecewaan yang selanjutnya.     

Sarah duduk berjongkok dan melihat Mahesa sambil tersenyum. "Hay ... aku Ella. Tapi sebenarnya lebih suka dipanggil Sarah," ucapnya sambil menekankan nama Sarah di akhir kalimatnya.     

Nama Ella untuknya hanya pembawa sial. Jadi dia lebih suka dipanggil Sarah. Seperti Kevin yang memanggilnya Sarah.     

Mahesa melihat Sarah dari atas ke bawah. Dava bilang, ibu tiri itu seperti nenek sihir yang jelek. Tapi, kenapa nenek sihirnya cantik?     

Ah ... sepertinya Dava menipunya lagi. Awas nanti, Mahesa akan umpetin Ino di rumah Justine. Biar Dava bingung nyarinya.     

"Boleh aku panggil Tante cantik?" tanya Mahesa.     

Sarah tersenyum. Inilah kenapa Sarah suka anak-anak. Mereka sangat polos dan jujur. Tidak perduli apakah ayahnya suka atau tidak, yang namanya anak kecil akan selalu menyenangkan baginya. "Tentu, kamu boleh memanggilku seperti keinginanmu."     

Mahesa mengangguk, lalu dahinya mengernyit. "Tante cantik, boleh Mahesa tanya sesuatu?"     

Sarah mengangguk lagi.     

"Kenapa Tante tidak memakai beha? Apa Tante tidak takut bakal di bungkus dengan karung dan dikunci di dalam kamar?"     

Sarah bisa merasakan wajahnya langsung memerah karena malu. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya. Ini pertanyaan paling tidak dia sangka akan keluar dari mulut bocah 5 tahun.     

Begitu pula dengan Jovan. Ia bisa merasakan tenggorokannya tercekat mendengar pertanyaan anaknya. Ia hanya bisa berdehem dan memalingkan wajahnya karena memang saat Sarah berjongkok tanpa sengaja payudaranya yang tanpa beha itu semakin terlihat jelas.     

"Mahesa sayang, tidak boleh bertanya seperti itu," tegur Jovan merasa tidak enak dengan Sarah.     

"Kenapa? Kemarin waktu Mahesa main ke rumah Justine. Paman Junior kesal melihat Tante Queen tidak memakai beha. Lalu paman Junior bilang seharusnya Tante Queen jangan menggodanya tanpa beha. Atau paman junior akan membungkusnya dengan karung dan mengurungnya di kamar sepanjang hari. Setelah itu paman Junior benar-benar membawa Tante Queen masuk ke kamar dan tidak keluar lagi."     

Mahesa berpaling dan melihat kearah Sarah yang menganga shok. "Tante cantik, jangan pernah nggak pake beha ya. Nanti dikurung di kamar lho. Tahu nggak, dikurung di kamar itu sangat tidak enak dan membosankan, percaya deh sama Mahesa," ucap Mahesa sangat yakin. Berasa Seolah-olah dia orang paling tahu di dunia.     

Jovan kehilangan kata-kata.     

Sarah langsung berdiri salah tingkah. "Aku, ganti baju dulu," gumamnya sebelum melesat pergi. Merasa sangat malu dan tidak tahu harus berbuat apa.     

Anak kecil memang selalu jujur. Tapi, tidak seblak-blakan itu juga kali. Sepertinya kali ini Sarah harus waspada pada anaknya Jovan. Bocah itu bukan bocah biasa.     

***     

Makan malam kali ini berjalan dengan amat canggung.     

Setelah Sarah berganti baju, Jovan memang memutuskan makan malam di sana karena Mahesa yang mengeluh lapar. Tapi suasananya memang agak aneh karena mereka masih teringat pembicaraan tentang beha tadi.     

"Tante, boleh tidak aku membawa temanku ke sini besok?" tanya Mahesa.     

Jovan menoleh ke arah anaknya, curiga. "Mau membawa siapa?"     

"Dava, Deva, Dika, Della, Justine, Juliette, Artemis ke sini." Tuh kan bener.     

"Mau ngapain? kapan-kapan saja." Jovan tidak mau membiarkan gerombolan krucil itu menyerbu Sarah tanpa adanya pengawasan.     

Baru Mahesa saja Sarah sudah salah tingkah bagaimana kalau semua ngumpul. Jangan-jangan waktu Jovan tengok Sarah sudah kejang-kejang karena jantungan. Atau ngapa-ngapan kehabisan nafas. Ini tidak bisa dibiarkan. Memperkenalkan Sarah ke mereka semua pas hari Minggu saja. Saat semua orang tua bisa menghandle anaknya. Bukan saat anak-anak bebas berkeliaran seperti sekarang.     

"Tapi ... Aku mau bilang pada mereka kalau disini tidak ada nene ... mmmppttt." Jovan segera membekap mulut anakanya yang hampir mengucapkan nenek sihir.     

'Jangan mengatakan ibu tiri, atau nenek sihir di depan Sarah. Itu sama saja kamu menghinanya. Bagaimana kalau Sarah sedih dan menangis? hm ...' Jovan berbisik ke arah Mahesa agar anaknya anteng.     

Mahesa manggut-manggut mengerti. Ayahnya pernah berkata, dilarang keras membuat wanita menangis, karena bundanya Mahesa  itu juga wanita dan ayahnya tidak suka bunda menangis apapun alasannya. Jadi kalau gara-gara Mahesa, Tante cantik di depannya jadi menangis. Berarti sama saja dia bikin bunda menangis dan ayahnya tidak akan suka. Mahesa tidak mau begitu.     

Sarah melihat Jovan dan Mahesa curiga. Kenapa Anka dan ayah itu dari tadi berbisik-bisik tidak jelas. Kalau memang tidak suka dengan Sarah katakan saja langsung, tidak perlu ditutup-tutupi.     

Sarah sadar diri kok. Mana mungkin Jovan mau membiarkan tetangga atau saudaranya kenal dengannya. Menemui dirinya saja terpaksa.     

"Mahesa, maaf sepertinya besok aku ada acara. Mungkin lain kali," Sarah mengucapkan penolakannya terlebih dahulu.     

Lebih baik menolak daripada nanti Jovan yang lagi-lagi menolaknya bukan. Sarah masih punya harga diri kok. Kalau Jovan tidak suka dia dekat dengan orang yang dia kenal, Sarah akan menjauh dengan suka rela.     

"Kamu ada acara? kemana?" tanya Jovan heran. Sarah kan masih baru di Jakarta.     

"Hanya melihat-lihat. Aku harus tahu dimana aku tinggal kan. Itu juga kalau kamu mengizinkan aku pergi."     

"Oh ... tentu saja boleh. Tapi, kamu akan membawa pengawal kan?" tanya Jovan memastikan. Tidak mau terjadi apa-apa dengan Sarah. Karena bagaimanapun dia masih berada di bawah tanggung jawabnya.     

"Tentu saja aku akan membawa mereka." Sarah memjawab dengan santai. Padahal dalam hati kesal sekali. Mau keluar rumah saja harus izin dan bawa pengawal. Takut Sarah kabur apa. Maaf saja ya, Sarah masih waras. Tidak akan membuat orangtuanya semakin sengsara di Inggris sana jika dia membuat ulah dengan sang pangeran Cavendish.     

"Oke." Jovan menjawab singkat. Bisa merasakan Sarah yang sepertinya tidak suka dia terlalu mengaturnya.     

Jovan sadar mereka menikah hanya dijodohkan. Mungkin saja Sarah tidak terbiasa dikekang. Dulu dia putri Inggris yang selalu dimanja dan dituruti keinginannya. Jadi kalau mau mengatur dan menyuruhnya Jovan rasa mulai sekarang dia harus memilih kata yang pas dan lebih  berhati-hati agar tidak membuat Sarah merasa terbebani di negara ini.     

Sudah cukup Jovan mengambil kenyamanan Sarah sebagai putri di inggris dan malah membawanya ke negara yang mungkin bagi Sarah tidak menarik sama sekali. Walau Sarah di sini tidak akan lama, setidaknya Jovan harus memastikan Sarah nyaman dan tidak kekurangan layaknya saat hidup di kerajaan.     

Jovan masih teringat karma yang menimpanya karena mempermainkan wanita. Jadi, dia tidak mau membuat wanita manapun  menderita lagi akibat perbuatannya.     

Mahesa tidak boleh menerima karma akibat perbuatannya. Jovan sudah merasa cukup mengalaminya.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.