One Night Accident

IMPOTEN 92



IMPOTEN 92

0Enjoy Reading     
0

***     

"Tante cantik mommy tiri mau pengajian ya?" tanya Mahesa saat pagi itu sedang sarapan.     

"Tidak, memang kenapa?" tanya Ella.     

"Kalau tidak mau pengajian kenapa pake gamis?" Mahesa tadi sampai pangkling melihat mommy tirinya itu.     

"Memangnya Tante Ella enggak cocok ya pakai gamis?" Jovan yang bertanya. Karena memang kemarin dia yang memilihkan baju gamis untuk Ella.     

Jovan tidak rela paha istrinya bisa di nikmati buaya di luar sana. Apalagi dadanya. Walau dada Ella tidak sebesar punya istri Jujun tetap saja itu masih jadi kesukaannya.     

Cukup Jovan saja buaya yang menyantap paha dan dada  Ella. Tidak perlu tambahan buaya tetangga atau pun buaya mesum  lainnya.     

Mahesa melihat Ella seolah menilai. "Tante cantik mommy tiri tetap cantik kok mau pakai apa saja. Tapi ... Mahesa lebih suka kalau Tante cantik mommy tiri pakai baju seperti biasa. Mungkin lebih bagus kalau seperti Mommynya Justine."     

Ella memperhatikan penampilannya. Dia tahu gaya berpakaian Queen yang sangat modis itu. Mereka sama-sama  memakai baju-baju dengan lengan panjang. Bedanya Queen tetap terlihat cantik dan sexy. Apa dirinya terlihat buruk? Rasa percaya diri Ella sepertinya akan anjlok lagi.     

Mahesa meringis, tidak enak sebenarnya mengatakan ini. Tapi Tante cantik mommy tirinya memang terlihat aneh. "Tante cantik mommy tiri jadi kayak teroris."     

Uhukkkk.     

Jovan tersedak.     

Ella kembali menunduk melihat bajunya. Seketika matanya berkaca-kaca. Dia seperti teroris? Sejelek itukah pakaiannya?     

Ella berdiri dan langsung kembali masuk ke kamarnya. Hatinya sakit dibilangan seperti teroris.     

Walau Ella tahu Mahesa tidak berniat menghina dirinya tapi entah kenapa Ella tidak bisa menghindari rasa sedih dan baper karena perkataan yang tidak seberapa itu. Entahlah ... Ella tiba-tiba ingin menangis saja.     

Jovan melihat Ella yang pergi begitu saja. Lalu melihat Mahesa yang sepertinya takut karena mengira salah bicara.     

"Mahesa itu bukan baju teroris, itu gamis syar'i."     

"Kenapa harus hitam? Memang kita mau ke pemakaman? Kenapa Tante cantik mommy tiri tidak pakai yang warna warni biar cantik? Kayak Oma Lizz kalau lebaran."     

"Karena menurut ayah bagusan itu." Pas waktu kemarin Ella mencoba gamis dengan renda atau model keren Jovan masih tidak rela. Istrinya terlihat terlalu luar biasa cantik. Jovan takut bukan dilirik buaya istrinya akan dilirik ustad atau KH. Kiyai haji ya bukan kepengen haji. Makanya Jovan pilihkan model biasa saja.     

"Jelek ayah ... enggak cocok." Mahesa keukuh. Padahal Mahesa tidak rela itu susu Tante cantik mommy tiri ditutup rapat. Kan Mahesa jadi enggak bisa ngintip dan jadi lebih penasaran lagi. Rasa dadanya.     

Jovan berdecak lalu menyusul Ella ke dalam kamar. Di sana Ella duduk di balkon dan menangis.     

"Sayang, kok nangis. Mahesa hanya bercanda kok." Jovan mengelus bahu Ella agar tenang.     

Ella masih menangis.     

"Ayolah, Mahesa masih kecil dia hanya asal bicara. Mana mengerti anak seumuran dirinya tentang fashion." Jovan masih berusaha menghibur Ella.     

"Justru anak kecil enggak mungkin berbohong. Aku pasti jelek banget pakai ini." Ella mengusap air matanya.     

"Kamu cantik sayang. Mau pakai karung juga keliatan cantik kok." Apalagi kalau engga pakai apa-apa.     

Super cantik.     

"Tidak usah menyangkal .. Dari dulu aku emang jelek. Kalau aku cantik dan menarik mana mungkin kamu lebih pilih Zahra dari pada Aku."     

Jovan menghentikan elusannya di bahu Ella "Itu hal yang berbeda," ucap Jovan merasa risih jika harus membandingkan Zahra dengan siapa pun.     

"Tapi memang kenyataannya begitu. Aku tidak sememikat Zahra.  Makanya  aku tersingkirkan."     

"Ella, jangan bahas itu. Aku tidak suka." Jovan melengos.     

Ella menoleh melihat wajah Jovan yang kini tidak lagi tertuju padanya. "Aku tahu, sampai kapanpun aku akan selalu jadi yang kedua. Walau sekeras apa pun aku berusaha, bagimu Zahra adalah segalanya." Ella berdiri berjalan melewati Jovan. Kecewa dengan dirinya sendiri yang tidak bisa menahan rasa sakit di dadanya.     

Tapi tangannya langsung dicekal saat melewati dirinya. "Kamu kenapa? Kenapa jadi bahas Zahra dan  merembet enggak jelas sih." Jovan membalik tubuh Ella agar menghadap dirinya.     

"Aku sudah bilang. Aku mencintai Zahra. Tapi, aku sekarang sedang berusaha mencintaimu. Apakah sekarang kamu sudah tidak tahan dan akan meninggalkan diriku?"     

Air mata Ella menetes begitu saja. "Aku tahu dan aku juga berusaha menerimamu apa adanya. Tapi, kamu tidak melakukan hal yang sama. Kamu tidak bisa menerimaku apa adanya. Kamu ingin membentukku seperti Zahra. Tertutup dan muslimah."     

Ella mengusap kembali air matanya. "Aku Ella bukan Zahra. Jadi, mau secantik apapun diriku semenarik apapun tubuhku dan secinta apa pun aku padamu. Semua itu tidak akan pernah membuatmu menganggap aku layak bersanding denganmu. Bahkan kamu tidak bisa memberikan hatimu sepenuhnya untukku. Padahal semua hidup dan hatiku hanya untukmu."     

Jovan melepas cekalannya seolah terbakar. Ella tersenyum miris.     

"Aku hanya akan menjadi yang kedua. Akan selalu menjadi yang kedua." Ella kembali terisak.     

"Awalnya aku pikir aku bisa melakukan semua ini demi kamu, Mahesa dan kedua kerajaan. Dan pada akhirnya aku memang bisa melakukannya. Tapi, hati tidak bisa berbohong. Tidak ada wanita yang mau diduakan. Apalagi menjadi nomor dua."     

Ella menarik nafasnya terasa semakin sesak dadanya.     

"Tidak ada. Kecuali terpaksa." Ella menunduk lalu masuk ke dalam kamar. Memilih tiduran di ranjang dan memunggungi jovan yang masih ada di balkon. Walau ini masih pagi. Tapi, Ella sedang ingin sendiri.     

Jovan menatap punggung Ella dengan galau. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi ini.     

Jovan mencinta Zahra sudah pasti.     

Tapi Jovan sepertinya juga mulai mencintai Ella kembali.     

Hanya porsinya saja yang Jovan masih bingung. Apa Jovan mencintai Ella dan Zahra dengan porsi sama? Atau berat sebelah?     

Kalaupun berat sebelah. Kepada siapa hati Jovan lebih berpihak? Jovan sendiri tidak tahu.     

Zahra yang penyabar dan baik hati. Tapi sudah meninggal. Terasa tidak adil kalau Jovan melupakannya.     

Ella yang menerimanya tulus dan setia berada di sisinya. Mau menganggap Mahesa lebih dari anaknya sendiri. Terasa tidak adil juga jika Jovan terus-menerus mengabaikan perasaannya.     

Jovan butuh konsultasi.     

***     

Ella terbangun saat merasakan ada yang mengelus wajahnya. "Mahesa?"     

"Selamat siang Tante cantik mommy tiri." Mahesa tersenyum imut seperti biasa.     

"Mahesa enggak sekolah?" tanya Ella saat mendapati Mahesa ada di atas ranjangnya.     

"Mahesa sudah pulang sekolah kok." Mahesa menyentuh dahi Ella.     

"Apa Tante cantik mommy tiri merasa tidak sehat? Tumben Mahesa pulang sekolah Tante cantik mommy tiri ada di dapur dan malah tiduran  di kamar?" tanya Mahesa khawatir.     

Ella melihat jam.     

Astaga mahesa benar ternyata ini sudah siang.  Sepertinya dia tertidur dari pagi.     

Bersamaan dengan itu. Ella teringat pembicaraan dengan Jovan tadi pagi.     

Duh, ada apa dengan dirinya. Tidak seharusnya Ella mengatakan itu pada Jovan.     

Ingat Ella, Jovan mau menerimamu jadi istri saja sudah merupakan keberuntungan. Jangan ngelunjak dengan meminta aneh-aneh. Apalagi minta hati yang sudah jelas hanya akan terisi dengan nama Zahra.     

"Tante cantik mommy tiri. Apa Tante cantik mommy tiri marah padaku?" tanya Mahesa sedih.     

Ella melihat Mahesa bingung. "Marah? kenapa mommy tiri harus marah padamu?"     

"Karena Mahesa mengatakan kalau Tante cantik mommy tiri seperti teroris." Mahesa terlihat menyesal.     

"Mahesa minta maaf. Mahesa tidak serius kok. Tante cantik mommy tiri tetap cantik mau pakai baju apa saja. Serius dah." Mahesa menatap Ella seperti hampir menangis.     

Ella menarik Mahesa dalam pelukannya.  Mahesa selalu bisa meluluhkan hatinya. "Tidak apa-apa sayang. Mommy tiri tidak marah kok. Lagipula mommy tiri tahu, Mahesa hanya bercanda." Hibur Ella pada Mahesa.     

"Beneran enggak marah?"     

"Tidak." Ella mengecup dahi Mahesa.     

"Kalau begitu, apa besok saat ulang tahun Mahesa masih boleh minta hadiah lego. Solanya Mahesa bingung. Ada dua Lego baru yang launching, dan ayah pasti hanya mau belikan satu untuk Mahesa. Padahal Mahesa mau dua-duanya. Makanya nanti yang satu Mahesa minta sama Tante cantik mommy tiri saja ya?"     

"Bisakan?" Mahesa  melihat Ella penuh harap.     

Ella tersenyum dan mengangguk. Dia hampir lupa dengan ulang tahun Mahesa. Padahal Mahesa belum lama memberitahu tanggalnya.     

"Mommy tiri berjanji. Besok Mahesa akan mendapatkan sesuatu yang tidak pernah Mahesa dapatkan sebelumnya."     

Perayaan ulang tahun Mahesa yang sudah Ella rancang dari seminggu lalu. Tidak besar karena hanya mengundang keluarga dekat saja.  Tapi setidaknya akan memberi kesan pada Mahesa.     

"Benarkah?" Mata Mahesa berbinar-binar.     

"Iya, makanya Mahesa jangan nakal. Nanti mommy tiri akan kasih hadiah yang keren." Janji Ella.     

"Asikkkk. Beneran ya."     

"Iya, ganteng." Ella tertawa melihat antusiasme Mahesa.     

"Mahesa sayang sama Tante cantik mommy tiri. Lebih sayang dari pada ayah." Mahesa memeluk Ella.     

Ella semakin miris mendengarnya. Ella tahu Mahesa tulus sayang padanya. Sedang Jovan? Entahlah ... Apakah dia benar-benar sayang pada Ella atau cuma agar supaya mendapat jatah saja. Hanya Jovan yang tahu.     

"Mommy tiri juga sayang sama Mahesa. Sekarang kita makan siang yuk. Tiba-tiba mommy tiri merasa lapar." Ella turun dari ranjang sambil menggendong Mahesa keluar dari kamarnya.     

"Memangnya Tante cantik mommy tiri sudah masak?" tanya Mahesa.     

Ella menggeleng. "Untuk hari ini mommy tiri sedang ingin makan diluar. Mahesa mau menemani?"     

"Mauuuuuuuuuuuuuu, ke restoran seafood ya ...! Mahesa mau makan kepiting."     

Ella mengangguk dan akhirnya mereka pergi ke restoran bersama. Tanpa curiga apa yang akan mereka temukan di sana.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.