One Night Accident

IMPOTEN 54



IMPOTEN 54

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Zahra ada bunga lagi buat kamu." Zahra yang sedang di dapur menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri karena kedua orang tuanya sudah sarapan bersama sebelum dia bangun tadi langsung menoleh ketika mendengar suara ibunya.     

Zahra memang tertidur lagi setelah sholat subuh. Dan baru terbangun jam 9 pagi makanya dia belum ke luar dari rumah seharian ini.     

"Taruh di meja saja bu," Zahra sudah hafal. Pasti bunga kiriman Jovan.     

Sudah seminggu lebih Jovan seperti pria yang tergila-gila padanya. Mengirimi bunga setiap hari, perhiasan bahkan perabot rumah tiba-tiba berganti dengan yang lebih bagus dan mewah.     

Seolah-olah semua bisa selesai dengan harta benda.     

Zahra ingin menolak tapi percuma. Kurir yang mengantar semua barang itu terancam dipecat kalau barang dikembalikan. Dasar tukang maksa, egois, seenaknya sendiri.     

Yah walau sebenarnya Zahra suka juga sih di perhatikan seperti itu. Dia jadi merasa.     

ISTIMEWA.     

Zahra mematikan kompor dan menaruh kwetiaw goreng ke atas piring lalu membawanya ke meja makan. Tapi ibunya ternyata masih berdiri di sana sambil memegang bunga besar nan cantik dan sebuah boneka super besar di sebelahnya.     

Zahra bukan gadis feminis yang mengharap dapat kiriman bunga atau boneka sebagai tanda cinta. Namun, sekaku-kakunya wanita kalau dapat hadiah tetap bahagia.     

Zahra tersenyum lebar dan langsung memeluk boneka di depannya. "Buat Zahra?"     

Ibunya mengangguk. "Emang buat siapa lagi kalau bukan buat kamu? Gimana, Kamu suka?"     

"Sukalah. Masak boneka sebagus ini enggak suka sih." Zahra menciumi boneka itu dan mengelusnya karena bulunya terasa lembut dan harum.     

"Itu dari Jovan lho," ucap ibunya. Membuat Zahra menatap ibunya seketika. Memang kalau bukan dari Jovan dari siapa lagi. Mana ada cowok gila yang kirimin hadiah pada istri orang. Mau dikira pembinor apa.     

Tapi Zahra tetap mengangguk bertanda dia tahu. Dan tetap memeluk boneka itu senang.     

"Zahra, sini duduk dekat ibu." Anisa menarik tangan Zahra agar duduk di sebelahnya.     

"Kamu udah enggak cinta lagi sama suamimu?" tanya Anisah pada putrinya.     

Zahra langsung menunduk. Pertanyaan ibunya gini amat ya. Zahra cinta sama Jovan tetapi Zahra juga kecewa dan sakit hati padanya.     

"Mau sampai kapan kamu sama Jovan begini terus? Kamu Nerima semua bunga dan hadiah dari Jovan. Tapi kamu enggak mau menerima orangnya. Maksud kamu apa? Zahra mau jadi cewek matre?" Anisah menatap putrinya penuh selidik.     

Zahra langsung menggeleng. "Zahra enggak matere. Zahra enggak minta ini semua."     

"Tapi kamu juga enggak menolaknya," tegas ibunya.     

"Nanti kalau Zahra tolak, kurirnya di pecat." Zahra membela diri karena memang itulah kenyataannya.     

"Tapi kalau kamu memang enggak mau, bisa kamu kembalikan sama Jovan. Kenapa enggak kamu kembalikan?"     

Zahra menunduk lagi. Dia bukan tidak mau mengembalikan. Tapi, perempuan mana sih yang tidak mau di rayu dan di manjakan. Mantan pacar Jovan saja di rayu - rayu masak dia yang istrinya malah tidak pernah. Padahal Zahra kan mau juga.     

Apalagi Zahra juga dengar kalau Jovan dulu enggak pernah sayang buang-buang uang buat pacarnya. Sedang Zahra sebagai istri malah belum tahu rasanya menghamburkan uang milik Jovan.     

"Sekarang ibu tanya lagi, kamu masih cinta sama Jovan enggak? Jawab yang jujur."     

"Em ... Zahra masih cinta kok sama Mas Jovan. Tapi ... Zahra takut. Takut kalau apa yang mas Jovan lakukan hanya rayuan semata. Takut kalau nanti Zahra kembali kecewa. Takut kalau semua ini hanya akal-akalan mas Jovan saja. Zahra enggak mau sakit hati lagi, Bu." Zahra kembali sedih.     

"Zahra ... tapi ini sudah seminggu lebih. Apa masih kurang bukti cinta Jovan? Apa masih kurang kamu nyiksa suamimu itu? Hm...? ibu tahu  kamu sakit hati dan marah karena merasa terhianati. Tapi, coba di pikirkan lagi. Kalau memang Jovan tidak mencintaimu untuk apa dia jauh-jauh dari Cavendish datang kesini. Bahkan sampai kecelakaan dia tetap mendatangimu?"     

Anisah lalu melihat sekeliling nya. "Lihat rumah ini. Isinya hadiah dari Jovan semua. Meja, sofa, lemari bahkan kamu tahu enggak selain kasih kamu bunga dan boneka jovan kirim apa lagi?"     

Zahra menggeleng.     

Anisah memberikan kotak dan menyerahkan pada Zahra.     

Zahra membukanya dan terdapat dua kunci di dalamnya.     

"Jovan membeli rumah di sini. Ini kunci rumahnya yang di beli atas namamu." Anisa mengeluarkan berkas kepemilikan rumah atas nama Zahra.     

"Kurang bukti apa lagi? Semua orang yang  lihat perlakuan jovan saja tahu kalau Jovan cinta sama kamu."     

"Satu lagi. Ini kunci mobil. Dia bilang dia enggak mau istrinya pergi ke pasar kepanasan, enggak mau kamu kelelahan. Lihat ... bahkan saat kamu tidak mau menemuinya. Jovan masih tetap memperhatikan dirimu. Dia sabar menanti kata maaf darimu."     

Zahra semakin menunduk gelisah. Dia tidak suka percakapan ini.     

Anisah menggenggam tangan anaknya."Nak ... lihat ibu."     

Zahra mendongak menatap mata ibunya.     

"Di dunia ini, tidak ada manusia yang sempurna. Kita semua pernah membuat kesalahan. Hanya saja kesalahan kita mungkin tidak terbongkar atau kesalahan kita  tidak sebesar yang di lakukan oleh Jovan. Tapi .... semua orang juga berhak mendapatkan kesempatan memperbaiki diri. Dan itulah yang sedang di usahakan suamimu."     

Anisah  menghela nafasnya dan kembali berucap. "Ibu tidak bermaksud membela Jovan atau menyalahkannya. Ibu akan selalu mendukung semua keputusanmu. Tapi, tolong difikirkan lagi baik-baik. Apa yang kurang dari Jovan? katakan padanya biar mengubahnya. Jangan hanya diam dan mengabaikan dirinya. Kamu mau Jovan akhirnya lelah menunggu dan malah benar - benar meninggalkan dirimu?"     

Zahra langsung menggeleng kuat. "Zahra hanya ingin mas Jovan setia, Bu," rengek Zahra.     

"Kalau begitu, katakan padanya. Jangan sampai dia menunggu tanpa kepastian  darimu. Ingat Jovan itu pangeran lho. Dia bisa mendapatkan wanita manapun yang dia  mau. Tapi dia malah rela berjuang dan memohon agar mendapat maaf darimu. Coba kamu cari di luaran sana, pangeran yang mau memohon pada orang dengan kedudukan biasa seperti kita. Enggak akan ada sayang. Lagi pula apa kamu enggak malu jadi omongan tetangga. Istrinya ada di sini. Suaminya di tempat lain padahal tinggal satu kampung?" Anisah menaruh kunci-kunci ke tangan Zahra.     

"Keputusan ada di tanganmu. Mau berpisah atau memaafkan. Kalau berpisah kembalikan semua pemberian Jovan. Keluarga kita bukan keluarga matre. Kalau mau memaafkan, kamu tahu di mana Jovan berada." Anisah mengelus kepala putrinya sebelum berdiri dan meninggalkan Zahra sendiri.     

Zahra terdiam sambil melihat kunci-kunci di tangannya.  Dia cinta sama Jovan. Tapi keraguan masih menghantui dirinya.     

Zahra  merenung dan terus berfikir. Dia ingin memantapkan hatinya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.