One Night Accident

HIPNOTIS



HIPNOTIS

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Apa yang kau lakukan?!" teriak Daniel saat Marco menghalangi peluru yang harusnya mengenai kepala Pete, tapi malah terkena bahu Marco.     

"Kau ingin membunuh Pamanmu sendiri?!" Marco balas berteriak lalu meringis menahan sakit.     

"Why? Dia penghianat. Dan berusaha mengambil milikku." Daniel menyahut santai, membuat Marco mengeluarkan sumpah serapah. Marco lupa, kalau Daniel sudah sejak bayi berada di Cohza. Membunuh, sudah merupakan hal biasa baginya.     

"But he's your Uncle, damn it!" Marco berseru masih tak percaya.     

"Tidak lagi, setelah dia menjadi penghianat," ucap Daniel mengarahkan kembali pistolnya kearah Pete lagi.     

"Hentikan bodoh!" teriak Marco kencang.     

"Jangan menghalangi. Kau larang atau tidak, dia akan tetap mati. Entah Dad, Uncle Paul, atau Bibi Pauline ... mereka tetap akan membunuh pengkhianat. Tak peduli jika itu saudara sendiri. Jadi lebih baik, biar aku saja yang menghabisinya karena di sini anak dan istriku yang jadi korban. Lagipula kasihan jika saudaranya yang melakukannya. Pasti mereka akan terasa lebih berat. Membiarkan Pete hidup itu sama dengan membela penghianat sedangkan jika membunuhnya, mereka akan sedih karena saling bunuh antar saudara. Jadi ... biar aku saja yang melakukannya." Daniel menjelaskan kembali mengangkat tangan hendak membidik Pete.     

"Not that, dummy! Kau tidak melihat matanya?!" tanya Marco kesal.     

Daniel mengerutkan dahinya. "Ada apa dengan matanya? Berubah jadi merah? Hijau? Atau ... hitam?" tanya Daniel tanpa rasa penasaran.     

"Ck! Ternyata kau memang kurang jeli. Aku yang tak bisa hipnotis aja tahu, kalau pandangan mata uncle Pete tak pernah fokus! Pertanda ada peperangan di tubuhnya! Auranya juga bersih, tapi di selimuti sesuatu yang jahat. Intinya, dia dalam pengaruh seseorang! Tebakanku, dia di hipnotis."     

Daniel mengernyit. "Jangan mengatakan kebohongan hanya agar aku mengampuninya."     

"Aku serius, aku yakin dia dikendalikan orang lain." Marco meyakinkan.     

Daniel mengamati Pete baik-baik. "Aku akan memastikan perkataanmu setelah dia sadar." Daniel menyimpan kembali pistolnya dan membuat Marco sedikit lega.     

"Daniel aku benar-benar Serius?! Maksudku bukan soal Uncle yang di hipnotis. Tapi soal otak uncle Pete yang sepertinya memang agak tidak waras. Kamu tau ... tadi dia sempat tersadar sebentar dan mengatakan menyayangi kita semua bahkan dia seperti orang merasa bersalah dan kesepian. Jadi ... jika benar paman Pete di hipnotis, pasti ini sudah berlangsung dalam waktu yang lama. Bukan hanya sebulan atau dua bulan, pasti sudah bertahun-tahun."     

"Diamlah, aku masih mempertimbangkan untuk menembaknya. Dihipnotis atau tidak aku tetap marah padanya karena berani mengambil wanitaku." Daniel memang bukan orang baik dan semakin tidak baik jika terusik.     

Marco hanya mendengkus sebal. "Sekarang, angkat dia. Kita harus menginterogasinya karena kamu bisa hipnotis pasti kamu punya cara untuk menghilangkan pengaruh hipnotisnya. Sementara itu aku harus menyembuhkan lukaku dulu. Just a view minutes." Marco berujar seraya melangkah menuju dapur.     

"Tunggu! Kalau pengkhianatnya bukan Uncle Pete, lalu siapa? Jangan membuatku semakin pusing!" teriak Daniel makin frustasi karena sepertinya Marco sangat yakin di sini Pete juga korban.     

Marco hanya bisa terdiam. Dia sendiri masih bingung dan banyak pertanyaan baru bermunculan di dalam kepalanya. "Kita cari tahu nanti, aku harus membersihkan ini dulu," sahutnya lirih.     

"Di sini tak ada sungai." Daniel berucap saat melihat Marco menjauh.     

"Aku tahu. Tapi di sini ada P3K 'kan? Atau setidaknya ada air galon untuk dikonsumsi. Lumayan bisa mengurangi sedikit rasa sakitnya," jawab Marco sambil terus     

berjalan.     

Ia meringis menahan sakit dari luka sayatan yang dilakukan oleh Pete. Dia butuh air murni. Dan berharap semoga ada air mineral yang benar-benar murni untuk menyembuhkan lukanya. Minimal untuk menutup lukanya agar tak terus berdarah. Tetapi entah sadar atau tidak, Pete ternyata memang tak menyayat terlalu dalam. Ini membuat Marco semakin yakin bahwa Pete tidak bersalah.     

"Marco, Uncle Pete mulai sadar!" teriak Daniel panik dari belakangnya.     

'Tadi sok-sokan mau nembak. Sekarang lihat korbannya sadar takut juga dia,' dumel Marco.     

"Ikat saja dia terlebih dulu!" Marco menyahut.     

Sementara Daniel langsung melakukan saran yang diberikan Marco dengan alat seadanya. Yang terpenting, ia bisa membuyarkan pengaruh hipnotisnya dulu.     

Beberapa Jam kemudian.     

"Lepaskan, berengsek!" teriak Pete saat ia sudah tersadar. Matanya langsung memancarkan kemarahan besar.     

Sementara Daniel dan Marco hanya bisa menggelengkan kepala sambil menunggu Daddy-nya datang dan bisa mengendalikan Pete. Walau Daniel sudah mensugesti Pete dengan hipnotis miliknya namun dia tidak terlalu yakin dengan hasilnya karena kemampuan hipnotis Mr Petter saat ini masih lebih hebat dari kemampuan Daniel yang hanya di gunakan menghipnotis cewek-cewek yang dulu akan ia gauli.     

"Aku Uncle kalian! Cepat lepaskan!" Pete berseru dengan kesal. Daniel dan Marco hanya saling bertukar pandang menyadari Pete tidak terlalu terlihat kejam. Sepertinya hipnotis Daniel ada pengaruhnya juga. Walau begitu Mereka tetap menggeleng pelan.     

"Kita akan lepaskan, hanya jika Uncle memberi tahu lokasi Ai dan si kembar." Daniel menatap Pete sama tajamnya.     

"Aku tidak tahu."     

"Paman ... kamu yang menculiknya, kenapa sekarang bilang tidak tahu?" Marco bersedekap.     

"Karena aku memang tidak tahu."     

"Paman ...."     

"Harus berapa kali kukatakan? Aku benar-benar tidak tahu! Mereka sudah dibawa pergi!"     

"Siapa yang membawa mereka? Siapa pula yang menghipnotismu, Uncle?"     

Pete membuka mulutnya, tapi ia lalu menutupnya lagi. Dia tahu siapa dalang di balik semua ini. Tapi setiap akan mengucap nama itu, entah kenapa otak dan mulutnya seolah tidak saling sinkron.     

"Aku tak bisa mengucapkan nama itu. Lidahku kelu setiap akan mengucapkannya. Tapi aku tahu siapa dia!" Pete akhirnya membuka suara, dengan nada yang terdengar frustasi.     

Daniel mengangguk lagi. "Kalau begitu kami belum bisa melepaskan ikatan itu. Karena Uncle masih di bawah pengaruh hipnotis orang itu. Aku tak bisa menghilangkannya, karena terlalu kuat. Kita tunggu Daddy saja, setelah itu Uncle bisa memberi tahu, siapa dalang yang sudah mengacak acak keluarga kita." Daniel menyahut santai.     

"Awas saja kalian. kalau nanti aku sudah lepas." Pete memberikan tatapan tajam. Membuat Daniel dan Marco langsung memalingkan muka pura-pura tidak tau.     

"Mr Petter sudah tiba, Sir!" seorang anak buah Daniel memberitahu.     

"Antarkan Beliau kemari." Daniel menjawab.     

Setelah menangkap Pete dan tak mendapati Ai di mana pun, Daniel membawa Pete ke Jakarta. Tepatnya di kantor Save Security cabang Indonesia.     

Pintu terbuka dan tak berapa lama kemudian Petter sudah masuk ke dalam ruangan. Daniel pun langsung menyapa Daddy-nya yang disahuti dengan anggukan ringan.     

"Bagaimana keadaannya?" Petter bertanya.     

"Dia sudah mengenali kami, tapi aku baru bisa membuka memorinya setengah. Sementara dia masih belum mengucapkan nama pengkhianatnya." Daniel menjelaskan situasinya.     

Petter mengerutkan keningnya. "Kau sudah mengerahkan seluruh kemampuanmu?"     

"Aku sudah berusaha, Dad. Tapi sepertinya, kemampuannya selevel denganmu. Aku benar-benar kesusahan menembus penghalangnya." Petter mengusap dagunya. Kemampuan hipnotis nya selama ini belum ada yang mengimbangi. Walau sebenarnya Daniel sangat berbakat tetapi sepertinya Daniel tidak pernah bersungguh-sungguh soal kelebihannya itu, makanya level hipnotisnya meningkat sangat lambat.     

"Jika ku paksakan, aku cemas dia akan depresi lagi," ucap Daniel tidak mau mengambil resiko Pete kenapa-kenapa sebelum Ai ditemukan.     

"Tapi jika tak dilakukan, kita tetap akan menemui jalan buntu. Dan harus memulai dari awal jika ingin menyelidikinya. Keselamatan Ai dan si kembar menjadi taruhannya." Daniel menambahkan.     

"Aku tahu tapi trauma Pete sangat dalam. Aku tak tahan melihatnya depresi lagi." Petter mengingat masa dimana dia pertama kali menemukan Pete setelah diculik. Pete seperti anjing liar yang tidak terkendali.     

"Berengsek! Jangan membicarakan ku seolah aku tak ada!" teriak Pete tersinggung mendengar pembicaraan Petter dan Daniel, seolah dia orang gila yang butuh perawatan khusus.     

"Dad?" Daniel terlihat memohon.     

Petter menarik napas dan mengembuskannya pelan lalu mendekati saudaranya, Pete, dan duduk di depannya. Pete pernah depresi sekali, jika ini terjadi lagi Petter yakin bisa menyembuhkannya lagi. Namun Menantu dan cucunya keselamatannya tidak bisa ditunda-tunda.     

"Apa pun yang kamu lihat dan rasakan, aku harap kamu bisa menahannya," ucap Petter menatap mata Pete dengan intense, dan mulai membuka semua memori Pete yang hilang.     

Pete mengernyit tidak suka ketika mulai mengingat semuanya dari penculikan Jhonathan. Penculikan dirinya yang membuatnya sampai depresi. Lalu semua rencana yang menggunakannya sebagai kambing hitam. Orang yang paling dekat dengannya, yang selalu dilihat orang lain, sebagai yang tersayang padanya.     

"AAARRGGHHH!!!" Pete berteriak kencang saat memorinya terbuka satu persatu.     

Otaknya berdenyut sakit ketika sadar bahwa saudaranya sendiri telah memanfaatkan dirinya selama ini. Pantas kalau Pete disebut gila. Karena dia memang telah membunuh keponakannya sendiri. Dia telah mencelakai keluarga sendiri. Harusnya orang itu yang mati. Dia tak pantas disebut anggota keluarga.     

"Aaakkhhhhh! Berengsek! Bajingan!" Pete berteriak memaki-maki. Entah pada siapa ia mengamuk. Bahkan dengan cepat, dia sudah melepaskan diri dari tali yang mengikatnya membuat orang di ruangan tersebut mundur waspada.     

Sementara Pete, ia masih berteriak-teriak dan meraung-raung seperti singa yang kehilangan anaknya, merusak dan menghancurkan setiap barang di ruangan itu sambil memegang kepalanya yang terus mengeluarkan memorinya yang selama ini terpendam.     

lalu 20 menit kemudian tiba-tiba dia menangis sambil tertawa. Persis orang gila. Sejenak kemudian dia berhenti. Dan seketika suasana menjadi sunyi.     

Tak ada yang berani bersuara atau bergerak.     

Lalu Pete melihat Petter, Daniel, Marco dengan intens membuat semuanya lebih waspada.     

Pete berjalan menghampiri Marco. Marco yang hendak mundur mengurungkan niatnya ketika melihat wajah Pamannya penuh dengan ekspresi penyesalan.     

Pete memeluk Marco erat dan air mata penyesalan keluar dari matanya. "Maafkan aku .... karena dua kali hampir membunuhmu. Maafkan Pamanmu yang tak berguna ini." Pete berujar dengan mata memerah menahan rasa marah dan rasa bersalah yang sangat dalam.     

Marco diam tak berani bergerak dia hanya menepuk punggung Pete. Berusaha menenangkannya. Setelah dirasa tak ada tanda-tanda Pete akan melepas pelukannya, akhirnya Marco bersuara. "Tak apa, Uncle. Toh sekarang aku masih hidup dan baik- baik saja," ucap Marco sedikit risih.     

Ia memilih di peluk Lizz, karena lebih lembut dan kenyal serta menyenangkan dari pada dipeluk cowok yang sama-sama keras, apalagi cowok yang sedang mellow seperti ini.     

"Uncle akan menghabisinya. Uncle janji! Dan dengan tanganku ini, Uncle pastikan, dia akan menyesal, karena berani mempermainkan kita," ujar Pete sebelum melepaskan pelukannya.     

Marco tersenyum lega, begitu pun dengan Daniel, karena Uncle-nya sudah kembali dan tak ada tanda-tanda akan mengamuk lagi.     

"Kenapa dia memanggilmu, Uncle? Keponakanmu di sini, Pete," tunjuk Petter kearah Daniel dan menatap heran pada tingkah Pete dan Marco.     

Seketika Daniel dan Marco salah tingkah. Mereka lupa bahwa Petter belum mengetahui identitas asli Marco.     

Daniel menatap adiknya. Marco diam bertanda keputusan ada di tangan Daniel.     

"Ehem ... Dad, sebenarnya dia adalah Jhonathan," ucap Daniel mantap.     

Mendengar itu tubuh Petter menegang seketika.     

****     

To Be Continue (TBC)     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.