One Night Accident

IMPOTEN 99



IMPOTEN 99

0Enjoy Reading     
0

***     

"Ella." Jovan mendekat ingin memeluk Ella dan mengatakan betapa bersyukurnya dia karena akhirnya menemukannya setelah dua hari keliling Jakarta.     

"Aku kangen kamu," bisik Jovan langsung merengkuh Ella kedalam pelukannya.     

Ella terdiam dengan tubuh kaku. Antara kaget, marah, kecewa dan rindu. Tapi sekejap kemudian dia dia merasa lebih marah saat tahu Jovan bukan bertanya kabarnya malah hanya mengatakan kangen. Apa menurut Jovan tubuhnya saja yang berguna.     

Ella merasa di lecehkan. Dengan kesal dia melepas pelukan Jovan dan mendorongnya agar menjauh.     

"Plakkkkk." Tampar Ella sekuat tenaga.     

Pipi Jovan terasa panas tapi Jovan tahu dia pantas mendapatkannya. Bahkan ini terlalu ringan untuknya.     

"Jangan pernah menemui ku apalagi menyentuhku. Aku tidak Sudi," ucap Ella dengan kemarahan yang masih menumpuk.     

Jovan menatap Ella penuh penyesalan.     

"Maaf. Aku tahu aku salah, kita hanya salah paham." Jovan kembali mendekat berusaha menggapai tangan Ella. Tapi langsung di tepis.     

"Sudah aku bilang jangan menyentuhku." Ella benar-benar tidak suka jika Jovan mendekatinya.     

Jovan melihat tangannya. Apa Ella sekarang jijik padanya? "Baiklah aku tidak akan menyentuhmu. Tapi bisa kita bicara sebentar."     

"Bicaralah." Ella menunggu.     

"Bukan di sini. Pulang ya, kita bicarakan baik-baik." Jovan membujuk.     

"Tidak, kalau mau bicara di sini saja. Kalau tidak aku mau pergi." Ella mulai kesal.     

"Sayang, jangan emosi. Ingat kandunganmu." Kevin mengingatkan Ella .     

"Maaf, Jovan. Kata dokter, Sarah harus istirahat. Kamu bisa bicara lain kali," ucap Kevin pada Jovan  sambil merangkul bahu Ella.     

Sayang?     

Jovan ingin langsung melenyapkan Kevin karena memanggil istrinya sayang.     

"Lepaskan tanganmu." Jovan menarik Ella ke pelukaannya dan menyingkirkan tangan Kevin.     

Ella kembali mendorong Jovan agar terlepas dari dekapannya. "Apa-apaan sih. Kamu nggak berhak berbuat seperti ini."     

"Tentu saja aku punya hak. Kamu istriku. Aku cemburu jika ada pria lain dekat denganmu." Jovan kembali mendekati Ella. Tapi Ella malah mundur.     

"Kamu sudah menceraikan aku. Jika kamu lupa." Ella mengingatkan. Dadanya terasa sesak masih terngiang-ngiang ucapan ucapan talak itu.     

"Tidak, aku menarik talak itu, aku mau kita rujuk saja." Jovan tidak rela, pokoknya tidak rela Ella meninggalkannya.     

"Tidak mau, aku tidak Sudi balikan sama mantan yang sudah menceraikan aku." Ella sudah terlanjur kecewa.     

"Itu baru talak satu. Seharusnya kamu masih tinggal bersamaku. Lagi pula aku mau rujuk. Jadi, tidak akan ada perceraian."     

"Sudah aku bilang aku tidak mau balikan sama mantan." Ella keukeh.     

"Aku belum menjadi mantan. Dalam hukum Islam talak satu itu kita masih suami istri. Lagi pula kamu sedang hamil. Jadi talak itu tidak sah." Pokoknya Jovan tidak mau pisah sama Ella. Jovan akan lakukan apa pun agar Ella balik lagi sama dia.     

"Mana bisa seperti itu!" Ella mulai tidak tenang. Benarkah hukum di Indonesia seperti itu. Atau hukum Islam tadi. Ella jadi semakin pusing. Kepalanya tiba-tiba terasa berdenyut sangat kencang.     

"Astaga, sayang kamu baik-baik saja." Kevin menopang tubuh Ella yang limbung.     

Jovan melakukan hal yang sama. Memegang bahu Ella khawatir sambil melotot ke arah Kevin. "Pulang ya, istirahat di rumah. Biar aku periksa lagi."     

Ella menggeleng. "Jovan, please. Aku mau sendiri. Kita bicara lain kali ya." Kepala Ella semakin berdenyut kencang.     

"Iya, aku gak akan ganggu. Kamu pulang, istirahat di rumah. Kita bicara kalau kamu sudah siap dan lebih baik." Jovan masih berusaha membujuk Ella.     

"Biar Sarah istirahat di hotel terdekat. Rumahmu terlalu jauh." Kevin menengahi.     

"Baiklah, aku antar ke hotel terdekat." Jovan hendak membawa Ella. Tapi Ella kembali menepisnya.     

"Aku bareng Kevin saja." Ella masuk ke dalam mobil Kevin.     

"Enggak, bareng aku saja ya sayang. Ini kan anak aku. Jadi aku yang harus jaga kamu." Jovan berusaha semanis mungkin. Tidak mau Ella bareng si pembinor itu.     

Ella menatap Jovan dengan senyum mengejek. "Kamu yakin ini anak kamu? bagaimana kalau ini anak Kevin? masih mau kamu sama aku?"     

Jovan terhenyak. Anak Kevin? tidak mungkin. Pasti di perut Ella adalah anaknya. Jovan yakin itu.     

Ella kembali tertawa melihat keraguan di wajah Jovan. "Lihat, bahkan kamu masih meragukan aku. Bagaimana mungkin aku kembali pada orang yang masih tidak mempercayaiku?"     

Jovan langsung pias. Dia mengulang kesalahannya lagi.     

"Ella sayang, dengarkan aku dulu ... Maafkan aku. Aku tidak bermaksud meragukan dirimu aku ...." Perkataan Jovan terputus karena Ella sudah masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya dengan Kevin menyetir di sebelahnya.     

Jovan hanya bisa mendesah pasrah dengan hati mendidih serasa ingin meledak saat  Kevin  melihatnya dari dalam mobil dengan wajah terasa menang.     

Sialan.     

Kalau Ella sedang tidak hamil dan Jovan khawatir Ella semakin stress kalau dia memaksa. Pasti  Jovan  sudah pilih cara Alxi. Culik, lalu kandangin di kamar.     

Sayangnya baru diajak bicara saja. Ella sudah pusing. Bagaimana kalau Jovan ngotot. Bisa-bisa istrinya semakin stres dan malah keguguran.     

Akhirnya Jovan hanya bisa mengikuti mobil Kevin dari belakang. Tidak mau membuat keributan.     

Sayangnya begitu sampai di lampu merah tiba-tiba mobil Kevin tidak terlihat di mana pun?     

Kemana mereka?     

Jovan berputar-putar dan menyinggahi penginapan dan hotel terdekat. Tapi, mereka tidak ada.     

Sialan.     

Kemana si Kevin membawa istrinya menghilang.     

Jovan semakin khawatir.     

***     

Ella sepertinya tertidur karena begitu dia terbangun jendela di luar sudah terlihat gelap. Dia juga berada di kamar yang tidak dia kenali.     

Ella turun dari ranjang lalu keluar kamar mencari Kevin. Sepertinya mereka ada di sebuah villa.     

"Sarah? kamu sudah bangun? membutuhkan sesuatu?" tanya Kevin terkejut melihat Ella terbangun tengah malam.     

"Tidak, aku hanya bingung karena terbangun di tempat asing. Kita ada di mana?" tanya Ella memilih duduk di sofa.     

"Ini villa milik kenalanku. Untuk sementara kita akan tinggal di sini sampai kesehatanmu pulih."     

"Oh, lalu. Di mana Jovan?" Ella ingat tadi siang Jovan mengikutinya. Tapi karena kepalanya pusing, Ella malah tertidur di mobil.     

"Jovan? sayang tidak ada Jovan. Kita hanya berdua dari tiga hari yang lalu. Apa kamu masih sakit kepala hingga berhalusinasi?" tanya Kevin sambil mengelus rambut Ella.     

Ella mengernyit. "Berhalusinasi?"     

Benarkah, Jovan yang meminta maaf padanya hanya khayalaannya belaka? Pasti benar. Karena tidak mungkin seorang pangeran Cavendish mau meminta maaf.     

"Jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kamu makan ya, seharian tadi kamu baru sarapan saja." Kevin mengecup dahi Ella sebelum beranjak ke dapur.     

Ella mengangguk tapi masih bingung memikirkan Jovan. Kejadian tadi terasa amat sangat nyata.     

Ella melihat ke arah dapur dimana Kevin terlihat sibuk memasak untuknya. Perhatian dan sangat mencintainya. Kurang apa Kevin dibandingkan Jovan yang selalu menyakitinya.     

Masalahnya adalah, hati tidak bisa diatur. Dia jatuh cinta pada lelaki yang selalu membuatnya kecewa.     

Ella tahu ini terdengar egois dan tidak tahu terima kasih. Tapi, dia sedang hamil dan anaknya suatu saat pasti akan bertanya siapa ayahnya. Sebaiknya jika Ella ingin berpisah dengan Jovan dia akan berpisah baik-baik. Agar tidak ada masalah dikemudian hari.     

"Selesai. Maaf bahannya hanya ada pancakes." Kevin menaruh di depan Ella.     

"Kamu tidak makan?" tanya Ella.     

"Aku sudah makan saat kamu masih tertidur tadi."     

"Terima kasih." Ella segera memakan pancakes buatan Kevin. Tidak menyangka dia benar-benar lapar.     

"Boleh aku minta tolong?" tanya Ella setelah selesai makan.     

"Apa pun untukmu." Kevin menarik Ella agar rebah di bahunya.     

"Bisa antarkan aku pulang besok?"     

Tubuh Kevin langsung menegang. "Untuk apa kamu pulang? kamu bilang sudah diceraikan oleh suamimu."     

"Iya. Tapi ... aku harus tetap pulang. Ada Mahesa yang pasti mengkhawatirkan aku."     

"Biarkan sajalah. Itu urusan Jovan. Kamu tidak perlu mengurus anaknya juga. Lebih baik kamu fokus pada anakmu sendiri. Bahkan soal surat cerai biar aku saja yang mengurusnya untukmu." Kevin tidak rela kalau Ella bertemu dengan Jovan lagi.     

"Tapi, tetap saja. Setidaknya aku harus berpamitan dengannya. Bagaimanapun  Mahesa masih kecil. Dia tidak tahu apa-apa. Mahesa ...."     

"Ella. Jovan itu playboy. Aku yakin dia punya seribu satu cara merayu dirimu kalau sampai bertemu dengannya lagi. Aku tidak rela kalau dia bisa mempedayaimu lagi." Kevin memegang kedua bahu Ella.     

"Tapi ...."     

"Aku tidak mau kehilangan kamu. Lupakan si playboy itu. Hidup bersamaku pasti akan lebih membahagiakan dirimu," bujuk Kevin sungguh-sungguh.     

"Tunggu dulu, sedari tadi kamu mengatakan Jovan itu playboy. Dari mana kamu tahu Jovan playboy. Aku tidak merasa pernah mengatakannya?  Kamu juga tahu siapa Mahesa, padahal aku tidak pernah bercerita Jovan memiliki anak bernama Mahesa." Ella merasa janggal. Dari mana  Kevin tahu Jovan memiliki anak bernama Mahesa.     

Kevin terlihat gelagapan. "Kamu pernah bilang kok."     

"Tidak. Kalau aku pernah bilang. Aku akan ingat." Ella memicingkan matanya semakin curiga.     

"Sudahlah lupakan saja. Lupakan Jovan, lupakan Mahesa. Hiduplah bersamaku," ajak Kevin sambil mengulurkan tangannya.     

"Jawab dulu. Dari mana kamu tahu Mahesa adalah anak Jovan." Ella mundur saat Kevin mendekat.     

"Sarah, kamu sedang kacau. Pasti kamu lupa." Kevin semakin mendekat. Tapi Ella merasa pandangan Kevin kali ini berbeda. Terasa kosong tanpa rasa.     

"Aku baik-baik saja. Aku harus pergi menyelesaikan masalahku dengan Jovan. Aku mohon mengertilah, ini bukan hanya soal aku dan Jovan tapi juga anak-anakku dan dua kerajaan. Banyak hal yang harus kami bicarakan sebelum berpisah. Kalau kamu tidak mau mengantarku tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku akan naik taxi saja." Ella hendak beranjak pergi     

"Awwww." Ella memekik kaget saat tiba-tiba Kevin menarik lengannya dengan kuat.     

"KALAU AKU BILANG TINGGALKAN JOVAN. BERARTI KAMU HARUS MENINGGALKANNYA. PAHAM!"     

Wajah Ella langsung pias dengan tubuh bergetar kaget karena Kevin membentaknya. Lengannya terasa langsung memar karena cengkraman Kevin yang terlalu kuat.     

"Kevin, sakit." Ella berusaha melepas lengannya tapi sia-sia.     

"Sttt, jangan takut. Kamu aman bersamaku. Jovan itu tidak bagus. Banyak wanita menjadi korbannya. Sebaiknya turuti perkataanku agar semua baik-baik saja. MENGERTI." Kevin mencengkram lengan semakin keras.     

"Awwww." Ella kembali memekik karena wajahnya dipaksa menghadap Kevin.     

"Apa kamu mengerti?" Kevin meremas dagu  Ella dengan kasar.     

Ella hanya mengangguk dengan air mata mulai turun di pipinya. Ella ketakutan sekarang.     

Pria di depannya pasti bukan Kevin. Kevin nya baik dan penyayang tidak kasar seperti ini.     

Tatapan Kevin lembut dan penuh cinta. Bukan tatapan memaksa dan mengancam seperti itu.     

"Jangan menangis. Aku janji kita pasti akan bahagia." Kevin memeluk Ella seolah ingin meremukkan semua tulangnya.     

Ella sudah gemetar ketakutan.     

Siapapun tolong. Batinnya melas.     

"Sekarang, mari kita istirahat." Kevin menarik Ella menuju kamar.     

Ella panik dengan cepat dia mendorong tubuh Kevin hingga tersungkur. Lalu bergegas berbalik hendak lari.     

Dooorrrr.     

Tubuh Ella menegang kaku.     

"Selangkah saja kamu keluar dari rumah ini. Aku tidak segan-segan melubangi kepalamu."     

Ella berbalik dan langsung melotot ngeri. Kakinya terasa lemas seperti jeli.     

Kevin berdiri dengan pistol mengarah tepat kearahnya.     

Ella tidak bisa berkata apa-apa apalagi menggerakkan tubuhnya.     

Kevin menyeringai dengan wajah dingin menakutkan. Pelan tapi pasti dia mendekati Ella dan langsung merengkuhnya ke dalam pelukan.     

"Wanita pintar," gumamnya sebelum menarik Ella menuju kamar.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.