One Night Accident

IMPOTEN 95



IMPOTEN 95

0Enjoy Reading.     
0

***     

Ella membuka matanya dan langsung mengerang saat merasakan kepalanya berdenyut keras. Ella bangun dan bisa merasakan tubuhnya panas. Sepertinya dia pingsan semalam dan tidak ada yang tahu. Buktinya dia masih berada di lantai depan pintu.     

Ella berdiri sambil memegangi kepalanya yang benar-benar seperti terbelah. Meraba meja berusaha mencari kotak P3K di kamarnya.     

Untungnya ada Paracetamol sehingga Ella bisa langsung meminumnya dan naik keatas ranjang untuk beristirahat kembali. Tapi, baru matanya akan terpejam dia melihat jam yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Waktunya Mahesa berangkat sekolah.     

Ella  ingin mengabaikannya. Tapi, jika Ella  tidak turun untuk  sarapan bersama. Ella khawatir Jovan  akan semakin marah  dan Mahesa  yang tidak tahu apa-apa ikut merasakan dampaknya.     

Akhirnya dengan tubuh sedikit limbung Ella memaksakan diri masuk ke dalam kamar mandi. Mencuci muka agar terasa lebih segar.     

Begitu merasa agak lebih baik Ella turun ke bawah. Ternyata Jovan dan Mahesa sudah sarapan mendahului dirinya. Sepertinya dia tidak ada di sini juga tidak masalah untuk mereka.     

"Tante cantik mommy tiri, aku pikir tidak ikut sarapan karena kesiangan." Mahesa tersenyum menyambut Ella.     

Ella duduk di sebelah Mahesa. "Iya, maaf mommy tiri terlambat. Mommy tiri sedikit lelah." Ella sebenarnya malas sarapan. Dan lagi-lagi dia merasa mual begitu melihat nasi di meja makan.     

"Tante cantik mommy tiri apa kamu baik-baik saja. Wajahmu terlihat pucat?" Mahesa mengamati Ella.     

Jovan yang masih marah dan kesal mau tidak mau akhirnya melihat ke arah Ella. Memang benar Ella terlihat pucat. Apa dia sakit? Jovan ikut khawatir.     

"Mommy tiri baik ...." Ella belum sempat menyelesaikan perkataannya saat ada tangan yang menempel di dahinya.     

"Kamu demam." Jovan bisa merasakan suhu tubuh Ella yang lebih dari sekedar demam. Tubuh istrinya amat sangat panas.     

"Benarkah? Astaga Tante cantik mommy tiri memang sakit." Mahesa ikut menyentuh lengan Ella.     

"Tidak apa-apa Mahesa. Mommy tiri hanya sedikit demam. Nanti setelah minum obat juga baik-baik saja." Ella menenangkan.     

"Iyakah?" Mahesa melihat ayahnya bertanya.     

"Iya, biar ayah yang merawat Tante cantik mommy tiri Mahesa.  Sedang Mahesa berangkat sekolah saja ya," bujuk Jovan pada anaknya.     

"Baiklah. Tapi Tante cantik mommy tiri benar-benar akan sembuh kan? Tidak pergi seperti bunda Zahra? Mahesa khawatir." Mehesa memastikan. Dia tidak mau tidak memiliki mommy tiri lagi.     

"Iya. Begitu Mahesa pulang dari sekolah. Mommy tiri pasti sudah sembuh." Ella mengelus kepala Mahesa.     

"Oke, kalau begitu Mahesa berangkat sekolah dulu." Mahesa mencium tangan Jovan dan Ella.     

"Asalamu'alaikum." Teriak Mahesa sebelum berangkat sekolah.     

"Wa'alaikumsalam," jawab Ella dan Jovan bersamaan.     

Hening.     

Ella mengambil jus jeruk di depannya.     

Tapi, belum sempat sampai mulutnya gelasnya sudah kembali ke meja.     

"Sebaiknya kamu sarapan bubur. Jangan minum yang asam terlebih dahulu."     

"Aku baik-baik saja." Ella kembali mengambil jus jeruk dan meminumnya dengan tatapan kesal dari Jovan.     

Bodoamat. Saat ini di mata Ella hanya jus jeruk yang terlihat enak di lidah dan perutnya. Ella tidak mau yang lain.     

"Jovannnn." Ella memekik kaget. Tiba-tiba tubuhnya terangkat dan berada di pelukan Jovan.     

Jovan membawa Ella kembali ke kamarnya. Membaringkannya di ranjang lalu bersedekap. "Tetap di sini. Aku akan menyuruh maid mengantarkan bubur untukmu."     

Jovan segera keluar untuk mengambil peralatan dokter di ruang kerjanya. Tapi saat Jovan kembali Ella tidak ada di ranjang.     

"Ella?"     

"Sedang apa kamu di sana?" Jovan menegur Ella yang berada di balkon.     

"Aku hubungi lagi nanti," ucap Ella sebelum menurunkan ponselnya dan melihat ke arah Jovan.     

"Siapa yang kamu telpon pagi-pagi begini," tanya Jovan langsung curiga.     

"Ibuku," jawab Ella berjalan kembali ke arah ranjang. Bertepatan dengan seorang maid yang masuk dan membawa nampan berisi bubur yang diminta oleh Jovan.     

Baru mencium aroma bubur perut Ella langsung bergejolak hebat.     

"Makan bubur mu." Jovan mengambil bubur dari maid dan duduk di samping Ella.     

Ella menutup mulutnya benar-benar ingin muntah. Dia menggeleng dan menjauhkan bubur dari hadapannya.     

"Ella, kamu bukan anak kecil. Makan bubur mu. Lalu aku akan menyuntik mu agar cepat sembuh. Sadar nggak sih. Demam mu sangat tinggi." Jovan yang gemas segara menyodorkan sendok berisi bubur ke arah Ella.     

Ella tidak tahan lagi. Begitu sendok mendekati wajahnya Ella langsung menepisnya, berlari kearah kamar mandi dan muntah-muntah tidak terkendali.     

"Eh ...?"     

Melihat itu Jovan menaruh bubur di meja dan segera menyusul Ella masuk ke kamar mandi.     

Ella merasakan tubuhnya gemetar dengan keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Hampir saja Ella limbung, untung Jovan memeluknya dari belakang.     

Jovan mengurut leher Ella  untuk menuntaskan muntahnya. Lalu membantu berkumur dan kembali membopongnya ke ranjang.     

"Sepertinya aku harus menginfus mu. Demamnya terlalu tinggi sampai-sampai perutmu menolak makanan." Jovan mengambil alat pengukur suhu tubuh dan meletakkan di ketiak Ella.     

"Aku ingin tidur saja." Ella menolak saat Jovan akan menyentuhnya. Walau itu dilakukan karena Jovan ingin memeriksanya tapi entah kenapa Ella sedang tidak ingin bersentuhan sama sekali dengan Jovan.     

"Kamu bisa tidur setelah aku memeriksa mu." Jovan keukeh hendak menyingkirkan  baju Ella untuk memeriksanya.     

"Aku bilang tidak mau ya tidak mau. Ngerti nggak sih. Sekarang keluar dari kamarku." Ella menepis tangan Jovan, semakin kesal melihat Jovan yang sok perhatian.     

Jovan tersentak. Baru kali ini ada wanita yang menolaknya. Bukan sembarang wanita. Tapi wanita itu istrinya sendiri. Dia baru saja ditolak dan diusir istrinya sendiri?     

Jovan mendesah berusaha sabar. Walau dia masih kesal soal kemarin. Tapi, Ella sedang sakit jadi Jovan akan tetap merawatnya.     

Jovan mengambil infus dan  menarik tangan Ella kasar. "Diam, atau jarum ini akan merobek kulitmu."     

Ella yang tidak mau terluka karena jarum akhirnya terdiam dan memalingkan wajahnya saat Jovan dengan paksa memasang infus untuknya.     

Setelah selesai Jovan menyuntikkan obat kedalam infus dengan dosis sedang. Agar Ella tidak terlalu drop walau tidak ada makanan yang masuk ke perutnya.     

"Istirahatlah, kalau perlu apa-apa telpon aku. Aku harus pergi bekerja." Jovan membereskan peralatannya.     

Ella yang tadi melengos dengan pelan menoleh dan memandang Jovan. Seketika rasa bersalah menghampirinya. Dia tidak tahu kenapa tadi kesal sekali pada Jovan. Bahkan semua perlakuan Jovan terasa salah dan semakin membuatnya marah serta dongkol. Apa karena dia masih kesal dituduh selingkuh? Entahlah.     

Yang jelas sekarang begitu melihat wajah kecewa Jovan. Ella jadi tidak tega dan malah ingin menangis. "Trima kasih."     

Jovan mengernyit heran ketika melihat mata Ella yang malah berkaca-kaca.     

"Sama-sama, segeralah sembuh," ucapnya. Mendekati Ella bermaksud mencium dahinya.     

"Jangan menyentuhkuuuu." Ella mendorong Jovan hingga terjengkang.     

"Maaf, pokoknya jangan menyentuhku. Aku tidak tahu kenapa. Pokoknya jangan mendekati aku. Aku kesal melihat wajahmu." Ella menutup rapat tubuhnya dengan selimut.     

Jovan ternganga. Istrinya sangat aneh.     

Tiba-tiba ngambek, menangis dan sekarang tidak mau disentuh.     

Tunggu dulu.     

Apa Ella sedang hamil?     

Ella terlihat pucat, muntah-muntah dan emosinya terlihat tidak stabil.     

Sebagai dokter kandungan seharusnya Jovan sudah curiga dari tadi.     

Jovan harus memastikannya?     

Baru saja Jovan mendekati Ella lagi. Ella langsung melemparkan bantal kearahnya. "Kamu mengerti perkataan ku tidak sih? Aku tidak ingin di sentuh olehmu."     

"Aku hanya ingin memeriksa mu Ella."     

"Tidak mauuuuuuuuuuuuuu, suruh dokter lain saja. Aku tidak mau diperiksa olehmu," teriak Ella tiba-tiba menangis histeris.     

"Oke-oke. Aku akan suruh Junior, paman Marco atau Javier saja memeriksamu. Jangan menangis oke." Jovan mundur dan segera keluar dari kamar Ella. Bermaksud menghubungi Javier agar memeriksa Ella.     

Tapi baru saja dia mengambil ponsel untuk menghubungi Javier malah ada panggilan masuk dari Alxi.     

Jovan menjauh dari kamar Ella dan turun ke ruang keluarga. "Iya Al? sudah kamu dapatkan data-datanya?"     

"Sudah, walau belum semua. Tapi, gue rasa loe musti tahu ini."     

"Ada apa?"     

"Em, cowok yang bersama istri lo semalam adalah mantan pacarnya. Atau lebih tepatnya masih pacarnya. Karena belum ada kata putus diantara mereka. Sepertinya bini loe ninggalin itu cowok begitu saja saat menikah sama lo."     

Tubuh Jovan langsung menegang kaku. Kekasih? Jadi benar Ella selingkuh? Rasa panas langsung terasa kembali membakar dadanya.     

"Beri aku data cowok itu selengkap-lengkapnya."     

"Udah gue bilang. Datanya belum lengkap."     

"Yang ada saja dulu Al. Kirim ke aku. Sekarang," perintah Jovan sudah tidak sabar. Dia harus tahu siapa saingannya.     

Apa Ella masih mencintai pria itu?     

Apa Ella masih mengharapkan pria itu?     

Apa Ella akan meninggalkan dirinya?     

Tiba-tiba berbagai kemungkinan muncul di kepalanya. Dan Jovan tidak suka itu.     

"Oke, tapi ... Loe bisa ambil  sendiri ke rumah gue kan? Gue lagi lumayan repot nih." Lalu terdengar suara tangisan bayi.     

"Okeeee, Dewa ... Daddy coming," terdengar teriakan Alxi disana.     

"Baiklah, aku kesana sekarang." Jovan memasukkan ponselnya ke kantong.     

Dengan tidak sabar dia  Pergi ke rumah Alxi. Ingin tahu seperti apa lelaki yang berani mendekati istrinya.     

Saking semangatnya Jovan Melupakan niat awal yang ingin minta tolong pada Javier untuk memeriksa kondisi Ella.     

Apakah Ella beneran hamil? Atau  hanya sakit belaka.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.