One Night Accident

IMPOTEN 97



IMPOTEN 97

0Enjoy Reading.     
0

***     

Ella bisa mencium aroma obat-obatan begitu membuka matanya. Benar saja dirinya sedang terbaring di sebuah brangkar rumah sakit.     

Ella melihat sekitarnya.     

Sepi.     

Tidak ada satupun orang yang menemani.     

Ella berpikir dan terus berpikir. Setidak berharga itukah dirinya di mata para Cavendish. Hingga saat dia sakit pun tidak ada yang  meluangkan waktu untuk sekedar menemaninya.     

Oh ... Ella hampir lupa. Jovan sudah menceraikan dirinya. Jadi, untuk apa keluarga Cavendish repot-repot merawatnya. Ella sakit dan dibawa ke rumah sakit saja sudah lebih dari cukup.     

Ella memencet tombol di samping ranjangnya. Tidak berapa lama kemudian ada seorang perawat yang masuk.     

"Anda sudah sadar nyonya. Bagaimana perasaan anda?" Tanya perawat itu ramah sambil memeriksa tekanan darahnya.     

Perasaan Ella?     

Hancur.     

Batin Ella masih merasa kosong di hatinya.     

"Aku ingin pulang." Ella hampir tidak bisa mengenali suaranya yang agak serak dan sangat lirih.     

Perawat itu tersenyum. "Iya nyonya. Tapi, akan saya tanyakan pada dokter Javier dulu. Apakah anda sudah boleh pulang atau belum."     

"Javier?"     

"Iya, dokter Javier yang membawa anda kemari."     

Hati Ella mencelos. Bahkan Jovan sudah tidak sudi menyentuhnya lagi. Makanya tidak mau membawanya ke rumah sakit. Javier juga pasti melakukannya hanya demi kemanusiaan.     

"Aku mau pulang sekarang." Ella bersikukuh.     

"Baiklah, biar saya tanya dokter Javier sekarang."     

"Tidak, panggil dokter lain. Aku mau diperiksa dokter wanita saja."     

"Baik nyonya."     

"Tunggu, bisa pinjam ponselmu? Aku ingin menghubungi keluargaku." Ella memberi alasan.     

"Saya tidak membawa ponsel saat bertugas nyonya. Tapi, saya akan ambilkan. Tunggu sebentar ya," kata perawat itu masih ramah.     

"Terima kasih suster."     

Perawat itu tersenyum lagi dan keluar dari ruang rawat Ella.     

Tidak berapa lama kemudian perawat itu masuk dengan seorang dokter wanita bersamanya.     

"Aku dengar nyonya Ella ingin pulang sekarang?" tanya dokter perempuan itu sambil memeriksanya.     

Ella mengangguk.     

"Boleh saja. Yang penting nyonya harus bedrest untuk satu Minggu ini.  Minum obat dan vitamin secara teratur dan jangan terlalu banyak pikiran."     

"Baiklah." Ella hanya ingin segera pergi dari tempat di mana nama Cavendish berada.     

"Ah ... harap jangan melakukan hubungan intim untuk sementara. Bagaimanapun juga kondisi kandungan anda masih lemah karena terlalu banyak pikiran. Setidaknya untuk dua atau tiga minggu yang akan datang harap ditahan dulu ya."     

"Kandungan?" tanya Ella tidak mengerti.     

"Iya, saat ini anda sedang hamil 8 Minggu. Apa anda tidak tahu?"     

Ella menggeleng. Otaknya berputar-putar sedang memikirkan semuanya.     

Dia hamil?     

Hamil anak Jovan.     

Jovan menceraikannya.     

Wajah Ella kembali memucat.     

Kepalanya berdenyut lagi.     

Apa yang harus dia lakukan sekarang?     

"Nyonya, anda tidak apa-apa?" tanya dokter itu waktu melihat Ella malah menyentuh kepalanya dan terdengar mendesis sakit.     

Ella tidak tahu harus bereaksi bagaimana.     

Senang atau sedih?     

Seluruh keluarga besarnya mengharapkan kehamilannya sedari dulu. Harusnya dia bahagia karena tidak akan mendapatkan teror pewaris dari Cavendish lagi. Tapi, Jovan sudah menceraikan dirinya.     

Lalu apa gunanya kehamilannya?     

Anaknya malah akan menjadi boneka kerajaan belaka. Di tarik sana sini seperti dirinya jika Ella tetap bertahan di sini.     

"Nyonya. Jangan berpikir terlalu keras, itu bisa membahayakan janin anda. Ingatlah anda sedang hamil. Jangan stress." Dokter itu mengingatkan.     

Ella memandang dokter itu dengan wajah sedih. "Aku, pinjam ponselnya."     

Dokter itu mendesah lega ketika Ella bicara. Sesaat tadi dokter itu mengira Ella stress akut karena seperti tidak mendengar apalagi menanggapi ucapannya. Lalu dokter itu menyerahkan ponselnya pada Ella.     

Ella tidak mau melakukan ini. Tapi, Jovan sendiri sudah tidak menginginkan dirinya. Berada di sini sama dengan menyiksa hatinya sendiri.     

Ella tidak mau semakin stress dan membahayakan anaknya.     

Jovan boleh tidak menginginkan dirinya. Tapi, Ella tidak akan membiarkan Jovan juga menolak anaknya. Jadi lebih baik Ella merawat bayinya sendiri tanpa campur tangan keluarga Cavendish.     

Ini janin miliknya, anaknya. Ella berhak menentukan bagaimana nasibnya.     

Dengan tangan gemetar Ella akhirnya menghubungi satu-satunya orang yang bisa membawanya keluar dari kota bahkan mungkin negara ini.     

Satu-satunya orang yang masih mau menerima dirinya apa adanya.     

Satu-satunya orang yang mencintai Ela dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan apa pun sebagai balasan.     

Kevin.     

***     

"Dicariin malah di sini."     

Jovan menoleh ketika pundaknya ditepuk seseorang. Javier ikut duduk di sebelahnya.     

"Capek aku nyari kamu. Dasar suami enggak bertanggung jawab." Javier meminum air putih milik Jovan. Kembarannya sedang melamun di pinggir danau di belakang rumah Marco.     

Jovan tetap diam saja. Pikirannya masih kalut. Hatinya sakit. Masih terngiang-ngiang Ella mengatakan mencintai Kevin.     

"JOVAN." Javier membentak karena sepertinya Jovan mengabaikan dirinya.     

"Hmmm."     

Javier memalingkan wajah Jovan agar menghadap dirinya. "Ella masuk rumah sakit woy ...."     

"Oh ... sudah ada yang menangani kan?" tanya Jovan lesu. Bukan dia tidak khawatir. Tapi lagi-lagi pernyataan cinta Ella untuk Kevin  terngiang-ngiang di otaknya.     

Javier melongo. Gitu doangk?     

"Jovan, Ella istrimu. Lagi sakit, bahkan hampir keguguran. kamu cuma bilang oh? amazing sekali anda?" Javier berdiri dan menatap Jovan tidak mengerti. Bisa segoblok ini adiknya.     

"Keguguran?" Wajah Jovan langsung fokus ke Javier.     

"Iya. Kamu suruh aku datang periksa istrimu. Tapi apa yang aku dapatkan? Istrimu malah terbaring pingsan dengan darah merembes di seprai. Tentu saja aku langsung membawanya ke rumah sakit."     

Jovan mencengkram lengan Javier. "Sekarang bagaimana keadaannya?" tanya Jovan mulai panik.     

"Lihat sendiri sajalah." Javier melepas cengkraman Jovan dan berbalik pergi.     

Kesal dengan tingkah Jovan yang tidak peka dengan keadaan istrinya.     

Dulu, waktu jadi playboy perhatian banget sama pacar-pacarnya. Tapi pas punya istri kenapa kembarannya jadi bego begini?     

Sama Zahra disakiti. Sekarang sama Ella malah dicueki. Dasar aneh.     

Jovan tidak mau ketinggalan dan segera menyusul Javier ke rumah sakit.     

Jovan benar-benar pusing sekarang. Ella hamil. Jovan bingung harus bagaimana? Maukah Ella kembali padanya? Sedangkan Ella bilang bahwa dirinya mencintai Kevin tapi sekarang Ella malah hamil anaknya. Apa Ella akan mempertahankan bayinya? bagaimana kalau Ella tidak mau karena benci padanya.     

Tidak. Jovan akan lakukan apapun asal Ella tidak menyakiti anaknya. Bahkan menerima jika Ella meninggalkan dirinya. Asal anaknya diberikan pada Jovan.     

Begitu sampai di rumah sakit Jovan langsung berlari mengikuti Javier menuju ruangan Ella.     

"Sebaiknya kamu minta maaf karena sudah mengabaikan istrimu yang sedang sakit." Javier membuka pintu ruang rawat Ella.     

Jovan mengangguk. Menarik napas sebelum masuk. Siap menghadapi kemarahan Ella karena Jovan akan mempertahankan pernikahan mereka demi anak yang sekarang ada di kandungan Ella. Kalau tidak mau, baru Jovan akan meminta hak asuh anak atas bayi yang dikandung Ella.     

Sayangnya tidak ada siapapun di ruangan itu. Bahkan seprainya sangat rapi. Seolah-olah tidak ada bekas orang menidurinya.     

Jovan membuka kamar mandi. Tetap kosong. "Jav, kamu yakin ini ruangan Ella?"     

Javier yang masih ada di pintu ikut heran. Siapa yang memindahkan Ella. "Aku sendiri  yang membawanya ke sini."     

"Kamar ini kosong."     

"Sebentar. Aku tanya perawat dulu." Javier menghubungi asistennya.     

"Ke ruangan VVIP sekarang."     

"Baik, Dok."     

Tidak berapa lama kemudian muncul perawat yang menjadi asisten Javier.     

"Pasien yang tadi aku bawa ke ruang VVIP ada di mana?" tanya Javier.     

"Pasien? Oh, maksud anda nyonya Ella?"     

"Iya."     

"Nyonya Ella memaksa keluar dari rumah sakit sejam yang lalu Dok."     

"Keluar? tapi dia belum sembuh benar. Bagaimana bisa dia keluar dari rumah sakit tanpa ada perseydari dokter dan belum ada yang menjemputnya?" tanya Javier.     

"Tadi dokter Miranda sudah memeriksanya dan nyonya Ella boleh pulang asal bedrest dan meminum obatnya teratur. Lagi pula nyonya Ella  sudah di jemput suaminya."     

"SUAMI?" teriak Jovan terkejut. Suami siapa? Dia suami Ella.     

"Iya, suaminya."     

"Jangan ngaco kamu. Ella itu istriku." Jovan semakin panik. Ella dibawa siapa?     

"Eh ... istri? jadi ... nyonya Ella itu sang putri Inggris?" tanya asisten Javier terkejut. Pasalnya gara-gara pesta pernikahan di kerajaan Inggris. Semua pegawai rumah sakit Cavendish  tahu kalau Jovan dan Javier adalah putra mahkota Cavendish dan Jovan lah yang beruntung menikahi putri Sarah dari Inggris. Tapi, mereka belum bertemu langsung dengan istri Jovan itu.     

"Bagaimana ciri-ciri orang yang membawa istriku?" tanya Jovan pada perawat itu.     

"Wajahnya blasteran kaya orang Inggris dan tingginya hampir sama kaya dokter Jovan."     

"Kevin." gumam Jovan langsung terasa lemas.     

"Benar. Namanya Pak Kevin."     

"Kevin? Kevin siapa?" Javier tidak mengerti. Apalagi sekarang Jovan terlihat menunduk dan putus asa     

"Trima kasih. Kamu boleh pergi," ucap Javier pada asistennya. Dia harus bicara dengan Jovan. Ada yang terasa janggal di sini.     

Javier menutup ruang rawat itu dan menarik Jovan agar duduk di pinggir ranjang.     

"Dia pergi. Ella benar-benar pergi dengan selingkuhannya." Jovan tiba-tiba tertawa miris.     

"Jovan? Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?" Javier melihat Jovan yang terlihat aneh.     

"Memangnya ada apa?  istriku hanya kabur bersama selingkuhannya," ucap Jovan dengan dada semakin sesak.     

"Tunggu dulu. Kamu ada masalah dengan Ella?" Javier semakin bingung dengan ekspresi Jovan yang biasa saja. Seperti tidak ada niat mengejar istrinya.     

"Banyak. Dari awal memang harusnya pernikahan ini tidak terjadi. Sekarang kalau memang dia memutuskan pergi bareng Kevin. Biarkan sajalah, yang penting dia bahagia." Jovan terlanjur kecewa.     

"Jovannnnnn. Jelaskan dulu padaku apa yang terjadi? Kenapa kamu pasrah begini? kamu bukan Jovan yang menyuruhku tidak menyerah saat Jean hampir menikah dengan Bayu. Kalau kamu mencintai Ella. PERTAHANKAN," bentak Javier kesal sendiri.     

Tidak ada pria Cohza yang menyerahkan pasangannya begitu saja.     

Jovan menutup wajahnya. "Aku tidak tahu Jav. Apakah aku mencintai dirinya atau tidak. Aku tidak tahu."     

"KALAU BEGITU CARI TAHU GOBLOK."     

"Buat apa. Ella sudah memilih Kevin. Tidak ada yang bisa aku pertahanan darinya." Jovan berkata dengan lelah.     

Javier mengerti perasaan Jovan. Dia pernah mengalami dulu saat Jean terasa tak terjangkau olehnya. "Setidaknya, kamu punya bayi di kandungan Ella untuk dipertahankan." Javier mengingatkan.     

Jovan terhenyak. Seolah baru ingat kalau Ella hamil. "Kamu benar, ada anakku bersama Ella."     

Jovan mengambil ponselnya. "Alxi, cari keberadaan istriku sekarang juga."     

Jovan hendak berdiri. Bermaksud mencari Ella tapi segera ditahan oleh Javier. "Jelaskan dulu apa yang terjadi? Ella urusan Alxi. Kita tinggal menunggu info darinya saja."     

"Aku jelaskan sambil jalan," ucap Jovan menarik Javier agar membantunya mencari Ella.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.