One Night Accident

IMPOTEN 100



IMPOTEN 100

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Lo udah ketemu Ella?" tanya Alxi lewat sambungan telpon.     

Jovan yang masih berkeliling mencari Ella tentu saja semakin khawatir saat Alxi bertanya seperti itu.     

"Tadi siang aku sudah ketemu. Tapi sekarang malah dibawa si Kevin entah kemana. Aku baru mau menghubungimu untuk melacaknya lagi." Jovan menyalakan louspeker ponselnya.     

"Well, kalau begitu sepertinya kalian dalam masalah."     

"Maksudnya apa?"     

"Ada yang janggal mengenai pacar istrimu."     

"Apa dia musuh keluarga kita?" tanya Jovan semakin khawatir.     

"Entahlah, yang jelas dia pernah kuliah di universitas Cavendish dan lebih mencurigakan lagi. Dia mengenal Zahra."     

Jovan langsung mengerem mobilnya mendadak. "Apa maksudmu dia mengenal Zahra?"     

"Gue masih mencari tahu. Yang penting kita harus menemukan bini Lo dulu. Gue khawatir dia dalam bahaya jika apa yang gue curigai memang benar."     

Jovan kali ini benar-benar panik. Apakah benar istrinya dalam bahaya.     

Sial, mana lagi hamil lagi.     

"Alxi, langsung hubungi aku begitu kamu menemukanya."     

"Oke. Ini juga lagi usaha njir. Tenang saja Anggota keluarga tetap menjadi prioritas."     

"Thanks." Jovan mematikan ponselnya dan kembali mencari Ella disetiap hotel yang dia temui.     

Tidak lupa dia selalu berdoa. Semoga istrinya Ella baik-baik saja. Bahkan Jovan sampai mengucapkan nazar kalau Ella ketemu dalam keadaan sehat walafiat Jovan akan berlari mengelilingi Monas sepuluh kali.     

***     

Ella masih terbaring diam. Hanya sanggup menatap ke arah langit-langit kamar yang ada di atasnya.     

Tubuhnya terlalu sakit untuk digerakkan. Air matanya sudah mengering. Bahkan suaranya seperti habis dan serak jika memaksa berbicara.     

Ella seperti mati rasa.     

Kevin.     

Pria yang dia kira mencintainya sepenuh hati sekarang malah menghancurkan dirinya.     

Pria yang dia kira tulus menerima apa adanya ternyata malah menenggelamkan dirinya ke lembah dosa.     

Ella tidak sanggup menghadapi ini.     

Dia tidak sanggup hidup lagi.     

Tubuhnya kotor, tubuhnya telah ternoda.     

Sekarang semua orang pasti akan memandangnya hina.     

Ella sudah tidak punya harga diri lagi.     

Ella hanya bisa menjerit dan menangis saat Kevin dengan kejam memaksanya melakukan hubungan badan. Ella tidak berdaya. Ella tidak punya kekuatan menolak Kevin yang sangat kasar. Bahkan Ella bisa merasakan pipinya panas dan pasti membiru bekas tamparan. Mungkin seluruh tubuhnya juga mengalami lebam. Entahlah, Ella tidak bisa merasakan tubuhnya lagi.     

"Kenapa?" tanya Ella lirih sambil meringkuk gemetar dengan tubuh masih telanjang bulat. Bagaimana tidak, Kevin tidak menyediakan selimut atau apapun yang bisa menutupi tubuhnya.     

Kevin menghisap rokoknya sambil menatap tubuh Ella yang indah dan memuaskan. "Anggap saja kamu berada di posisi yang salah."     

"Tapi ... kenapa aku?" Ella hanya ingin tahu. Apa kesalahan yang telah dia lakukan hingga harus berada di dalam posisi ini. Kenapa kebahagiaan selalu menjauhinya.     

"Karena kamu istri Jovan. Semua yang dekat dengan Jovan harus dilenyapkan." Kevin mendekati Ella dengan wajah dingin.     

"Kamu cantik, sexy. Aku sebenarnya tidak keberatan membina rumah tangga bersamamu. Bahkan jujur saja aku memang tertarik padamu. Andai kamu meninggalkan Jovan secara suka rela, pasti kamu tidak perlu melihat sisiku yang seperti ini. Kamu hanya perlu tahu Kevin itu baik dan mencintaimu dengan tulus apa adanya." Kevin mengelus lengan Ella lalu terkekeh pelan.     

"Sayang sekali. Tubuh seindah ini harus di musnahkan."     

Ella semakin gemetar, menoleh ke arah Kevin. "Apa maksudmu? kamu akan membunuhku?" tanya Ella tidak percaya. Tapi jika dia mati itu lebih baik bukan? toh tidak ada lagi yang bisa dia pertahankan.     

Seluruh harga dirinya sudah jatuh ke jurang kenistaan. Tidak ada gunanya dia hidup. Dia sudah tidak berharga.     

Ella kembali menangis dan menangis. Sepertinya ini memang akhir kisah hidupnya. Tidak ada cinta, tidak ada kehormatan. Semua terenggut darinya.     

"Ah, tidak perlu menangis. Aku jadi muak. Andai kamu tidak terpesona pada Jovan. Kamu tidak akan bernasib seperti Zahra. Sayangnya kamu hanya wanita yang sama seperti kekasih Jovan lainnya. Mencintai Jovan tidak perduli bahwa Jovan menyakiti kalian berkali-kali. Dasar Bodoh."     

Ella memeluk tubuhnya semakin erat. Matanya terbuka lebar. "Zahra? apa maksudmu aku akan bernasib sama dengan Zahra?"     

Apakah Kevin mengenal Zahra?     

Kevin terlihat berpikir sejenak. "Sebenarnya aku malas bercerita. Tapi, karena kamu sebentar lagi mati. Tidak apa-apalah. Anggap saja dongeng pengantar kematian," ucap Kevin tersenyum tapi sekejap kemudian mimik wajahnya berubah seperti orang marah.     

"Semua ini berawal dari suami tercintamu Jovan. Sebagai seorang yang punya kekuasaan kan karisma dia terlalu memanfaatkan keadaan untuk kesenangan dirinya sendiri. Awalnya aku tidak perduli. Tapi, perlahan tapi pasti orang-orang terdekatku mulai mengenalnya dan jatuh cinta. Yang pertama kakakku, Dia cantik dan Jovan langsung mau kencan dengan kakak ku yang bodoh itu. Setelah puas kakakku ditinggalkan begitu saja. Bahkan aku masih ingat dia memohon-mohon tapi hasilnya percuma. Aku hanya bisa marah tanpa bisa menyentuhnya, waktu itu aku belum menjadi siapa-siapa." Kevin mengambil minuman dan meneguknya sedikit seolah menikmati.     

"Yang kedua adalah sepupuku. Kakak beradik yang sama-sama bodoh seperti kakaku. Mereka bahkan menjadi korban Jovan sekaligus. Hebat kan suamimu. Kakak beradik dia sikat dalam satu waktu. Seperti dugaanku. Mereka berakhir sama mengenakannya dengan kakakku. Patah hati dan ter-buang. Tapi, aku masih tidak berdaya. Hanya bisa mengutuk Jovan sembari melihat ketiga wanita terdekatku mulai menjadi jalang dan murahan karen frustasi tidak diinginkan oleh Jovan lagi." Kevin tersenyum miris.     

Kevin mendekat ke arah Ella, mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto kepada Ella.     

"Lihat, dia cantik bukan. Namanya mentari. Dia adalah tunangan-ku. Aku sangat mencintainya dan akan menikah sebulan kemudian." Kevin memandang foto itu dengan wajah sedih.     

"Harusnya aku tidak pernah membawanya ke universitas Cavendish. Seharusnya aku segera menjauhkan dirinya saat melihat Jovan. Tapi aku lengah, seminggu sebelum pernikahan dia mengaku jatuh cinta pada suamimu yang brengsek itu. Wanita jalang ini meninggalkan diriku demi Jovan. BANGSATTTT."     

Ella menutup matanya saat Kevin membanting ponselnya hingga hancur.     

"Lalu begitu Jovan membuangnya. Jalang sialan ini ingin kembali padaku." Kevin tertawa hambar.     

"Tentu saja aku tidak sudi. Hatiku sudah mati saat dia berhianat. Seluruh keluargaku hancur gara-gara suami laknatmu itu."     

"Kakakku, sepupuku, tunanganku. Bahkan saat aku menikah dengan orang Inggris dan sengaja memperkenalkan Jovan padanya karena percaya dia mencintaiku dan tidak akan terpikat pada jovan. Tapi ternyata aku salah. ISTRIKU MEMINTA CERAI JUGA KARENA JOVAN. BRENGSEKKKK." Dada Kevin naik turun karena marah.     

Ella menutup mulutnya agar tidak menjerit. Kevin mengamuk dengan membanting beberapa barang disana.     

Kevin melihat Ella. "Jovan membuatku banyak kehilangan. Jadi, aku buat dia merasakan bagaimana kehilangan."     

"Aku bekerja keras agar bisa mengumpulkan banyak informasi tentang Jovan. Untungnya, ada salah satu musuh keluarga Cavendish yang membantuku." Kevin kembali duduk dan menyalakan rokok baru untuk dihisap.     

"Target pertama adalah Zahra. Istri pertama Jovan. Wanita biasa yang tidak pernah aku sangka akan mendampingi Jovan. Bahkan aku melihat Jovan tergila-gila padanya hingga rela membatalkan perjodohan denganmu."     

"Aku berusaha merayunya sayang ... perempuan itu sangat sok suci dan sok alim. Jadi ... dari pada repot dan capek. Begitu ada kesempatan aku bunuh saja dia. Terlihat sempurna karena semua orang menyangka itu kecelakaan." Kevin tertawa terbahak-bahak.     

"Aku senang sekali saat melihat Jovan terpuruk. Aku merasa sangat puas saat Jovan tahu bagaimana rasanya ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya."     

Kevin masih bisa membayangkan kesenangannya waktu itu.     

Kevin mendesah. Kembali melihat Ella. "Lalu aku mendengar kabar bahwa Jovan akan menggantikan Javier menikahimu."     

"Aku tidak akan pernah rela Jovan menikah lagi. Apalagi sampai bahagia. Jovan harus sama seperti aku. Hidup kesepian tanpa wanita dan cinta. Aku mau Jovan hidup dalam kesendirian. Makanya aku mendekatimu."     

Perasaan Ella campur aduk. Merasa semakin tidak berharga. Ternyata bukan hanya Jovan bahkan Kevin mencintainya juga hanya kamuflase. Tidak ada yang mencintai dirinya dengan tulus. Ella semakin pasrah dengan kematian. Tidak akan ada yang merasa kehilangan dirinya kalau dia mati.     

"Aku tidak perlu bercerita bagaimana aku merayumu kan? apa aku sudah sehebat Jovan sampai kamu terperdaya?" Kevin tersenyum mengejek.     

Pandangan Ella sudah kosong. "Bunuh saja aku," ucapnya putus asa.     

"Tidak semudah itu. Aku akan membuat Jovan menyesal dan terpuruk untuk seumur hidupnya. Karena apa?" Kevin menarik tubuh Ella yang sudah lemas agar berdiri. Dengan kasar dia memeluk Ella dari belakang dan berbisik di telinganya.     

"Karena bukan aku. Tapi, Jovan yang akan membunuhmu."     

Ella merinding mendengar perkataan Kevin. "Tidak, jangan lakukan itu. Bunuh saja aku, jangan libatkan Jovan."     

Brakkk.     

"Bangsat. Kenapa disaat seperti ini kamu masih mau melindunginya?"     

Kevin mendorong tubuh Ella hingga menabrak dinding. Ella bisa merasakan darah merembes diantara pahanya.     

Ella berusaha meronta dengan sisa tenaganya. Tapi, Kevin tidak bergeming sama sekali dan malah menyeret paksa tubuh Ella agar duduk di sebuah kursi. Mengikatnya erat tanpa repot-repot menutupi tubuh telanjangnya.     

Ella tidak tahu apa yang dilakukan Kevin selanjutnya. Dia terlihat sibuk menghubungkan berbagai tali dengan sebuah senjata api.     

Tubuh Ella sakit terutama bagian perutnya. Pandangannya mulai tidak fokus.     

"Perfect," ucap Kevin lalu menghampiri Ella.     

"Tinggal menunggu suami brengsekmu datang dan kita akan bisa memulai drama kematianmu." Kevin terlihat tidak sabar.     

"Lihat, ada tiga tombol tersedia. Saat Jovan nanti datang aku akan memaksanya memencet salah satunya. Dimana ketiga tombol itu terhubung dengan pistol di dekat jendela." Kevin menunjukka pistol yang mengarah kepada Ella.     

"Jika Jovan memencet tombol yang benar, kamu akan selamat. Kalau dia memencet tombol yang salah, kamu akan mati." Kevin mundur satu langkah dan mengamati tubuh Ella dari bawah hingga keatas.     

"Kamu mau tahu satu rahasia?" tanya Kevin tersenyum licik.     

Ella berusaha tidak peduli. Karena hanya rasa sakit yang dia rasakan saat ini. Ella ingin semua segera berakhir. Matipun dia sudah pasrah.     

"Tombol itu hanya tipuan. Karena, mau tombol manapun yang akan Jovan pencet nanti. Hasilnya akan tetap sama. Pistol itu akan tetap meledak dan kamu akan mati di tangan suamimu sendiri bwahaaahahaaa." Kevin tertawa dengan sangat puas. Tidak sabar melihat wajah Jovan yang terpuruk untuk kedua kalinya.     

"Iblis," bisik Ella lirih.     

"Aku tidak akan menjadi iblis kalau bukan karena suamimu." Kevin berbalik dan memakai pakaiannya.     

"Bersikap baiklah, sepertinya suamimu sebentar lagi datang." Bersamaan dengan itu Kevin menutup mulut Ella dengan lakban.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.