One Night Accident

HEAD OVER HEELS 13



HEAD OVER HEELS 13

0Enjoy Reading.     
0

***     

Tengah malam, dan ada suara orang mengetuk pintu rumah mereka? Javier dan Jovan yang kebetulan belum tidur segera membukanya.     

"Bu Asih?" Javier terkejut melihatnya.     

"Ada apa?" tanya Jovan.     

"Olive baik-baik saja kan?" Javier langsung khawatir.     

Bu Asih terlihat panik. "Olive baik-baik saja. Tapi ... Pian."     

"Pian kenapa?" tanya Jovan.     

"Dia ada di kantor polisi. Katanya ketangkep pas ikut balap liar atau apalah itu. Ibu enggak terlalu paham. Tolong ibu bebasin Pian nak. Pian itu anak baik gak pernah neko-neko. Kenapa sekarang malah ikutan teman-teman yang enggak bener sih." Ibu Asih benar-benar panik dan menangis karena khawatir.     

"Baiklah ... ibu tenang dulu ya. Ibu tahu Pian di mana sekarang?" Javier mengajak ibu Asih agar duduk.     

"Benar, tunjukan saja di mana alamat kantor polisinya biar kita  yang  mengurus Pian." Jovan mengambil air putih agar ibu Asih lebih tenang.     

"Ibu dan Olive tidak usah khawatir. Kita akan lakukan yang terbaik untuk Pian. Kami janji." Javier kembali menenangkan.     

"Tapi ... Olive sudah berangkat terlebih dahulu ke kantor polisi."     

"Apa? Sama siapa? tengah malam pergi sendirian?"  Javier panik sekarang.     

"Ibu di rumah saja, kita akan bawa Pian dan Olive pulang dengan selamat. Kami pastikan itu." Janji Javier.     

"Terima kasih ya nak."     

Javier mengangguk dan segera mengambil kunci mobilnya. Jovan seperti biasa bagian nebeng. Mereka segera menuju kantor polisi yang sudah di sebutkan alamatnya oleh Bu Asih.     

Tiga puluh menit kemudian keduanya sudah sampai di kantor polisi yang dimaksud.     

"Mau bertemu siapa pak?" tanya seorang polisi.     

"Kami mau mencari Pian. Salah satu anak yang ditangkap saat ikut Balap liar. Apa benar dia di kantor polisi yang ini?"     

"Oh ... bocah-bocah itu."     

"Nama bapak siapa?"     

"Saya Javier dan ini Jovan."     

"Wali dari?"     

"Pian."     

"Hubungan dengan Pian?"     

"Kakaknya."     

Setelah melewati beberapa prosedur.     

"Baik, tolong tanda tangan dulu."     

Javier dan Jovan  menandatangi buku itu.     

"Sebentar ..     

Jamal ini tolong antar ke tempat anak-anak yang ditangkap tadi." Teriak polisi itu. Lalu muncul polisi lainnya.     

"Walinya ya pak?" tanya polisi itu basa-basi.     

"Iya pak."     

"Lain kali adeknya jangan di kasih motor aja pak dari pada balapan liar begitu. Kalau sampai celaka bapak juga yang rugi."     

"Iya pak." Jovan yang menjawab kali ini.     

Mereka di bawa ke ruang tahanan di mana ternyata ada puluhan pemuda dan pemudi yang katanya tertangkap karena ikut balap liar. Masalahnya adalah, tidak ada Pian diantara mereka.     

"Adik saya enggak ada pak, ini benar sudah semua," tanya Javier.     

"Ada beberapa yang sudah di jemput keluarganya."     

"Kami cari dia." Jovan menunjukkan foto Pian.     

"Oh ... adek ini udah keluar lima menit yang lalu."     

"Siapa yang keluarkan?" tanya Javier penasaran.     

"Pak. Bayu sama tunangannya."     

"Olive?"     

"Bayu?"     

"Nah iya sama Bu. Olive." Polisi itu membenarkan.     

"Baik. Terima kasih pak." Javier dan Jovan segera keluar dari kantor polisi.     

Jovan mengambil ponselnya.     

"Hallo Jean? Pian udah kamu keluarkan dari penjara?" tanya Jovan langsung.     

"Kalian tahu dari mana Pian di penjara."     

"Gak penting. Sekarang kalian di mana?"     

"Ini udah di jalan. Mau pulang."     

"Oke."     

Jovan menutup panggilan telponnya.     

"Mereka udah otewe ke rumah," ucap Jovan pada Javier.     

Javier hanya mengangguk dan ikut melajukan mobilnya ke rumah Olive.     

Sesampainya di sana mereka disambut dengan wajah ibu Asih yang terlihat sedih. Olive yang sepertinya masih memarahi Pian dan Bayu yang menenangkan Olive.     

"Sumpah kak, Pian enggak ikut balapan. Teman Pian  ngajakin Pian ke sana. Ternyata tempat balapan liar. Belum juga lima menit Pian di sana udah di grebek."     

"Itu bukan alasan ya. Kalau sudah tahu itu tempat enggak bener kenapa bukan pulang malah nonton." Olive masih marah dan khawatir.     

Tadi dia langsung terasa lemas waktu mendengar adiknya ditangkap. Bayangannya sudah yang tidak-tidak. Takut adiknya pakai narkoba dan segala macamnya.     

Untung ada Bayu yang segera datang membebaskan adiknya itu. Karena kebetulan paman Bayu adalah polisi yang bekerja di sana.     

"Sudahlah Liv, yang penting Pian baik-baik saja." Bayu berusaha menenangkan.     

"Tapi Bayu ... Pian memang harus dihukum. Udah tahu itu motor dikasih Javier biar Pian enggak perlu ngangkot ke sekolah malah buat macem-macem. Mana sekarang motornya masih ditilang lagi." Olive kesal kalau adiknya nakal malah dibela.     

"Benar kata Bayu. Yang penting Pian baik-baik saja. Itu sudah cukup." Javier mendekat ke arah Olive dan Bayu.     

"Javier?" Karena emosi bahkan Olive sampai tidak ngeh kalau Javier dan Jovan ada di dekatnya.     

"Kak ... maafkan Pian ya. Pian enggak berniat ikut balapan sumpah. Pian cuma diajak temen kak." Pian menatap Javier melas.     

"Sudah enggak apa-apa. Sebaiknya kamu istirahat gih. Besok harus sekolah kan?" Javier mengendikkan bahu ke arah kamar Pian.     

"Javier ...." Olive tidak habis pikir kenapa Javier tidak memarahi Pian.     

"Pian, ayo aku anter ke kamar. Bu Asih bisa minta tolong bawakan Pian makan malam?" tanya Jovan. Bu Asih hanya mengangguk dan langsung ke dapur. Sedang Jovan menarik Pian menuju kamarnya.     

"Kalian kenapa malah pada belain Pian sih?" Olive jadi semakin kesal.     

"Bukan membela Olive. Tapi kamu tidak lihat wajah Pian yang kusut? Dia habis tertangkap polisi. Lelah dan pasti ketakutan tadi. Biarkan Pian istirahat dan menenangkan diri dulu. Besok kalau Pian sudah segar baru kita tentukan hukuman untuknya. Jangan sekarang, nanti Pian kalau jadi trauma bagaimana? Bagaimanapun Pian itu masih di bawah umur." Javier menjelaskan.     

Olive terdiam dan duduk dengan lemas. "Aku tu khawatir tahu enggak sih. Pian itu ...." Olive tidak bisa menyelesaikan perkataannya dan menangis di pelukan Bayu.     

"Aku mengerti perasaanmu. Sudah jangan takut, jangan sedih. Ada aku yang akan selau melindungimu." Bayu mengelus rambut Olive dengan sayang.     

Javier memalingkan wajahnya. Seperti ada yang menyumbat tenggorokannya hingga dadanya terasa sesak.     

"Aku keluar sebentar." Javier tidak tahan dan memilih keluar dari rumah Olive.     

"Javier tunggu." Bayu mencegahnya.     

"Olive kamu ke kamar saja ya istirahat. Aku mau bicara sebentar sama Javier." Olive mengusap air matanya.     

"Bicara apa?" Olive penasaran.     

"Nanti aku beritahu. Sekarang istirahatlah." Bayu mencium kening Olive sebentar lalu berjalan menghampiri Javier.     

"Aku ingin bicara hanya berdua denganmu," ucap Bayu.     

Javier mengangguk. "Kita ke rumahku saja."     

Lalu keduanya menuju rumah Javier.     

"Ada apa?" tanya Javier kaku. Mereka kini sudah duduk di ruang tamunya.     

"Kamu tahu sendirilah aku dan Olive sudah lama pacaran."     

Javier merasa apa yang akan dikatakan Bayu bukan hal yang baik baginya.     

"Sebelumnya aku sudah pernah melamar Olive pada ibu Asih. Tapi ... aku rasa karena Olive sekarang punya kakak lelaki. Aku bermaksud meminta restumu dan melamar Olive kembali."     

"Meminta restu?" Javier tahu saat ini akan tiba. Tapi tetap saja kenapa terasa menyakitkan. Dia ingin Jeannya bahagia tapi kenapa harus hatinya yang menjadi korbannya.     

"Iya, aku bermaksud menikahi Olive. Sesegera mungkin. Kalau perlu bulan ini juga." Bayu memberitahu.     

"Buan ini?" Ini terlalu cepat. Javier tidak yakin sanggup melihatnya.     

"Kenapa? Bukankah sebelumnya kamu dan keluargamu ingin Olive mengumpulkan uang sebagai syarat menikah denganmu? kenapa sekarang ingin segera menikahinya. Bagaimana kalau Olive tidak memiliki uang yang kalian inginkan?" Javier berharap ada penundaan.     

"Aku akui selama ini aku bodoh karena membuat Olive menunggu semakin lama. Aku baru sadar bahwa uang bisa kami cari bersama-sama. Apalagi semakin lama aku tahu kalau hidup Olive sangatlah berat. Apalagi setelah kejadian ini mataku semakin terbuka lebar. Aku mencintai Olive dan tidak sanggup melihat dia kesusahan terus menerus." Bayu menghela napas.     

"Aku tidak bisa tanpa Olive. Jadi kalau sampai Olive menderita aku juga akan merasa menderita. Makanan aku ingin segera menikahinya agar kita bisa saling berbagi suka maupun duka bersama. Bukan Olive yang menanggung semuanya sendirian." Bayu menatap Javier serius.     

Javier tidak mau mendengar itu. Karena setiap ucapan Bayu adalah gambaran perasaanya pada Olive.     

Javier mencintai Olive sepenuh hati.     

Bahagiamu adalah bahagiaku.     

Rasa sedihmu adalah deritaku.     

Tawamu adalah surgaku.     

Walau bahagiamu tercipta dari lukaku.     

Bahagiamu akan tetap menjadi bahagiaku.     

Kalau bahagia olive adalah bahagia Javier maka ...!     

"Kalau begitu. Menikahlah dengan Olive dan bahagiakan dia," ucap Javier dengan suara retakan di hatinya. Mungkin kini benar-benar hancur berkeping-keping.     

Javier sadar mungkin ini memang sudah saatnya Javier mundur teratur.     

Bukan karena Javier sudah tidak mencintai Olive. Bukan karena Javier sudah tidak menyayangi Olive. Bukan juga karena tidak peduli pada Olive.     

Akan tetapi ... Javier tahu.     

Ada Bayu yang lebih dicintai oleh Olive.     

Ada Bayu yang lebih disayangi oleh Olive.     

Ada Bayu yang akan selalu menjadi yang utama bagi Olive.     

Javier hanylah kakak dan saudara bagi Olive. Tidak mungkin bisa lebih.     

Bahagiamu adalah bahagiaku.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.