One Night Accident

HEAD OVER HEELS 18



HEAD OVER HEELS 18

0Enjoy Reading.     
0

***     

Jovan terbangun ketika mendengar suara ponselnya berdering terus menerus. Siapa sih pagi-pagi mengganggunya tidur. Tidak pengertian banget sih. Jovan itu baru tidur beberapa jam karena habis mengorek informasi dari si Bayu bangsat itu. Sekarang malah sudah dibangunkan.     

"Hallo."     

"Jemput aku di bandara."     

Lalu panggilan terputus. Jovan mengerjap dan menatap ponselnya masih bingung. Jemput di bandara?     

Astaga.     

Jujun.     

Jovan langsung melihat jam. Ternyata sudah jam 11 siang. Sial, dia ketiduran.     

Jovan mencuci wajahnya dengan cepat. Tidak perlu mandi karena Jujun bukan orang yang sabaran. Mending kalau tidak sabar terus naik taxi menuju rumahnya yang di padang. Kalau balik ke Jakarta lagi kan ribet urusan.     

Heran deh punya adik sepupu kok enggak ada manis-manisnya sama sekali.     

Begitu keluar dari kamar hotel dan Chek-out Jovan langsung menuju parkiran.     

Jovan memang sengaja memesan beberapa kamar hotel untuk dia dan Bayu serta semua temannya.     

Buat apa?     

Biar bisa indehoy barenglah.     

Lalu merekam semuanya.     

Emang Jovan bisa indehoy sama cewek? Enggak.     

Jovan hanya masuk ke kamar hotel dan membawa pelacur bersamanya supaya Bayu juga mau masuk kamar yang sudah dia sediakan dengan kamera cctv kapasitas super. Suara oke, gambar bening dan tajam di berbagai sudut. Biar puas karena bisa lihat dari posisi mana saja.     

Buat kenang-kenangan jangan setengah-setengah.     

Sedang Jovan yang sedari awal dikira sudah mabuk langsung pura-pura tidur begitu memasuki kamar hotel. Membiarkan si cabe-cabean yang di bawanya kebingungan karena tidak bisa menservice dirinya. Akhirnya pulang dengan tangan hampa.     

Jovan memang playboy tapi sory dia enggak pernah main sama wanita bayaran yang belum ketahuan sehat atau penyakitan. Lagipula dia kan impoten. Buktinya itu jablay udah nyipok dia berkali-kali pake acara raba sana sini. Sosisnya kalem aja. Tidak ada niat bangun sama sekali.     

Kecuali jablay yang sama Bayu tentu saja. Dia khusus Jovan datangkan dari luar kota bait enggak terlacak dan sudah pasti profesional dalam hal bergoyang di atas ranjang dan mengorek informasi apa saja agar keluar dari mulut Bayu. Iyalah bayarannya saja ratusan juta.     

Jovan menyetir mobilnya dengan cepat berharap tidak macet. Jujun pasti kesal nanti kalau ketemu sama dia karena Jovan masih memakai baju yang sama dan bau alkohol. Untung Jujun enggak suka ceramah kayak papanya. Tapi tatapan dinginnya itu loh. Berasa masuk ke dalam freezer dia.     

Jovan menghubungi Junior begitu sampai di bandara.     

"Di mana?"     

"Belakangmu."     

"Astagaaaa." Jovan terlonjak kaget karena tiba-tiba Junior sudah ada di belakangnya. Masalahnya ngapain ngajak Queen segala.     

"Hay Jov." Sapa Queen tersenyum lebar sambil menggelendot manja di lengan Junior. Yang udah sah, pamer bener.     

"Kamu habis dari klub?" Junior menatapnya tajam. Tuh kan bener.     

"Entar aku ceritain. Yuk." Jovan males nih kalau Junior menatapnya begitu. Berasa bocah habis buat salah dia. Padahal Jovan lebih tua dari Junior tapi malah Junior yang sering kasih nasehat ke dia. Kebalik woy.     

Junior membuka pintu belakang untuk Queen lalu dia ikut masuk ke dalamnya.     

"Pindah depan Jun, aku bukan sopir," protes Jovan ketika Junior malah duduk di bangku belakang dengan Queen.     

Seperti biasa Jujun mengabaikan dirinya dan malah menyandarkan kepala ke belakang sambil merangkul Queen di sampingnya serta membiarkan istrinya merebahkan diri di dada. Kok Jovan berasa jadi sopir orang pacaran. Sialan.     

"Jadi ... kenapa Queen ikutan?" tanya Jovan setelah beberapa lama melajukan mobilnya.     

"Junior kan jarang liburan berdua denganku. Jadi mumpung ke Padang kita sekalian bulan madu." Queen yang malah menjawab dengan semangat. Seperti juru bicara yang habis gajian.     

"Trus, anak-anak kalian?"     

"Kan ada papa Marco dan paps Joe yang siap sedia merawat dan menjaga mereka. Rebutan malah. Jadi Justine sama paps Joe. Juliete sama papa Marco. Mereka pasti bahagia kalau sama kakek neneknya."     

Jelaslah bahagia. Marco sama Joe pasti pada saingan bikin seneng cucunya. Siapa yang paling bisa beliin ini itu sama manjain. Habis itu saling pamer.     

Heran deh udah jadi besan juga tetapi jiwa rivalnya tidak juga Hilang. Damai hanya sekedipan mata doang.     

"Ini rumah kamu?" tanya Queen saat akhirnya mereka sampai.     

"Bukan, sewa doangk. Males beli kalau ujung-ujungnya balik ke Jakarta." Jovan membuka pintu rumah mereka. Kenapa mobil Javier tidak ada? Ah ... paling sudah ke rumah sebelah. Meratapi Olive yang sebentar lagi jadi milik orang.     

Tenang saja Javier. Adek kembarmu yang paling cakep ini akan bikin tikungan super tajam. Biar Olive langsung terperosok jatuh ke dalam pelukanmu. Batin Jovan sudah membayangkan apa yang akan dia lakukan nanti malam di pesta pertunangan Olive dan Bayu.     

"Kamar kalian yang itu. Istirahat saja dulu. Aku juga mau mandi." Jovan tidak menunggu jawaban Junior dan langsung menunju kamarnya. Males karena tahu pasti. Junior dan Queen tidak akan istirahat dan sebentar lagi ada Suara desahan dari kamar mereka.     

Mending Jovan mandi dan menyiapkan diri untuk kejutan nanti malam. Batinnya sambil menutup pintu kamarnya.     

Jovan melepas bajunya dan langsung menutup hidungnya karena bau parfum pelacur murah. Mending Jovan buang sajalah. Najis nyimpen baju bekas grepe-grepe jalang.     

***     

Javier sudah duduk di sana entah berapa lama dia tidak ingat. Yang selalu terdengar di telinganya hanyalah suara Olive yang mengatakan tidak sudi melihatnya lagi. Wajah Olive yang terluka karena perbuatannya.     

Ternyata yang semalam Jean beneran. Asli, original tapi sekarang sudah enggak segel an.     

Siapa yang membuka segelnya?     

Javier.     

Jadi salah siapa itu?     

Tentu saja semua itu salah Javier sendiri.     

Javier kembali patah hati kali ini karena perbuatannya sendiri.     

Maka dari itu. Setelah meratapi nasib yang seperti tidak pernah berpihak padanya. Javier memilih mengemasi semu barangnya.     

Dia akan pergi.     

Kembali ke Jakarta dan memenuhi permintaan Olive agar tidak pernah muncul lagi di hadapannya.     

Tetapi sebelum itu Javier harus berpamitan. Setidaknya untuk yang terakhir kali. Javier ingin melihat Olive dan mengucapkan terima kasih pada ibu Asih yang menjaga Olive selama ini.     

Javier membersihkan diri dan mengganti baju agar terlihat sedikit rapi. Dia juga berusaha menghilangkan wajah sedihnya agar ibu Asih atau Pian tidak curiga bahwa dia tidak akan pernah kembali.     

Setelah di rasa wajahnya tidak terlihat kusut Javier mengambil barang yang sebenarnya sudah ingin dia berikan jauh hari tapi tidak pernah ter-realisasi.     

Javier menuju rumah Olive. Di sana sudah ramai karena nanti malam acara pertunangan Olive dan Bayu.     

"Pian ... ibu Asih di mana?"     

"Lagi di dapur sama petugas catering," ucap Pian yang membantu merapikan meja dan kursi.     

"Kalau Olive?"     

"Tadi keluar katanya mau ketemu sama kak Bayu. Enggak tahu deh kenapa. Tapi, kayaknya ada yang serius. Soalnya wajah kak Olive enggak selow sama sekali."     

Javier tersenyum kecut. Bahkan dia tidak bisa bertemu Olive untuk yang terakhir kalinya.     

"Sini ikut. Ada yang mau aku bicarakan." Javier menarik Pian menuju kamarnya.     

Pian bingung tapi memilih diam dan menurut saja.     

Javier memberikan dua buku tabungan beserta ATM kepada Pian.     

"Ini apaan kak?" tanya Pian bingung.     

"Ini satu tabungan atas nama kamu. Buat bayar sekolah dan keperluanmu sendiri. Nanti tiap bulan aku yang isi. Ingat jangan dipakai sembarang karena aku tetap bakal awasi kamu oke?"     

Pian hanya mengangguk karena masih bingung dan shok. Bagaimana tidak. Di dalam buku tabungannya berderet angka nol yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Ngimpi apa di semalam bakal punya uang sebanyak itu. Biasanya uang jajan kadang ikut ludes kalau ada iuran dadakan atau donasi untuk teman yang sakit.     

"Yang satu lagi kasih ibu kamu. Buat kebutuhan dirinya dan Olive. Di dalamnya juga sudah ada dana untuk keperluan pernikahan Olive sama Bayu. Jadi ... bilang sama ibu kamu uang yang ditabung Olive selama ini gunakan untuk keperluan yang lain saja. Mengerti."     

Pian kembali mengangguk. Semakin shok saat membuka buku tabungan yang diberikan untuk ibunya. Nol nya itu lho makin bikin jereng mata. Itu beneran duit semua apa bukan ya? Pian ingin menampar diri sendiri memastikan kalau ini nyata.     

Javier menepuk bahu Pian yang masih terbengong-bengong. "Bilang sama kak Olive. Aku minta maaf karena tidak bisa hadir di acara pertunangan ataupun pernikahannya."     

Setelah Javier mengatakan itu Pian baru tersentak seolah sadar dari lamunan. "Kak Javier enggak Dateng? Acaranya kan nanti malam kak?" Pian semakin heran.     

"Aku harus kembali ke Jakarta sekarang. Ada keaadaan darurat yang tidak bisa aku tinggalkan. Lagipula aku tidak tahu kapan bisa kembali ke sini." Javier berusaha menahan rasa sesak di dadanya.     

"Makanya aku serahkan buku tabungan ini sama kamu. Karena kalau aku kasih ke ibu Asih pasti beliau menolak."     

"Eh ... benar juga. Ini Pian kembalikan saja kak. Pian enggak mau dimarahi ibu." Pian menyodorkan buku tabungan itu.     

Javier tidak menerimanya. "Kalau kamu mengembalikan itu. Berarti kamu enggak menganggap aku sebagai kakakmu."     

"Bukan gitu kak. Tapi kan ...."     

"Pian ... aku mau walaupun aku tidak di sini. Kamu, ibu Asih dan Olive tetap hidup dengan baik. Aku akan merasa tenang meninggalkan kota ini setelah memastikan kalian semua tidak kesusahan. Aku keluargamu kan? Jadi apa yang menjadi masalah bagi kalian juga merupakan masalahku. Jadi ... jangan ragu-ragu segera menghubungi aku jika ada masalah yang tidak bisa kamu pecahkan sendiri. Paham kan?"     

Pian kembali mengangguk."Kak, kok kakak pamitannya kayak orang mau pergi terus enggak balik lagi sih? Pian jadi takut nih."     

Javier menepuk bahu Pian kembali. "Aku pasti kembali kok." Bohong Javier.     

"Tapi ... selama aku pergi kamu jaga ibu sama kak Olive ya. Jangan sampai ada yang sedih. Kamu juga belajar yang rajin dan jangan bikin ulah."     

"Iya kak. yang kemarin itu kan enggak di sengaja." Pian membela diri karena kejadian dia ditangkap polisi kemarin memang bukan karena dia sengaja mau ikutan tapi enggak sengaja nyasar di sana.     

Javier mengangguk. "Aku berangkat dulu. Jangan lupa nanti kasih ibu Asih." Javier menunjuk buku tabungan di tangan Pian.     

"Siap kak."     

Javier menepuk bahu Pian sekali lagi sebelum keluar dari kamarnya. Bertepatan dengan itu ternyata Olive baru datang dan akan masuk ke kamarnya sendiri yang tepat berada di sebelah kamar Pian.     

Javier dan Olive sama-sama terpaku.     

"Ngapain kamu di sini?" tanya Olive masih enggan melihat wajah Javier.     

Javier menunduk merasa sakit. Bahkan Olive benar-benar sudah tidak sudi melihat wajahnya lagi. "Aku cuma mau berpamitan. Aku akan pergi dan ...."     

"Kalau pergi ya pergi saja. Ngapain pamit segala. Bikin muak."     

Javier menghela napasnya dalam. Menahan rasa sakit akibat kata-kata Olive.     

"Selamat tinggal," ucap Javier lirih. Menatap wajah Olive sekali lagi sebelum berjalan dengan lemas menuju pintu keluar.     

Sesak dan rasa sakit di dadanya sudah terlalu besar hingga membuatnya tidak tahan untuk tetap berada di tempat itu walau hanya untuk sekedar berpamitan dengan ibu Asih.     

Jean sudah membenci dirinya. Dan sekarang semuanya sudah berakhir.     

Cintanya, pengorbanannya, kesetiaannya.     

Berakhir dan Finish.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.