One Night Accident

HEAD OVER HEELS 28



HEAD OVER HEELS 28

0Enjoy Reading.     
0

***     

Olive mendesah pasrah. Sepertinya dia memang tidak di takdirkan kembali ke keluarga Cavendish. Buktinya setelah berhasil menyalin nomor mom, Dad, dan pamannya Marco dari ponsel Jovan. Tidak ada satupun yang mengangkat panggilannya.     

Awalnya Olive ingin menelpon paman Marco terlebih dahulu. Tapi Mom pasti akan kecewa jika tahu Jeannya bukan menghubungi dia tapi malah paman Marco.     

Sayangnya, harapan Olive terlalu tinggi. Saat dia menghubungi Ai baru dering pertama dan panggilannya langsung di tolak. Mungkin karena Olive menelpon pagi-pagi sekali makanya di tolak. Tapi, begitu rada siang Olive berusaha menelpon nomor Mommynya lagi. Sayangnya berapa kali pun dia menghubungi nomor Mommynya tidak lagi akyif.     

Lalu Olive menelpon nomor daddy-nya. Lagi-lagi Olive tidak beruntung karena nomor itu sedang sibuk selalu. Harapan terakhir Olive adalah paman Marco. Sayang Olive kembali kecewa karena nomor pamannya juga tidak aktif.     

Sekarang Olive sadar Orang sehebat dan sesibuk mereka mana mungkin mau mengangkat telpon dari nomor tak di kenal.     

Yah ... mungkin memang sudah takdir bahwa dia adalah Olive. Bukan Jessica Cavendish ataupun Jeanne Cohza.     

"Jean, astaga. Aku cari ke mana-mana."     

Olive menoleh dan mendapati Jovan berjalan mendekatinya. "Ada apa?"     

"Kok ada apa sih? Kita harus ke Jakarta. Javier parah tahu nggak. Kabur dari rumah sakit trus katanya ngamuk-ngamuk nggak jelas."     

"Javier sakit apa?" tanya Olive khawatir juga menyalahkan dirinya sendiri. Karena bagaimanapun Javier kecewa dan sakit hati juga gara-gara ulahnya.     

"Kesambet."     

"Maksudnya?"     

"Dia abis di tempelin kuntilanak. Trus ngamuk mukulin orang." Jovan menjelaskan.     

"Apa Javier baik-baik saja. Maksudnya, apakah dia terluka parah karena berkelahi?" Olive ingin sekali melihat keadaan Javier. Tapi dia masih belum berani jika bertatap langsung dengan keluarga besarnya.     

Apa yang harus dia katakan.     

"Javier fisiknya sih oke. Tapi, otaknya yang geser. Sudah, nanti saja tanya lagi. Sekarang kita harus berangkat ke Jakarta. Keburu ketinggalan pesawat." Jovan menarik tangan Olive tapi dia melepas cekalan Jovan.     

"Aku, tidak bisa."     

"Kenapa? Jean ayolah ... Aku tahu, walau kamu melupakan kami semua tapi dalam hati kecilmu pasti ada rasa menyayangi kami. Javier sedang butuh kamu, jadi ... Pleaseee." Mohon Jovan.     

Olive ingin sangat ingin ikut. Tapi ... rasa takutnya masih terlalu besar untuk bertemu mereka semua. "Aku ... aku akan menyusul nanti."     

"Buat apa nyusul, tiket udah ada. Kita berangkat sekarang." Jovan kembali memegang lengan Olive dan lagi-lagi Olive melepasnya. Bahkan kini dia berjalan mundur menjauhi Jovan.     

"Maaf, aku belum siap bertemu Javier lagi. Aku baru saja mengalami kegagalan pernikahan. Aku masih malu karena tidak mendengarkan perkataan Javier waktu itu. Aku ...."     

"Alxi ...." Olive belum selesai bicara saat Jovan tiba-tiba berteriak.     

Alxi mendekati Olive. Sedang Olive otomatis mundur saat Alxi terlalu dekat dengannya.     

Anaknya om Pete mau apa? Olive jadi curiga.     

"Sory." Ucap Alxi sambil tersenyum.     

Olive tidak mengerti kenapa Alxi meminta maaf. Tapi ... sedetik kemudian matanya melotot saat mulut dan hidungnya di bekap dan tubuhnya di peluk Alxi erat hingga tidak bisa memberontak.     

Olive mengeliat berusaha melepaskan diri. Tapi percuma obat bius itu segera merasuk ke dalam hidungnya dan tidak lama kemudian tubuh olive melemas dengan mata tertutup.     

Alxi segera mengantongi sapu tangannya lagi. Melihat ke arah Jovan seolah mengatakan beres.     

"Angkut," perintah Jovan. Berjalan menuju mobil dengan Alxi di belakangnya yang memanggul Olive layaknya karung beras.     

Ini penculikan.     

:maple_leaf::maple_leaf::maple_leaf::maple_leaf::maple_leaf::maple_leaf::maple_leaf:     

Daniel melihat apartemen yang berantakan saat baru masuk. Dimana  ada bekas camilan dan minuman berserakan di sebelah stik game. Javier tertidur di sofa. Sepertinya kelelahan main game sampai ketiduran.     

Daniel menendang Javier hingga jatuh berdebum dari atas sofa.     

"Brengsek, siapa ...." Javier menghentikan umpatannya begitu menoleh dan melihat Daniel menatapnya tajam.     

"Dad, ada apa?" tanya Javier sambil bangun.     

"Bersihkan apartemenmu." Perintah Daniel lalu duduk di sofa tempat Javier tertidur tadi.     

"Nanti sajalah Dad. Aku panggil go clean. Javier masih ngatuk, mau tidur lagi." Javier berbalik hendak memasuki kamar.     

Dengan gerakan kilat Daniel tiba-tiba sudah menarik tubuh Javier dan membantingnya di lantai.     

Javier meringis karena mendapatkan serangan yang tiba-tiba.     

"Bangun." Daniel melihat Javier ogah-ogahan.     

"Dad, kalau ingin mengajakku berlatih. Nanti saja di save Security. Sekarang tenagaku belum fit benar. Dad lupa aku baru keluar dari rumah sakit." Javier berdiri masih malas meladeni Daniel.     

"Kamu tahu kenapa aku memberimu nama yang berbeda dengan Jovan? Kamu Cohza sedang Jovan Cavendish."     

Javier mengendikkan bahunya. "Karena Jovan yang akan menjadi putra mahkota Cavendish," tebak Javier.     

"Karena aku yakin kamu lebih kuat dari Jovan." Daniel mendekat ke arah Javier.     

"Karena aku yakin kamu akan bisa lebih baik darinya. Lebih pintar, lebih hebat dan bisa diandalkan."     

"Sepertinya aku salah. Karena kamu sekarang ini terlihat menyedihkan," ucap Danil masih menatap tajam.     

Javier sebenarnya tidak terima di katakan seperti itu. Tapi ini memang saat-saat dimana dia sama sekali tidak berminat mencari pengakuan. Dia hanya ingin mengikuti arus. "Aku tahu. Mungkin sebaiknya Dad menukar namaku dengan Jovan saja biar sesuai."     

Javier berjalan handak melewati Daniel dan menuju kamarnya. Tapi Daniel langsung menyerangnya. Mau tidak mau Javier berusaha menangkis pukulan daddy-nya jika tidak mau bonyok lagi.     

Awalnya Javier hanya menangkis dan mengelak. Tapi setelah beberapa pukulan berhasil mengenai tubuhnya.  Javier terpancing juga. Dengan kekuatan penuh dia membalas semua serangan Daniel.     

Apartemen itu sudah kacau semakin kacau dengan meja kursi dan barang-barang yang sudah bergeser, terguling atau bahkan hancur karena duel itu.     

Daniel tahu kemampuan Javier dalam berkelahi paling rendah diantara Junior, Jovan maupun Alxi. Karena memang Javier lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dan tertarik mendalami ilmu kedokteran seperti Marco dari pada jadi pengawal apalagi eksekutor.     

Daniel tidak perlu mengerahkan seluruh tenaganya. Hanya memukul bagian yang akan terasa sakit tapi tidak fatal atau lebih tepatnya memancing Javier supaya mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya yang kalut jadi tersalurkan melalui perkelahian dengan orang yang lebih sepadan.     

Javier terengah-engah dengan keringat bercucuran. Wajah dan tubuhnya sudah lebam di beberapa tempat. Tapi ... Javier juga tahu tubuhnya lebih baik kesakitan dari pada hatinya yang terus menerus merasa hampa dan merana.     

Javier mengerang saat kembali di banting Daniel hingga membuat meja kaca yang tertimpa tubuhnya pecah seketika.     

Javier belum menyerah dan bangun kembali. Tubuhnya penuh goresan tapi keinginannya mengamuk masih ada. Maka Javier maju lagi dan terus berusaha menyerang Daniel dengan sekuat tenaga.     

Hingga satu jam kemudian Javier kembali di banting ke lantai dan tidak sanggup berdiri lagi.     

Javier tidak pingsan. Tapi tubuhnya sudah remuk redam dan kelelahan.     

Dia menyerah kalah.     

Daniel melihat Javier yang memejamkan matanya. Walau begitu Daniel tahu Javier tidak tidur atau pun pingsan. Dia hanya kehabisan energi.     

Daniel membantu mengangkat Javier dan Javier  langsung meringis merasakan sakit di semua bagian tubuhnya.     

Daniel memapahnya memasuki kamar dan merebahkan Javier ke atas ranjang. Beberapa saat kemudian hanya ada suara ringisan Javier yang sedang diobati Daniel.     

"Apakah sudah merasa lebih baik?" tanya Daniel.     

Javier hanya menunduk. Tahu yang di tanyakan Daniel bukanlah luka fisiknya.     

"Namamu mungkin memang tertukar dengan Jovan. Tapi ... bukan berarti kamu harus menjadi apa yang kami inginkan atau orang lain harapkan."     

Daniel menepuk bahu Javier. "Dad lebih suka kamu jadi dirimu sendiri. Bukan jadi orang lain hanya untuk sekedar membuat kami senang."     

"Seorang anak memiliki tanggung jawab membuat orang tuanya bangga. Tapi ... tahukah kamu. Orang tua akan merasa bangga jika berhasil membahagiakan anaknya."     

"Nakal, jika kamu sedang ingin nakal. Baik, jika kamu memang ingin jadi baik. Yang penting jadilah dirimu sendiri."     

"Jangan hanya karena kecewa kamu mengamuk pada orang yang tidak tahu apa-apa. Jangan hanya karena sakit hati kamu merugikan orang yang tidak ada sangkut pautnya."     

"Javier, lihat aku."     

Javier menggeleng. "Nanti Dad menghipnotis ku."     

"Tanpa melihat pun aku bisa menghipnotis dirimu jika memang mau."     

Javier Akhirnya melihat ke arah Daniel.     

"Semua orang pernah terpuruk. Tapi seorang Cohza akan segera bangkit kembali. Tidak ada kata merajuk apalagi manja seperti yang kamu lakukan sekarang ini."     

Daniel menarik Javier ke dalam pelukannya seperti ketika dia masih kecil dahulu. "Menangis kadang diperlukan. Jadi menangis lah kalau kamu mau. Tapi setelah itu jadilah lebih kuat dari sekarang ini."     

"Aku laki-laki Dad."     

"Kadang laki-laki bisa menangis juga. Bukan karena dia cengeng. Tapi sebagai pengingat bahwa lelaki juga bisa terluka dan sedih, sekuat apapun dirinya." Seperti saat Ai koma dulu. Daniel juga menangis tapi setelah itu Daniel bangkit lagi.     

"Aku sudah lebih baik." Javier melepas pelukan Daniel tapi wajahnya masih menunduk.     

Daniel tahu Javier mungkin malu mengungkapkan kesedihannya. "Yakin?"     

Javier mengangguk lagi.     

"Istirahatlah. Dad harus membereskan apartemenmu sebelum Ai dan Marco datang." Daniel berdiri.     

"Maaf ... sudah membuat Dad repot karena ulahku." Javier benar-benar malu.     

"Tidak apa. Kesedihan memang harus di salurkan. Jangan ditahan sampai merusak diri sendiri. Tapi kalau ada penyaluran yang positif jangan ambil yang negatif. Oke."     

"Keluarkan semaunya, jangan ditahan lagi." Daniel kembali menepuk bahu Javier sebelum benar-benar keluar dari kamarnya.     

Javier menatap pintu dan tidak terasa ada yang membasahi pipinya.     

Javier menyentuhnya.     

Dia menangis.     

Javier merebahkan tubuhnya sambil melihat langit-langit kamarnya. Kali ini dia tidak menahan kesedihannya lagi. Dia membiarkan air mata jatuh bercucuran hingga membasahi bantal.     

Khusus hari ini, Javier akan menangis. Tetapi besok, Javier akan bangkit dan memulai awal yang baru.     

Javier yang lebih kuat menghadapi kenyataan.     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.