One Night Accident

HEAD OVER HEELS 29



HEAD OVER HEELS 29

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Di mana Javier?" Ai dan Marco masuk ke apartemen Javier. Seperti dugaan Daniel mereka benar-benar membawa dukun. Entah dukun, pijat, dukun online, atau dukun cabul. Dilihat dari wajahnya saja meragukan.     

"Dia sedang istirahat." Daniel menepuk sofa di sebelahnya menyuruh Ai duduk. Untung apartemen sudah kinclong bahkan Daniel sudah mengganti perabot yang rusak karena ulahnya dan Javier beberapa waktu lalu.     

The power of anak buah yang cekatan.     

"Apartemen Javier perabotnya baru ya? perasaan terakhir kemari enggak begini. Kapan dia ganti dekorasi." Seperti biasa hanya Marco yang peka.     

"Mana aku tahu, yang di Jakarta kan kamu." Ai duduk di sebelah Daniel. Otomatis tangan Daniel merangkul pinggangnya.     

"Terus kalau Javier tidur, kapan kita   ngerukyahnya?" tanya Marco.     

"Sebentar. Aku lihat keadaan Javier dulu." Daniel masuk ke kamar Javier dan melihat anaknya memang sedang tertidur lelap. Sepertinya lelah habis dia pukuli.     

"Tidurlah yang nyenyak," bisik Daniel mensugesti Javier agar tidak bangun saat Ai dan Marco melakukan apa pun ke anehan mereka.     

Daniel keluar dan membuka pintu lebar-lebar. "Sepertinya sekarang bisa. Javier tidurnya sangat nyenyak. Aku rasa tidak akan terganggu dengan apa pun yang kalian lakukan."     

"Cepat masuk, sembuhkan anakku," perintah Ai.     

Marco hanya berdecih lalu menyuruh dukun itu masuk.     

"Astaga ... kenapa Javier bonyok? katamu dia baik-baik saja?" Ai melotot ke arah Marco yang salah prediksi.     

"Masa sih?" Marco mengamati Javier.     

"Tapi CCTV restoran menunjukkan Javier yang menghajar para Security itu. Bukan dia yang di hajar. Pasti Javier berkelahi lagi di suatu tempat setelah mobilku di tilang. Aku akan menyelidikinya lagi setelah ini."     

"Harus dan hukumnya wajib. Enak saja orang itu bisa bebas setelah memukul javier. Siapa pun yang memukul anakku harus diberi pelajaran." Ai enggak terima anaknya dihajar orang lain. Dia gampar aja enggak pernah. Ai mengelus pipi Javier yang membiru dengan sayang.     

"Kalian mau mengobati Javier atau berdebat Javier berkelahi dengan siapa?" Daniel segera menyela sebelum pembicaraan mereka terlalu jauh dan menjadi semakin absurd. Marco itu gampang peka. Bisa-bisa ketahuan dia yang habis Mukuli anaknya. Ai pasti ngamuk dan berakhirlah jatah malamnya.     

"Benar juga. Kita obati Javier dulu. Setelah itu kita cari tersangka yang membuatnya seperti ini."     

Marco menoleh ke arah pria tua yang dia bawa. "Mbah, silahkan ini ponakan saya di obati. Kemarin habis kerasukan Kunti trus jadi aneh orangnya."     

Pria itu hanya mengangguk-angguk lalu mengeluarkan beberapa barang dari dalam tas miliknya. Kembang, menyan, garam, lilin dan entah apa lagi.     

Daniel, Marco dan Ai menyingkir. Membiarkan dukun itu beraksi.     

"Bang, itu dukun mau ngobatin Javier apa mau ngepet sih. Segala lilin di bawa," bisik Marco setelah melihat barang bawaan dukun itu.     

"Kenapa tanya padaku, kan kamu yang bawa dukunnya." Daniel menjawab dengan berbisik pula.     

Sebenarnya Daniel ingin tertawa. Tapi nanti Marco dan Ai tersinggung kalau dia meremehkan hasil kerja mereka. Marco kan suka lebay kalau dianggap tidak berguna.     

Marco mendengus lalu fokus pada si dukun yang sudah memulai ritual penyembuhannya. Karena terlihat dukun itu sekarang mengelilingi Javier dan menghampiri setiap sudut ruangan sambil sesekali melemparinya dengan garam dan percikan air lalu mulutnya berkomat-kamit membaca mantra.     

Setengah jam kemudian dukun itu selesai. Dan memberikan Marco air di dalam gelas. "Ini sudah aku mantrai, suruh dia meminumnya. Harus dihabiskan," perintah dukun itu seperti dokter memberi resep obat untuk pasiennya.     

"Baik Mbah, saya pastikan dia akan menghabiskannya." Ai yang menerima air itu. Marco bertugas mengantar Si dukun pulang.     

"Apa Javier aku bangunkan saja ya buat minum ini air."     

"Tidak usah. Taruh saja gelasnya di sana. Nanti kalau bangun pasti dia akan mencari minum." Daniel menunjuk meja di sebelah ranjang Javier.     

Ai menaruhnya masih sambil melihat wajah Javier yang lebam-lebam. "Mom sayang kamu, cepat sembuh ya sayang." Ai mencium dahi Javier lalu duduk di kursi dekat ranjang.     

"Malam ini aku tidur di sini saja ya, jaga Javier." Ai meminta izin.     

"Boleh. Nanti aku temani."     

"Ngapain kamu ikut. Nanti tidur di mana kamu?"     

"Tentu saja di sebelahmu."     

"Ish, aku mau tidur dengan Javier biar kalau dia kabur ketahuan. Lagian  kalau kamu ikut sempit ranjangnya enggak muat Daniel. Kamu tidur di apartemen sebelah yang punya Jovan, sana." Ai menunjuk dinding sebelahnya.     

"Kalau begitu, kamu ikut saja ke apartemen sebelah."     

Ai memutar bola matanya jengah. "Aku mau jaga Javier. Nanti kalau aku ke sebelah. Dia bangun trus kabur lagi, bagaimana?"     

"Kalau begitu. Aku ikut menjaganya di sini. Kalau Javier ngamuk, nanti siapa yang menjagamu? benar kan?"     

Eh ... iya juga ya. batin Ai.     

"Terus, kamu tidur di mana?" tanya Ai. Enggak mungkin Daniel tidur di lantai.     

Daniel tersenyum seolah memiliki ide. Lalu dia keluar dari kamar Javier entah kemana Ai tidak tahu. Ai hanya fokus melihat keadaan Javier saja.     

"Tweety, tempat tidur kita sudah siap."     

Ai menoleh ketika mendengar suara Daniel dari pintu kamar. "Ha?"     

Daniel masuk lalu menarik Ai keluar dari kamar Javier. Di runag tamu Javier kini sudah berubah. Sofa di pinggirkan dan malah ada ranjang di tengah-tengahnya.     

"Kasur sebelah milik Jovan  aku angkut ke sini. Kamu dan aku bisa tidur nyaman dan jika Javier bangun akan tetap kita ketahui. Jadi ... ayo tidur, kamu pasti lelah." Daniel merebahkan diri ke atas ranjang sambil menepuk-nepuk sebelahnya.     

Ai mendesah pasrah. Tahu pasti walau dia sudah lelah. Daniel akan membuatnya lebih lelah lagi.     

Tidur hanya kata kiasan.     

***     

Javier baru selesai mandi dan berniat keluar mencari sarapan. Tapi, baru juga membuka pintu kamar dia sudah di suguhi pemandangan mesum raja dan ratu Cavendish.     

Untung mereka pakai selimut. Karena Javier yakin di balik selimut itu mereka sama-sama telanjang bulat.     

Suami istri, udah sah. Tapi, nggak usah bikin yang jomblo iri juga kali.     

Javier mendesah pasrah. Kelakuan kedua orang tuanya memang absurd dan seenaknya sendiri. Pantas Jovan dan Mahesa juga begitu. Turunan mereka tanpa keraguan sama sekali.     

Javier mencari ponselnya. Begitu ketemu dia memilih order makanan. Tentu saja untuk kedua orangtuanya sekalian. Karena Javier tahu mereka pasti kelaparan habis ngeronda.     

Setelah memesan makanan. Javier mencari PS yang kemarin dia beli. Ternyata tidak ada. Akhirnya Javier memilih main pubg di laptop sambil menunggu makanan datang. Toh dia tidak mungkin berangkat kerja ketika badannya sendiri masih bonyok-bonyok.  yang ada dia bukan jadi dokter tapi di suruh masuk ruang rawat jadi pasien lagi.     

"Kamu sudah bangun?" Ai mengerjapkan matanya ketika mendengar suara permainan. Daniel sebenarnya sudah bangun sejak mendengar Javier membuka pintu kamar. Dia sengaja pura-pura tidur karena ingin tahu apa yang akan di lakukan anaknya. Selain itu memeluk Ai lebih menyenangkan dari pada menyapa Javier.     

Javier mengangguk. "Aku sudah memesan maaknan. Sebentar lagi pasti datang."     

Ai berkedip lalu tersenyum lebar. "Daniel, Javier sudah ngomong lagi sama aku. Dukunnya manjur," bisik Ai pada suaminya.     

Walau nada bicara Javier belum lembut seperti biasanya. Setidaknya sudah mau menjawab omongannya itu sudah membuat Ai senang luar biasa. Javier tidak kesurupan lagi.     

"Aku harus bilang sama Marco untuk memberi bonus pada dukun itu. Mantra ya manjur."     

Daniel hanya tersenyum dan mengangguk. Terserah Ai sajalah. Asal kau bahagia, dukun kau buat jadi YouTubers juga enggak apa-apa.     

Daniel turun dari ranjang tanpa mempedulikan ketelanjangannya. Toh Javier juga pria. Lalu dia menggendong Ai yang masih berada dalam selimut dan membawanya masuk ke kamar Javier untuk mandi bersama.     

Javier mendesah.     

Meninggikan volume permainannya sebelum mendengar suara dari kamar mandi miliknya.     

Nasib jomblo. Hanya bisa ngelus dada.     

Mending kalau dada perawan atau janda, setidaknya masih ada gronjalannya. Ini ngelus dada sendiri. Apa enaknya coba.     

***     

Olive bangun dan menoleh ke asal suara tatkala mendengar ada orang yang memanggil namanya.     

Ternyata orang itu adalah Jovan. Yang sekarang bersandar di pintu pintu masuk.     

"Aku di mana?" tanya Olive bingung. Karena berada di ruangan yang sangat asing. Lebih tepatnya kamar mewah.     

"Di rumahku."     

"Oh ... kenapa aku tidur di sini. Eh ... Alxi membiusku." Olive menatap Jovan kesal.     

"Kalau hanya menyuruhku pulang ngapain pakai bius segala. Atau ...." Olive memeriksa badannya. Syukurlah dia masih berpakaian lengkap.     

"Maksud kamu apa periksa badan? Takut aku apa-apain? Ish ... aku masih ingat kamu saudaraku kali. Lagian aku enggak segila itu sampai memperkosa adik sendiri." Lagian dia kan impoten mana bisa di ajak ikeh-ikeh kue tabi.     

Olive mendelik ke arah Jovan. Oke, Jovan boleh bilang begitu. Tapi sayangnya kembaran jovan alias si Javier memang gila. Karena, pada kenyataannya dia sudah memperkosa dirinya.     

Walau rasanya enak, tetap saja dilakukan dengan cara pemaksaan jadi namanya tetaplah pemerkosaan.     

Olive sampai sekarang juga masih tidak ridho karena kehilangan keperawanan diluar nikah.     

"Ya sudah, aku mau pulang." Olive turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu dimana Jovan berada.     

"Pulang ke mana?" tanya Jovan.     

"Ya, pulang ke rumahkulah. Ke sebelah." Olive menunjuk tangannya ke arah kanan.     

Jovan meringis. Apa Jean berpikir dia ada di rumah Javier yang di Padang? yang sebelahan sama rumahnya? Oh ... ini harus di luruskan.     

"Jean cantik, kamu enggak bisa pulang Zeyang."     

"Enggak usah main-main Jovan. Aku mau pulang dan mandi. Badanku berasa lengket ini." Olive berusaha menyingkirkan tubuh Jovan agar dia bisa lewat. Tapi ... saat dia keluar dari kamar, Olive melihat rumah itu dengan wajah semakin bingung.     

Rumah ini bukan rumah Javier yang sebelahan dengan rumahnya. Karena rumah ini dua kali lipat. Salah, tiga kali lipat lebih besar dari RSS miliknya.     

"Ini rumah siapa?" tanya Olive mulai khawatir.     

Jovan bersedekap. "Sudah aku bilang. Ini rumahku. DI JAKARTA."     

"APAAAAA!!!"     

Olive tidak percaya bahwa Jovan akan  benar-benar membawanya ke Jakarta.     

Olive berasa sesak napas.     

Dia harus bagaimana?     

***     

TBC.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.