One Night Accident

HEAD OVER HELLS 35



HEAD OVER HELLS 35

0Enjoy reading.     
0

***     

Jean masih berada di kamar mandi ketika Javier memutuskan keluar kamar terlebih dahulu. Javier tahu pasti akan ada yang curiga dengan keberadaannya atau Jean.     

Benar saja. Ketika Javier baru melangkah sudah ada berpasang-pasangan mata menatapnya dengan tajam.     

Javier hanya tersenyum simpul lalu mendekat ke arah meja makan.     

"Selamat siang Mom, Dad, Paman, Tante." Javier duduk dan mulai mengambil makan siang sekaligus sarapan untuknya.     

Semua hanya diam sambil menyaksikan Javier makan. "Kenapa melihatku seperti itu? ada yang ingin kalian sampaikan?" tanya Javier mengerti pasti dia sedang dicurigai.     

"Selesaikan makan-mu. Baru kita bicara, aku enggak mau berbicara dengan orang yang lapar. Karena biasanya perut bisa mempengaruhi emosi." Marco bersedekap.     

Javier mengendikkan bahunya dan melanjutkan acara makan-nya dengan santai.     

"Sebaiknya aku bawakan makan siang untuk Jean ke kamar."     

Javier menatap Mommynya yang mengambil makanan di meja. Lalu menatap semua orang.     

Oke, jadi semua tahu apa yang terjadi antara dia dan Jean di kamar semalam?     

Baguslah. Karena Javier tidak bermaksud menutupi apa pun dan dia memang akan segera mengatakan pada mereka kalau dia akan menikahi Jean.     

"Sebaiknya aku mengambil baju ganti untuk Jean." Liz ikut menyingkir. Tidak tahan melihat suami dan kakak iparnya yang mengeluarkan aura dingin.     

Begitu para wanita pergi. Keheningan kembali terjadi.     

"Kalau sudah selesai, Dad tunggu di ruang kerja Marco." Daniel berdiri diikuti Marco yang ngedumel kesal tentang kamar keramatnya     

Javier segera menghabiskan makan siangnya dan menuju tempat yang diperintahkan oleh Daniel. Biasanya Daniel bukan orang penyabar dan tidak suka menunggu. Sebelum dia babak belur lagi sebaiknya Javier segera menyelesaikan ini.     

Javier menghirup napas dalam sebelum masuk ruang kerja milik pamannya. Setelah dirasa sudah siap, Javier membuka pintu dan masuk. Sekarang waktunya membicarakan masa depannya.     

"Duduklah." Marco mengendikkan bahu ke arah kursi di depan-nya.     

Javier duduk dan menatap mereka dengan wajah tegas.     

"Aku, mencintai Jean dan akan segera menikahinya," ucap Javier tidak mau menunda keinginannya.     

"Apa kamu sudah berpikir dengan akibatnya?" Daniel yang bicara.     

"Kalau Dad membicarakan perjodohanku dengan Leticia, aku rasa perjodohan itu masih bisa dibatalkan. Bukankah Dad dulu pernah mengatakan bahwa kami bisa menolak jika memang tidak menginginkan mereka? dan pihak kerajaan Inggris juga sudah tahu resikonya."     

"Jika itu kamu utarakan setahun yang lalu. Semua bisa dibatalkan tanpa ada kecaman. Tapi, apa kamu lupa, pernikahanmu dengan Leticia sudah diumumkan di media massa. Tahu akibatnya jika sampai batal? Buruk, sangat buruk." Daniel mengetuk jarinya ke atas meja.     

Javier tahu ini salahnya tapi untuk kali ini dia tidak akan mengalah. "Aku rasa Dad dan Paman bisa mengatasinya dengan mudah. Kecuali kalau kemampuan kalian sudah menurun."     

"Kamu menantang kami?" Marco menggebrak meja.     

Javier tetap tenang walau sebenarnya jantungnya deg-degan karena kaget. Dengan wajah yakin Javier menatap Marco dan Daniel penuh keberanian. "Aku tidak menantang kalian, Aku hanya bersikap egois layaknya pria Cohza. Aku mencintai Jean dan aku akan memilikinya. Dengan atau tanpa izin dari kalian semua," ucapnya penuh ketegasan.     

"Kalau begitu, besok kita ke Cavendish. Kamu yang membuat kacau jadi kamu juga yang harus menyelesaikannya."     

"Bertanggung jawablah dengan perkataanmu."     

Daniel meninggalkan ruangan Marco dengan meninggalkan aura dingin mencekam.     

Javier juga hendak keluar ketika Marco menariknya duduk kembali.     

"Kita belum selesai bicara," ucap Marco dengan nada serius.     

"Paman tidak perlu khawatir, aku bisa mengatasi nenek Stevanie." Javier tahu, Marco paling hormat dengan Ibunya itu.     

"Aku tidak membicarakan itu."     

Javier tahu kali ini pamannya sedang tidak main-main. "Jadi, apa yang ingin paman katakan?" tanya Javier resah. Marco jarang serius, jika dia dalam mode serius seperti ini berarti Javier tidak boleh menganggap pembicaraan ini hanya membahas pembukuan belaka.     

"Kamu tahu kan, diantara kalian bertiga semua orang menganggap Junior yang paling jenius."     

"Memang kenyataannya begitu Paman."     

Marco menggeleng. "Salah. Junior bukan hanya jenius, tapi dia juga rajin, itulah mengapa dia selangkah lebih cepat dari kamu dan Jovan."     

Javier diam menunggu perkataan pamannya selanjutnya.     

Marco berdiri sambil mendekati tembok dengan foto triple J di sana seolah menerawang.     

"Kalian bertiga itu istimewa. Tapi ... kali ini Aku tidak bicara sebagai Marco atau Jonathan. Aku akan berbicara sebagai Dr Key."     

Hening sejenak.     

"Apa kamu tidak pernah ingin bertanya, kenapa dari kalian bertiga hanya dirimu yang aku ajari ilmu pengobatan ilegal?" Marco menoleh ke arah Javier.     

"Kenapa bukan Junior yang notabene anakku sendiri dan paling jenius menurut orang-orang. Atau, kenapa bukan Jovan yang memiliki banyak waktu dan tidak pernah kesulitan menyelesaikan semua tugas dariku?" tanya Marco pada Javier.     

Marco mendekat ke arah Javier. "Kenapa Dr. Key bisa memilihmu? Apa istimewanya dirimu dibandingkan Junior atau Jovan?" tanya Marco dengan mata menatap Javier meminta jawaban.     

"Karena aku yang tertua." Jawab Javier berpikir itulah alasannya.     

"Salah." Marco kembali duduk dan menatap Javier serius.     

"Karena hanya kamu yang mampu," ucapnya penuh penekanan.     

Javier tersenyum sambil menggeleng. "Aku rasa jika Junior atau Jovan juga ikut belajar, kita semua sama-sama mampu."     

"Yeah, mungkin. Tapi ... pada kenyataannya aku hanya menganggap dirimu yang paling mampu."     

"Junior, terlalu tegas dan lurus. Dia tidak suka keluar jalur. Jika aku mengajarkan dia pengobatan ilegal, apa menurutmu dia akan mau menggunakannya? Tidak, ilmu itu akan hilang karena setiap peraturan yang dia buat sendiri."     

"Jovan, terlalu berjiwa bebas. Jika aku mengajarkan sesuatu yang asing padanya. Iya kalau Jovan suka, pasti akan dia kerjakan dengan sangat antusias. Kalau tidak, maka lagi-lagi semua pengetahuan yang sudah aku kembangkan akan berakhir sia-sia."     

"Sedangkan kamu Javier, kamu bisa menempatkan semua sesuai porsinya. Kamu tahu kapan harus mengikuti aturan dan kapan harus melawan. Aku yakin semua yang aku ajarkan padamu akan kamu gunakan jika sedang diperlukan. Tapi, tidak akan kamu salah gunakan walau banyak godaan. Kamu selalu bertanggung jawab dengan semua perbuatanmu."     

Javier terdiam masih berusaha memahami maksud pamannya. " Aku sangat tersanjung karena paman menganggapku seperti itu. Tapi, kalau boleh aku tahu, apa hubungannya semua ini dengan aku yang ingin membatalkan perjodohan dengan putri Inggris?"     

"Tidak ada," ucap Marco santai.     

"Tapi, ini berhubungan erat dengan Jean. Calon istrimu sekaligus wanita yang kamu cintai sejak kecil. Atau bisa dibilang pasienku."     

"Maksud paman ... tentang --"     

"Benar, tentang kondisi Jean. Aku rasa hanya kita berdua yang paling tahu kondisi Jean sebenarnya."     

"Jean akan baik-baik saja ..."     

"Untuk sementara, iya." Potong Marco.     

"Javier, jangan membodohi dirimu sendiri. Jean sekarat, dia tidak baik-baik saja. Kita berdua tahu itu." Marco berbicara dengan nada lebih tinggi.     

"Aku akan berusaha menyembuhkannya lagi."     

"Dengan apa? Transplantasi lagi? Kamu lupa? bukan hanya jantung, semua organ harus di ganti. Hanya 1 dibanding 1 milyar keajaiban untuk bisa menemukan seluruh organ yang cocok untuknya."     

"Jangan mengelak atau menyangkalnya, kamu tahu apa yang sedang Jean hadapi. Jangan menutup matamu karena cinta."     

Javier menunduk. Dia memang tahu kondisi Jean. Tapi, Javier juga masih berharap akan ada keajaiban kedua untuk wanita yang dia cintai itu.     

"Dulu ... setelah Jean hidup, Paman memvonis Jean hanya akan bertahan selama 13-16 tahun setelah operasi. Buktinya ini sudah 20 tahun dan Jean masih baik-baik saja."     

"Nyawa manusia hanya tuhan yang bisa menentukan. Bukan aku, Paman atau dokter hebat mana pun." Javier masih berusaha menyangkal.     

Marco menatap Javier sedih. "Nyawa manusia memang hanya tuhan yang bisa menentukan."     

"Aku juga berharap akan ada keajaiban lagi untuk Jean. Apa kamu lupa? Aku yang merawatnya sedari masih berupa janin. Aku menghidupkannya, melakukan apa pun agar dia bisa berjalan dan tertawa bersama kita. Tapi Javier ... aku juga tidak bisa menutup mata dan membiarkan jika akan ada hal buruk terjadi pada keluargaku." Mata Marco sudah berkaca-kaca.     

"Aku senang Jean masih bertahan lebih lama dari waktu yang ditentukan. Aku bahagia Jean bisa merasakan hidup lebih lama dari yang seharusnya."     

"Tapi ... sampai kapan? Apakah ada jaminan Jean akan bertahan besok? Seminggu lagi? Sebulan atau setahun?"     

"Kita berdua lebih dari sekedar tahu. Jean bisa pergi kapan pun tanpa bisa kita cegah. Karena sekali jantungnya berhenti berdetak, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tubuhnya sudah penuh dengan obat, serum atau apa pun tidak akan ada obat yang bisa menyembuhkannya lagi."     

"Dan keajaiban, tidak terjadi dua kali Javier."     

Javier memalingkan wajahnya. Dadanya terasa sesak menahan sakit. Dia tidak terima semua ini. Tapi, Javier harus mengakui perkataan pamannya memang benar.     

"Aku mencintainya, Paman. Aku tidak bisa menghentikan ini," ucap Javier putus asa.     

"Paman tahu. Paman juga tidak rela. Tapi paman bisa apa? Paman bukan tuhan yang bisa menghidupkan dan membangkitkan manusia sesuka hati. Paman memiliki keterbatasan."     

"Paman tidak keberatan atau menyalahkan kamu karena mencintai Jean. Paman tidak melarangmu menikahinya. Paman hanya menyesal, kenapa paman tidak bisa membuat kalian bahagia selamanya."     

"Paman mungkin akan merasa kehilangan, Ai dan Daniel akan bersedih. Tapi dari kami semua, aku tahu. Kamu yang akan merasakan efek paling besar jika Jean tiada."     

"Apa kamu sudah siap mengatasi itu semua?"     

Javier tidak bisa menjawab karena dia memang tidak tahu jawabannya. Yang jelas dia tidak mau kehilangan Jean. Dia mencintai Jean dengan seluruh jiwa raganya.     

"Paman jabarkan satu fakta yang kamu juga pasti tahu. Kamu dan Jean tidak akan pernah bisa memiliki anak. Tidak akan pernah."     

"Yang paling buruk adalah ... apa kamu sudah siap jika Jean pergi sewaktu-waktu?"     

"Mungkin jika suatu hari kamu pulang kerja dan Jean sudah tidak bernyawa. Atau malam kamu memeluknya tapi pagi dia sudah tidak ada napasnya, atau kalian sedang mandi tiba-tiba Jean terbujur kaku di sana."     

"Apa kamu sudah siap menghadapi itu semua? Yakin kamu tidak akan bersedih dan merana?" tanya Marco lagi dan lagi.     

"Tidak Javier. Aku tahu kamu tidak siap untuk itu semua." Marco berdiri.     

"Inilah alasan kenapa aku menyuruh Daniel menghentikan pencarian Jean setelah 10 tahun."     

"Bukan karena aku tidak sayang padanya. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi kamu dan Jovan."     

Marco menhela nafas lelah dan juga sedih. "Sekarang Jean malah ditemukan." Marco tersenyum ironis.     

"Apa aku senang? Yeah aku senang salah satu keponakanku telah kembali pulang. Tapi ... jika boleh memilih, aku lebih suka Jean tidak ditemukan sama sekali."     

"Jahat. Aku memang jahat."     

"Aku Hanya ingin keluargaku bahagia. Sedangkan Jean? Dia hanya akan membuat kita terluka dan membawa kesedihan bagi keluargaku lagi dan lagi."     

Marco menepuk pundak Javier yang terlihat lemas tidak berdaya.     

"Jika tidak mau terluka lagi, jauhi Jean dari sekarang. Tempatkan posisimu sebagai kakak agar jika suatu hari dia pergi. Hatimu lebih bisa menerimanya."     

"Tapi ... jika memang kamu tetap ingin bersama dan menikahinya. Persiapkan dirimu pada kenyataan."     

"Karena kenyataannya memang selalu menyakitkan."     

***     

TBC     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.