One Night Accident

HEAD OVER HELLS 30 ( Ekstra Part 2 )



HEAD OVER HELLS 30 ( Ekstra Part 2 )

0Enjoy Reading.     
0

***     

"Kamu baik-baik saja nak?" Ibu Asih tidak bisa membendung tangisannya setelah bertemu dengan Jean alias Olive.     

Setelah tiga bulan bersembunyi akhirnya Javier dan Jean memilih muncul. Tapi mereka tidak kembali ke Jakarta maupun ke Cavendish. Mereka memutuskan akan tinggal sementara di Padang sampai situasi dirasa aman untuk kembali. Itu pun jika keluarganya masih mau menerima dirinya.     

Javier tetap tidak memberikan kabar pada keluarga Cavendish mau pun Cohza. Tapi dia sudah meminta Ashoka agar menyalakan kembali chip di jantungnya. Yang akan membuat dirinya terlacak oleh keluarganya secara otomatis.     

"Olive baik kok Bu. Maaf ya sudah membuat ibu khawatir." Jean mengusap air mata Ibunya. Lalu dia melihat ke arah Pian dan merentangkan kedua tangannya.     

Pian langsung memeluk kakaknya dengan sayang. "Dari mana saja sih Kak? Bikin khawatir tahu enggak sih. Tiba-tiba menghilang begitu."     

"Maaf, mulai sekarang kakak janji enggak akan pergi sesuka hati kok."     

Jean mengacak rambut Pian sayang. "Selama kakak pergi, kamu enggak ngerepotin Ibu kan? Enggak nakal juga?"     

"Enggaklah." Pian langsung cemberut.     

"Bu Asih ... Pian. Nanti akan saya jelaskan tentang semua yang terjadi dengan Olive selama di Jakarta. Sebelum itu bisa biarkan Olive istirahat dulu. Pasti dia capek karena kami habis melakukan perjalanan jauh."     

"Ya ampun benar juga. Sudah kalian ke kamar dulu istirahat." Bu Asih mengelus lengan Jean.     

Javier lalu menggiring Jean ke kamarnya agar istrinya itu istirahat dulu. Bagaimanapun juga bagi Javier kesehatan Jean yang paling utama. Sedang Javier beristirahat di kamar Pian karena Bu Asih belum mengetahui bahwa dia sudah menikahi Jean.     

Keesokan harinya barulah Javier, Jean, Bu Asih dan Pian duduk membicarakan semua yang terjadi.     

Javier menceritakan semuanya. Mulai dari dia dan Jean waktu masih kecil hingga bagaimana terjadi pernikahan antara dia dan Jean. Dan terutama tentang keadaan kesehatan Jean. Hal yang membuat Ibu Asih tidak bisa menahan tangisnya.     

Jean menggenggam ke dua tangan Bu Asih untuk menenangkan nya. "Bu, Olive enggak apa-apa. Olive sudah bisa menerima semuanya. Usia manusia hanya tuhan yang tahu."     

"Tapi Olive kenapa dokter memberikan Vonismu sedemikian cepat." Ibu Asih kembali menangis.     

"Itu hanya vonis Dokter Bu. Semua ada di tangan Tuhan. Kalau memang umur Olive di takdirkan sampai di situ Olive dan semua yang Olive sayang harus bisa terima dan Olive harap kalian ikhlas."     

"Kalau Tuhan menentukan Olive bertahan lebih lama dari vonis itu. Manusia sehebat apa pun tidak akan bisa menghentikannya."     

"Iya tapi kan."     

Javier ikut mendekat ke arah Bu Asih dan mengelus punggungnya menguatkan.     

"Bu ... Olive enggak apa-apa. Tolong jangan buat Olive sedih. Olive mau di sisa umur Olive semua orang bahagia. Olive ingin melihat kalian semua bahagia. Baik ada aku atau pun tidak."     

Ibu Asih memeluk Olive dengan tangisan semakin kencang. Bahkan Pian pun ikut memeluk kakak dan ibunya dengan erat lalu ikut menangis bersama.     

Satu bulan kemudian.     

"Ibu percayakan Olive padamu. Tolong dijaga baik-baik."     

Javier mengangguk. "Tentu, Javier akan menjaga Olive sepenuh hati."     

"Kamu baik-baik ya di sana. Tolong segera kabari ibu kalau sudah sampai."     

"Iya Bu, Olive akan kabari begitu kami sampai di Jakarta."     

"Kami pamit dulu Bu. Pian jaga ibu ya, kalau butuh apa-apa bilang sama aku. Oke." Javier mencium tangan Bu Asih lalu menepuk bahu Pian.     

"Iya kak. Kalian hati-hati di jalan," ucap Pian. Javier tersenyum sambil mengangguk.     

"Jangan nakal ya." Olive memeluk adiknya setelah mencium tangan dan memeluk ibunya terlebih dahulu.     

"Iya kak," jawab Pian sedih.     

"Kita berangkat Bu." Javier berpamitan sekali lagi. Sebelah tangan Javier menggenggam tangan Jean dan sebelah lagi menarik koper yang berisi barang mereka. Lalu keduanya naik mobil menuju bandara.     

Tiga jam kemudian Javier dan Jean sudah berdiri di depan rumahnya di Jakarta.     

"Apa menurutmu ada orang di rumah?" tanya Jean.     

"Paling hanya Jovan dan Mahesa. Siapa lagi. Keluarga Cavendish belum ada yang menghubungiku selain Mom. Sepertinya mereka masih kecewa karena kita kabur."     

Jean mendesah. Siapa yang menyangka kalau mencintai Javier bisa seberat ini.     

"Sudahlah. Sebaiknya kita masuk. Kamu perlu istirahat." Javier kembali menarik tangan Jean yang masih berada di genggamannya.     

Beberapa pengawal terlihat terkejut melihat kedatangan Javier. Sedang Javier hanya mengangguk dan tersenyum sebagai sapaan.     

Javier membuka pintu dan masuk ke rumah seperti biasa. Namun hal tidak terduga terjadi di depan kedua matanya.     

Jovan sedang berciuman dengan seorang wanita.     

Bukankah Jovan impoten? Bagaimana bisa dia mencium wanita sebringas itu. Atau dia sudah sembuh.     

"Javier ... sepertinya kita salah waktu," bisik Jean malu melihat adegan di depannya.     

"Tidak, ini justru waktu yang sangat tepat." Lalu Javier berdehem.     

"Ck ... Ck ... masih mesum seperti biasanya."     

Jovan menghentikan ciuman mereka saat mendengar suara yang sudah tidak asing lagi. Tubuh Ella menegang dipelukannya.     

Jovan dan Ella menoleh ke pintu.     

"Javier?"     

"Apa kamu tidak merindukanku?" Javier membuka tangannya.     

Jovan melepas pelukan Ella, lalu berdiri dan dengan langkah cepat menghampiri Javier.     

Satu pukulan langsung mendarat di wajah Javier.     

"Apa yang kamu lakukan?" Jean berteriak kaget saat melihat Javier dipukul hingga terjengkang.     

Javier mengangkat tangannya agar Jean tidak panik. Lalu berdiri dan melihat wajah Jovan yang terlihat cemberut. Seperti Mahesa kalau merajuk.     

"Aku juga merindukanmu." Javier tersenyum sebelum Jovan memeluknya sambil mengumpat-umpat karena pergi tanpa pemberitahuan. Kalau pakai pemberitahuan bukan kabur namanya.     

"Kemana saja sih lo? Menghilang begitu saja. 5 bulan Jav, gue khawatir lo kenapa-kenapa." Jovan melepas pelukannya dari Javier dan menuntut jawaban.     

"Kamu nanya aku kemana? Memang apa yang dilakukan orang habis menikah? Bulan madulah." Javier merangkul Jean dengan pamer.     

"Ish, dasar seenaknya sendiri. Tahu nggak sih, gara-gara kamu kabur sama Jean. Akhirnya aku yang dipaksa nikah sama Ella."     

"What? Kamu nikah sama Ella?" Javier merasa ada yang salah di sini. Lalu pandangan Javier ke belakang Jovan. Di sana wajah Ella juga terlihat pias.     

"Jadi, kamu menikahiku karena paksaan?"     

Lalu terjadi keheningan. Jovan terlihat biasa saja. Sedang Javier dan Jean menyaksikan rasa janggal dengan reaksi mereka berdua.     

"Aku, harus pulang." Ella berlari keluar dari rumah Jovan.     

"Itu tadi Ella?" Javier memastikan.     

Jovan mengangguk sambil melihat Ella yang sudah pergi dengan wajah terlihat kecewa.     

"Jadi kamu menggantikan diriku menikahi putri Inggris?"     

Jovan tersenyum dan kembali mengangguk.     

"Astagaaaa, Jov aku tidak merencanakan itu semua. Aku sudah menyuruh Ashoka menculik putri Inggris ... eh tunggu dulu."     

Javier mengambil ponselnya dan menggubungi Ashoka.     

"As, kenapa Jovan bisa menikah dengan Ella?" tanya Javier langsung.     

"Karena kamu kabur, sedang Oma Tidak mau aku menikahi putri Inggris karena katanya aku harus pegang Cavendish. Jadi Jovan yang disuruh Oma dan Daddy menikahi putri Inggris." Ashoka menjelaskan.     

"Aku kan sudah menyuruhmu menculik putri Inggris agar perjodohan ini batal!" Javier menginginkan.     

"Kapan? Kamu hanya menyuruhku menculik Leticia. Jadi aku menculik Leticia. Kalau kamu menyuruhku menculik semua putri Inggris baru Ella juga pasti aku culik. Tidak ada permintaan menculik Ella jadi ya tidak aku lakukan."     

"Seharusnya kamu, mengerti maksudku?"     

"Sory, aku bukan Jovan. Yang mengerti kode darimu. Lain kali ucapkan permintaan dengan lebih jelas. Oke, dedekmu mau pergi dulu, ada acara."     

Klik.     

Javier menatap ponselnya kesal.     

"Sory, Jov. Benar-benar di luar rencana." Javier meminta maaf. Dia benar-benar tidak menyangka Jovan akan mengorbankan dirinya sebagai ganti karena Javier kabur.     

"Tidak apa-apa. Toh, semuanya sudah terjadi. Sebaiknya kalian istirahat, pasti lelah. Oh ... sampai lupa, selamat datang Jean, kakak ipar sekaligus saudara Perempuanku satu-satunya." Jovan mendekat memeluk Jean sayang.     

"Udah, nggak usah lama-lama meluknya. Peluk istrimu sendiri." Javier mengingatkan.     

"Tsk, nggak usah kayak Jujunlah, cemburuan amat." Jovan melepas pelukannya.     

"Bukannya kalian emang cemburuan semua ya." Jean mengingatkan.     

"Namanya juga cinta, pasti cemburu dongk kalau kamu dipegang cowok lain." Javier merangkul pinggang Jean.     

"Jovan kan kembaranmu sendiri. Masa kamu juga cemburu sama saudara sendiri," ucap Jean.     

data-p-id=516617ee03c8b248984a53b710adf6d0,"Tapi, Jovan juga cowok."     

"Ish ... Dasar."     

Javier tersenyum, mencium pipi Jean sekilas. Seolah gemas.     

Bikin Jovan iri saja.     

"Oh ya, Kamu tidak mengejar Ella? Pasti dia salah paham dengan ucapanmu tadi." Javier mengingatkan.     

"Tidak perlu," ucap Jovan singkat.     

"Masih ingat kamarmu kan? Aku juga mau istirahat dulu." Jovan berbalik dan langsung masuk ke dalam kamarnya.     

Javier tahu, ada yang tidak beres selama dia pergi.     

"Wanita tadi siapa?" tanya Jean masih belum yakin dengan apa yang barusan dia saksikan.     

"Ella, istrinya Jovan."     

"Tapi kok." Jean merasa aneh, kok Ella pergi Jovan malah masuk kamar.     

"Besok aku cari tahu apa yang terjadi. Sekarang istirahat yuk." Javier tersenyum dan menarik pinggang Jean mesra.     

"Istirahat, bukan ngegarap." Jean melepas rangkulan Javier dan berjalan lebih dahulu menuju kamar Javier.     

"Iya, istirahat kok." Jean istirahat, Javier yang kerja.     

Bekerja di atas tubuhnya.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.