Jodoh Tak Pernah Salah

Part 40 ~ Kebohongan Bara ( 2 )



Part 40 ~ Kebohongan Bara ( 2 )

0"Masuk," pekik Herman dari dalam.     
0

Bara membuka pintu dan menemui papanya. Kayaknya anak santun ia menyalami sang papa dan memeluknya.     

"Bagaimana kabarnya pa?" Tanya Bara seraya mengambil posisi duduk di sofa.     

Herman juga mengambil posisi duduk berhadapan dengan Bara,"Alhamdulilah sehat. Pengantin baru pasti lebih sehat dari papa,", goda Herman terkekeh-kekeh. Herman basa-basi sebelum ke inti pembicaraan.     

Bara menahan kesal karena digoda Herman namun tak ia tunjukkan. Ia tetap memasang senyum manis. Seperti biasanya ia pencitraan. Dalam hati udah ngamuk kayak singa tapi sikap yang ditunjukkan lembek seperti kambing.     

"Bara sehat terus kok pa. Alhamdulilah masih diberi umur panjang sampai saat ini."     

"Oh ya Bara kamu darimana? Kenapa bersama Dian? Bukankah kami harus bersama istrimu?"     

Bara menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia tahu kemana arah pembicaraan Herman. Bara sungguh tak suka. Ia bisa menebak Herman akan meminta cucu padanya setelah menikahi Dila.     

"Aku baru balik dari Jakarta urusan bisnis. Kemaren sempat tertunda pertemuan dengan klien karena mendadak nikah. Jadi kami pergi menyelesaikan kesepakatan yang tertunda," balas Bara penuh kebohongan. Sering kali berbohong membuat Bara terbiasa. Berbohong merupakan keahliannya.     

"Bisnis apa?" Herman mengintrogasi.     

Bara gelagapan. Tak tahu memberi jawaban apa. Tumben Herman menanyai dengan detail. Herman bisa melihat kebohongan dimata sang anak.     

Sepandai-pandainya Bara berbohong ia tetap akan mengetahuinya. Herman bukannya tak tahu bagaimana Bara selama ini cuma ia tak mau merusak hubungan mereka jika ia bilang tahu siapa Bara. Lagian Ranti, sang istri akan serangan jantung jika tahu putra mereka satu-satunya telah salah jalan.     

"Pembangunan jalan tol Jawa Pa,"jawab Bara sekenanya. Untung saja otaknya cepat berpikir jawaban apa yang akan ia ucapkan, kalo tidak habislah di interogasi.     

Herman menepuk pundak sang anak layaknya seorang teman," Papa bangga padamu. Walau kita tinggal di Padang bisnis kamu tetap lancar seperti kita tinggal di Bandung dulu. Asal kita punya skill dan lobi yang bagus. Kita bisa mendapat tender besar. Tempat tidak jadi halangan untuk kita membuka bisnis ke seluruh Indonesia."     

"Bisa sich bisa pa cuma capek bolak-balik. Lebih baik kita kembali tinggal di Jakarta atau Bandung. Tinggal di kota besar lebih nyaman. Tidak capek bolak-balik dari Padang ke Jakarta. Rekan bisnis Bara banyak di Jakarta."     

"Bagaimana kita mau pindah ke Jakarta. Kamu sudah terpilih jadi anggota dewan. Pasti kamu ketahan di Padang. Kamu jadi wakil rakyat sekarang. Tiga bulan lagi kamu akan dilantik. Sejujurnya papa lebih suka kamu jadi pengusaha daripada politikus."     

"Bara jadi pengusaha untuk melancarkan bisnis saja pa. Kadang anggota dewan itu mengeluarkan UU daerah merugikan para pengusaha. Mereka ingin memeras kami dengan UU tersebut. Bara ingin duduk diantara mereka dan menjegal mereka."     

"Tidak akan mudah Bara. Mereka kompak jika masalah uang."     

Herman terlihat tidak suka dengan keputusan Bara. Ia lebih suka Bara fokus pada bisnisnya daripada berpolitik.     

Politik itu kejam dan tak mengenal kawan atau pun lawan. Kebanyakan politisi yang Herman kenal tidak memperjuangkan nasib rakyat malah memperjuangkan nasib mereka. Yang mirisnya ketika mereka sudah dilantik dan menerima SK langsung menggadaikan SK tersebut ke bank untuk mengambil pinjaman.     

" Memang tidak mudah pa, tapi Bara akan berusaha."     

"Bagaimana bulan madunya? Apakah menyenangkan?" Herman mengalihkan topik pembicaraan.     

Keliatan sekali Bara tak suka pembahasan Herman tentang bulan madu.     

"Lumayan," balas Bara tak berminat.     

"Lumayan ini bagaimana? Papa tidak mengerti. Setahu papa bulan madu itu enak pake banget," kata Herman dengan lebay.     

"Ya datar aja pa. Bara dan Dila aja nikah karena dijodohkan. Kami masih pendekatan dulu buat ke tahpa itu blom."     

Dengusan kasar keluar dari mulut Herman. Terlihat kekecewaan di matanya.     

"Papa dan mama juga dijodohkan namun kami cepat beradaptasi. Segera berikan kami cucu. Umur kamu sudah matang Bara. Sudah saatnya memberi kami cucu. Kamu anak kami satu-satunya. Berikan kami cucu yang banyak."     

"Pa jangan bahas soal anak dulu. Bara baru seminggu menikah dengan Dila. Papa buat mood memburuk aja."     

"Harapan setiap orang tua Bara. Jangan biarkan kami mati sebelum menimang anakmu dan Dila."     

Bara ingin meninggalkan Herman karena ia tak menyukai pembicaraan sang ayah. Jangankan memiliki anak, menyentuh Dila saja ia tak mampu. Bara horny ketika melihat lelaki bukan wanita. Seseksi apa pun Dian, ia tak pernah tergoda dengan kemolekan tubuh sang sekretaris. Bahkan jika Dian telanjang di depannya Bara tak akan bereaksi.     

"Serahkan semua pada Tuhan pa," jawab Bara diplomatis." Anak itu titipan Tuhan. Jika itu rezeki kami, maka akan segera hadir di keluarga kita."     

"Rezeki ya rezeki cuma harus usaha Bara. Secepatnya belah duren. Malu papa punya anak kayak kamu jika tidak bisa menghamili Dila," ledek Herman membuat Bara cemberut.     

"Pa jika tidak ada yang dibicarakan Bara pamit pulang dulu. Ngantuk dan capek. Bara mau istirahat dulu," ucap Bara berpamitan.     

Setelah Bara pergi, Herman menelpon Dian untuk datang ke ruangannya.     

Dian mengetuk pintu, setelah dipersilahkan gadis itu masuk.     

"Ada apa Pak?" tanya Dian to the point.     

"Bisnis apa yang kalian bahas di Jakarta?" suara bariton Herman membuat Dian bergidik ngeri. Bapak dan anak sama aja.     

"Tidak ada Pak. Bara memberi pelajaran untuk Egi. Kami menghukum dia karena mencoba membunuh Dila ketika pergi bulan madu. Makanya bulan madu mereka sebentar."     

Herman mengepalkan tangan karena marah, tak hanya itu Herman melempar asbak rokok ke lantai. Ia benar-benar geram dengan kelakuan Egi.     

"Hukuman apa yang kalian berikan untuk Egi?" Herman menatap Dian dengan mengintimidasi.     

"Kami memerintahkan lima orang wanita untuk memperkosanya. Setidaknya Egi pernah merasakan bercinta dengan wanita. Semoga saja pemerkosaan itu memberikan efek yang baik untuknya Setidaknya laki-laki itu menyukai berhubungan dengan wanita. Sekarang Egi sangat benci dan marah pada Bara."     

"Baguslah kalo begitu. Berani sekali dia membunuh menantu kesayanganku. Kenapa tidak kau bunuh saja sekalian?" ucap Herman dingin.     

Dian jengah mendengar celotehan Herman. Membunuh Egi tak segampang itu. Jika ia melakukannya Bara akan memburunya.     

"Membunuh Egi tidak semudah itu Pak. Anda tahu jika bos sangat menyayangi Egi. Jika aku gegabah membunuhnya ada kemungkinan bos balik membunuhku. Kita tidak bisa memisahkan mereka dengan kekerasan. Kita harus melakukan politik adu domba. Membuat mereka saling membenci. Perlahan-lahan bos akan muak dan membenci Egi."     

Herman manggut-manggut mendengar penjelasan Dian,"Kau benar. Menghadapi Bara tidak bisa dengan kekerasan hanya dengan kelembutan. Aku yakin menantuku bisa menaklukkannya."     

Dian mendelik menatap Herman tak percaya. Bagaiman a Herman begitu yakin jika Dila bisa membuat Bara kembali ke kodrat?     

"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku yakin Dila bisa membuat Bara straight?" Herman seperti cenayang menebak pikiran Dian.     

Dian melongo karena Herman membaca pikirannya.     

"Orang tua memiliki feeling apa yang terjadi pada anaknya. Keyakinan dalam hatiku mengatakan Dila-lah malaikat yang akan membawa Bara ke jalan yang benar. Firasatku tak pernah salah. Dila wanita yang baik, mandiri, cerdas, seorang leader yang hebat. Aku yakin dia bisa menaklukkan Bara. Aku tak salah memilih menantu."     

"Anda egois," balas Dian spontan lalu diam sebentar dan melanjutkan ucapannya. "Wanita sebaik Dila tidak seharusnya dijebak dalam pernikahan ini. Bapak hanya memikirkan diri sendiri. Apa tidak Bapak perhitungkan bagaimana hancurnya Dila memiliki suami seorang gay? Aku malah prihatin akan nasibnya. Sudah dianggap perawan tua karena menunggu kekasihnya yang berkuliah di Mesir, menunggu sekian lama malah dijodohkan dengan orang lain. Suaminya malah gay," cerocos Dian membuat Herman jengah.     

Herman mendengus kesal. Celotehan Dian membuatnya kesal. Andai saja Dian laki-laki mungkin Herman sudah memukul Dian karena mulutnya sudah keterlaluan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.