Jodoh Tak Pernah Salah

BaraDila 9



BaraDila 9

0 Iqbal berusaha untuk tenang setelah berbincang dengan Bara. Ia sudah menyadari kesalahannya pada Dila dan Bara.     
0

"Apa gue bisa Bar?" Iqbal terlihat ragu untuk masuk ke dalam rumah. Hanya berani melihat dari luar.     

Iqbal melihat Dila dan Naura sibuk mengobrol, sesekali tertawa. Hati Iqbal teremas, tamparan untuknya. Melihat senyum Dila membuat hatinya lega.     

"Terima kasih lo sudah membawa Dila kembali."     

"Sudah seharusnya. Dila istri gue."     

"Gue belum berani menemui Dila. Malu pada diri sendiri. Gue enggak sanggup." Iqbal ingin pergi namun dicegah Bara.     

"Beranikan diri lo. Kapan lagi memperbaiki hubungan kalo bukan sekarang? Gue sengaja membawa Dila kesini. Dila pasti bahagia bertemu dengan Naura. Lo juga akan datang kesini."     

"Kenapa lo bisa tahu?"     

"Gue sudah menyelidiki lo. Mencari tahu keberadaan kalian."     

"Lo berbuat banyak demi kami."     

"Gue lakukan demi Dila."     

"Dila?" Kening Iqbal berkerut. "Apa lo terlalu mencintai Dila?"     

"Sangat. Dia pelengkap hidup gue. Hati ini kosong tanpa dia." Bara menunjuk dadanya.     

"Terima kasih telah mencintai adik gue."     

"Tidak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya. Mari kita ke dalam." Bara merangkul Iqbal masuk rumah.     

Iqbal melangkah ragu. Masih belum siap bertemu Dila dengan kondisi sekarang. Merasa rendah diri dan kotor.     

"Percayalah. Dila akan memaafkan lo." Bara kembali meyakinkan Iqbal.     

Iqbal menghela napas. Ia ambil napas dalam-dalam lalu hembuskan. Jantungnya berdetak lebih cepat. Entah kenapa grogi bertemu sang adik. Rasa malu masih menyelimutinya. Iqbal angkat wajahnya lalu berjalan lebih dulu dari Bara.     

Obrolan Dila dan Naura terhenti. Dila bangkit dari sofa melihat sosok Iqbal berjalan ke arahnya. Meski kumis dan cambang Iqbal sangat lebat, Dila msih mengenali sang kakak. Dila berjalan mendekati Iqbal. Ada rasa harus membuncah di dadanya. Uda yang ia rindukan ada di depan matanya. Tanpa Dila sadari air matanya menetes. Iqbal semakin malu melihat ketulusan sang adik, Tak ada dendam dan kebencian disana. Iqbal merasa seolah waktu berjalan lambat. Kenapa ia belum sampai pada Dila. Kakak beradik itu saling menatap penuh kerinduan. Iqbal juga menangis. Terharu dan tak bisa berkata apa-apa.     

"Uda," lirih Dila menyentuh pipi Iqbal. Dila merasa bersalah karena telah mengucapkan sumpah serapah pada sang kakak. Pada akhirnya sumpah itu benar-benar terjadi. Pernikahan Iqbal hancur.     

"Dila." Iqbal menyentuh tangan Dila. Ia menutup mata, menguatkan diri bahwa ini nyata. Dila benar-benar ada di depan matanya. "Ini benaran kamu Dil?"     

"Iya uda." Dila mengangguk. Pipinya basah oleh air mata. Bara dan Naura ikut terharu melihat pertemuan kedua kakak beradik itu.     

Iqbal mau berlutut meminta maaf pada Dila namun wanita itu melarang sang kakak untuk melakukannya.     

"Jangan lakukan ini Da."     

"Uda bersalah sama kamu dan Bara. Maafkan uda telah melukai hati dan perasaan kamu. Karena keegoisan kami kalian harus berpisah. Maafkan uda telah memisahkan anak-anak dengan ayah mereka. Karma itu nyata. Uda sudah menuai apa yang telah uda perbuat. Maafkan uda Dil. Jujur uda belum sanggup untuk bertemu kamu." Iqbal tertunduk malu.     

"Sudahlah uda. Aku sudah memaafkan kalian. Mulai detik ini hapuskan semua rasa permusuhan antara kalian dan suamiku. Kalian bertiga orang penting dalam hidupku. Jangan saling menyakiti. Aku yang paling sakit jika kalian bermusuhan. Please…..kita baik-baik saja. Aku ingin kita seperti dulu. Akur dan penuh tawa. Kita menjadi saudara yang saling meyayangi dan melindungi. Hilangkan ego dan rasa gengsi. Nama baik tidak akan kita bawa ke liang kubur. Bara sudah berubah. Dia suami dan ayah yang baik. Aku tahu siapa suamiku. Dia tidak akan seperti dulu. Aku tahu kalian tidak ingin Bara menyakitiku, tapi feeling seorang Dila tak pernah salah. Kita tak bisa menghakimi orang lain. Belum tentu apa yang kita pikirkan tentang orang lain itu benar. Kita hidup bukan karena orang. Hempaskan semua omongan orang. Kita tidak bisa memuaskan dan menyenangkan semua orang."     

"Iya Dil. Maafkan uda." Iqbal memeluk erat sang adik. "Terima kasih telah membukakan pintu maaf untuk pria yang tidak tahu diri. Maafkan sikap uda dulu Dil. Kamu menderita selama ini. Maafkan kami telah menyakiti kamu. Uda akan perbaiki kesalahan. Tak akan pernah mengusik rumah tangga kalian. Seharusnya uda menjadi pelindung kamu bukan sebaliknya." Iqbal masih saja merengek. Dosanya terlalu besar sehingga rasa bersalah itu kian besar.     

"Berhentilah menangis." Dila menghapus air mata Iqbal. "Uda harus bangkit. Live must go on."     

"Terima kasih Dil."     

"Tidak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya."     

"Maafkan uda sudah memisahkan anak-anak dengan Bara."     

"Jangan dibahas. Semua sudah kembali ke awal. Kami sudah bersatu dan bahagia. Kami akan bersama hingga menua."     

"Kenapa kamu begitu mudah memaafkan uda? Kesalahan uda sangat besar."     

"Sudah. Jangan bertanya lagi." Dila mendaratkan telunjuknya di bibir Iqbal. "Kita hidup di masa sekarang bukan di masa lalu. Jadikan masa lalu pelajaran bagi kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai ini juga terjadi pada anak dan keturunan kita."     

"Terima kasih adikku. Maaf yang telah kamu berikan, mengurangi beban di pundak ini. Beban berat karena telah menyakiti kamu. Pada akhirnya uda sadar jika tidak bisa menyakiti kamu. Hancur perasaan uda melakukannya. Kemana saja kamu selama ini?"     

"Aku di KL. Tinggal bersama Ante Lala dan Dino."     

"Ya Tuhan kenapa Ante tidak pernah bilang? Kami sudah lelah mencari kamu."     

"Bunda juga sudah tahu."     

"Apa?" Iqbal kaget. Selama ini Lusi bersikap seperti orang kehilangan.     

"Kenapa reaksi uda seperti itu?"     

"Bunda pintar bersandiwara. Selama ini selalu menyalahkan kami."     

"Mungkin ini cara bunda menghukum kalian. Bundalah yang merencakan pelarianku ke KL."     

Iqbal gelenng-geleng kepala tak meyangka jika Lusi sudah tahu semuanya.     

"Jangan bilang bunda bolak-balik KL untuk menemui kamu dan anak-anak?" Iqbal tergelak tawa. Merasa dipermainkan.     

"Awas saja marah pada bunda." Dila malah mengultimatum sang kakak.     

"Tidak akan berani. Ibu suri tidak bisa dilawan." Iqbal berkelakar. Keduanya tergelak tawa. Bara dan Naura pun ikut bahagia.     

Iqbal kembali memeluk sang adik. Lega, akhirnya kata maaf itu didapatkan. Iqbal tak boleh terpuruk lagi. Ia harus mengambil hati anak-anak dan Naura. Peluangnya untuk kembali pada Naura sangat besar karena perempuan itu masih menjanda. Ria sudah bahagia dengan pernikahannya yang sekarang.     

Dila mencukur kumis dan cambang Iqbal, Sekarang sang kakak sudah terlihat rapi. Tak seperti gembel seperti tadi. Dila juga merapikan rambut Iqbal yang mulai panjang.     

"Ganteng." Dila memuji sang kakak.     

Iqbal menggengam tangan sang adik. Berterima kasih atas semua yang Dila lakukan padanya. Sejak dulu Dila selalu mendukung dan membelanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.