Jodoh Tak Pernah Salah

Part 159 ~ Honeymoon Kedua ( 8 )



Part 159 ~ Honeymoon Kedua ( 8 )

0 "Percayalah Reza tidak akan stress malah akan bangga punya kembaran seperti aku."     
0

Dila pura-pura mau muntah seraya mencibir Bara.     

"Ya Allah Bara. Narsis kamu kebangetan.     

"Orang ganteng mah bebas. Bebas buat narsis."     

"Suka-suka kamu dech kalo ngomong. Mulut-mulut kamu yang ngomong."     

"Dila mau main tebak-tebakan?"     

"Apa?"     

"Fungsi mulut selain buat ngomong buat apa?" Bara dalam mode mesum     

Dila mencubit dada Bara karena gemas. Ia sudah tahu jawabannya.     

"Mode mesumnya kembali."     

"Siapa yang mesum? Jawab dulu pertanyaan aku bukan cubit aku."     

"Buat ciumanlah," jawab Dila malu-malu. Wajahnya memerah bak kepiting rebus.     

Bara menunjuk Dila seraya mengerlingkan senyum nakal.     

"Kamu itu yang mesum bukan aku," kata Bara menggoda Dila     

"Jawaban yang benar adalah buat makan. Jadi selain buat ngomong mulut berfungsi buat makan. Kamu tu yang mesum," ujar Bara balik menggoda Dila.     

Dila buang muka karena ketahuan berpikiran mesum. Ia cemberut tak mau menjawab pertanyaan Bara. Dila serasa dijebak dengan pertanyaan tadi.     

"Katanya kamu mau bertanya buat penegasan. Apa yang ingin kamu tanyakan?" Mata Bara fokus melihat laut, tak mau ketinggalan moment melihat paus.     

"Sudah bisa bicara serius?"     

"Sudah."     

"Bara. Apa yang membuat kamu ingin bertaubat dan kembali ke kodrat?"     

"Kamu," jawab Bara tanpa keraguan.     

"Aku?" Dila menunjuk dirinya sendiri."Jangan berbohong!"     

"Aku tidak berbohong. Kamu lihat mata aku. Apakah ada kebohongan ketika aku mengucapkannya?"     

Dila menatap manik mata Bara. Tak ada kebohongan yang terlihat oleh Dila sebuah ketulusan dan keinginan Bara untuk berubah.     

"Aku ingat kata-kata kamu. Kamu pernah bilang perubahan terbesar dimulai dari mindset kita. Aku sudah mengubah pemikiran aku. Bara kamu itu laki-laki. Laki-laki diciptakan untuk wanita. Bara gay itu menjijikan, perbuatan dilaknat Tuhan. Kau bisa straight dan kembali ke fitrah. Itu yang aku tanamkan dalam diri aku. Aku mensugesti diri aku sendiri. Bara kamu bisa straight," kata Bara berapi- api.     

Mata Dila tak lepas mengamati Bara ketika bicara. Kali ini ia akan menjadi pendengar yang baik.     

"Kamu juga pernah mengutip pernyataan Margareth Thatcher. Perhatikan apa yang kita pikirkan, karena itu akan keluar menjadi ucapan, menjadi kata-kata. Perhatikan apa yang kita ucapkan karena itu akan keluar menjadi tindakan, menjadi actions. Perhatikan apa yang kita lakukan, karena ketika itu diulang-ulang terus dia akan menjadi habits (kebiasaan). Perhatikan kebiasaan kita mulai dari mata terbuka, sampai tertutup lagi karena itu akan menjadi karakter. Perhatikan karakter kita karena demikianlah takdir kita. Jadi apa yang kita pikirkan itulah takdir kita."     

"Aku memahaminya Dila ketika kamu meninggalkan aku. Perhatikan apa yang kita pikirkan karena akan keluar menjadi ucapan, menjadi kata-kata. Aku tahu selama ini yang aku pikirkan bagaimana ke depannya hubungan sejenis antara aku dan Egi akan direstui papa dan mama. Pikiranku sudah kotor makanya kata-kata yang keluar dari mulutku juga kotor."     

"Perhatikan apa yang kita ucapkan karena itu akan keluar menjadi tindakan, menjadi actions. Aku selalu mengatakan menjadi gay itu nikmat, membahagiakan, melakukan kejahatan itu biasa sebagai unsur membela diri. Makanya aku nyaman menjadi seorang gay dan membunuh orang hal yang lumrah untukku. Nyawa manusia tidak ada artinya. Makanya aku menjadi orang yang sadis, kejam dan tak punya perasaan."     

"Perhatikan apa yang kita lakukan, karena ketika itu diulang-ulang terus dia akan menjadi habits (kebiasaan). Aku selalu berhubungan intim dan berciuman Egi makanya aku anggap itu menjadi suatu kebiasaan dan menganggap Egi istriku.     

"Terakhir yang sangat menampar sanubariku. Perhatikan kebiasaan kita mulai dari mata terbuka, sampai tertutup lagi karena itu akan menjadi karakter. Perhatikan karakter kita karena demikianlah takdir kita. Jadi apa yang kita pikirkan itulah takdir kita. Kebiasaanku memikirkan duniawi, berpesta, bermabuk-mabukan dan bersenang-senang dengan Egi, bergabung dengan komunitas gay. Maka oleh sebab itu aku ditakdirkan sebagai gay. Bukankah begitu Dila?"     

Dila termenung, mulutnya menganga. Tak menyangka Bara mengingat kata-katanya. Tatapan mata Bara tak ada kebohongan didalamnya. Hanya ada ketulusan dan tekad untuk berubah.     

"Iya," balas Dila singkat seraya mengangguk.     

"Urusan Kun Fayakun itu urusan yang Maha Kuasa. Urusan kita berikhtiar semaksimal mungkin. Aku akan berikhtiar untuk berubah. Langkah pertama yang aku lakukan tidak lagi berhubungan dengan Egi. Aku sudah memblokir nomor handphone dan media sosial dengan Egi. Dengan menjauhkan diri dari Egi, aku tidak berkubang lagi dalam cinta sesama jenis. Kedua aku sudah memperbaiki hubungan aku dengan Tuhan. Aku sudah kembali pada Tuhan. Bukan maksud pamer atau mencari simpati kamu. Aku sudah menjalankan sholat lima waktu, mendengarkan tausiah ustad, sedekah dan belajar mengontorol emosiku. Memang tidak mudah melakukan semua itu,tapi aku akan mencoba. Dimana ada kemauan dan niat kita pasti bisa. Aku tahu tidak mudah untuk berubah ke arah yang lebih baik, setidaknya aku sudah berusaha."     

"Lalu setelah kamu kembali ke kodrat dan menyukai wanita seutuhnya mau dibawa kemana pernikahan kita?"     

Bara terdiam tak menjawab pertanyaan Dila. Ia memalingkan muka dan berharap ikan paus segera menampakkan diri.     

"Jika aku ingin kamu menjadi istriku selamanya apakah kamu bersedia?"     

Giliran Dila diam tak menjawab pertanyaan sang suami. Ia mengalihkan pandangan. Melihat laut biru yang bening.     

"Aku juga mulai sadar apa yang aku lakukan salah setelah membaca surat dari kamu." Bara melanjutkan pembicaraan.     

"Aku juga masih mengingat kata-kata kamu Dila. Apa yang kamu baca? Apa yang kamu lihat? Apa yang kamu dengar? Apa yang kamu serap? Bagaimana habits (kebiasaan) kita akan terbentuk. Dan arahnya akan kesana. Aku paham semuanya. Aku tidak pernah membaca dan melihat Alquran. Yang aku baca hanyalah bacaan-bacaan porno tentang gay, yang aku dengar hanya music dj di club. Telingaku tak pernah mendengarkan lantuan Alquran. Yang aku serap selama ini hanya nafsu duniawi. Bagaimana aku mendapatkan proyek besar untuk perusahaanku. Tak peduli bagaimana caranya aku harus mendapatkannya, mau menikung orang, mencelakai oang lain atau berbuat curang. Kebiasaanku berhubungan dengan kemaksiatan dan berkumpul dengan komunitas gay hingga aku terkubang dalam lingkaran gay dan susah untuk kembali ke fitrah."     

"Semenjak kita menikah, kamu telah memberikan aku hal yang positif. Kamu menunjukkan aku arah yang seharusnya aku lalui. Itulah hidayah datang tanpa disadari. Surat kamu telah membuka mata dan pikiranku. Dila," panggil Bara mendekati sang istri dan menggengam tangannya.     

"Ya," jawab Dila singkat.     

"Terima kasih telah hadir dalam hidupku."     

"Kenapa kamu mengucapkan terima kasih padaku?"     

"Jika aku tidak menikah denganmu mungkin sampai sekarang aku masih berkubang dalam kemaksiatan. Berhubungan sejenis dengan Egi. Mungkin sampai aku menutup mata akan terus berbuat maksiat jika tak menikah dengan kamu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.