Jodoh Tak Pernah Salah

Part 219 ~ Mendekati Alvin



Part 219 ~ Mendekati Alvin

0Hati Alvin gerimis mengingat peristiwa di restoran beberapa hari yang lalu. Tanpa sengaja ia menumpahkan minuman dan mengenai paha Dian. Alvin sudah sering berkecil hati melihat sikap sang kakak begitu berbeda padanya. Pada Dean dan Dona, Dian bersikap baik, berkata lemah lembut, manis dan menyayanginya mereka.     
0

Sikap Dian sangat berbeda terhadapnya, kadang terbersit tanya dalam hati Alvin. Kenapa Dian sangat membencinya? Ketika Dian melihatnya yang ada hanya kebencian, sakit hati dan kekecewaan yang mendalam. Ingin bertanya tapi Avin tidak ingin memperburuk keadaan.     

Alvin sudah pernah bertanya kepada Asti, apakah dia anak kandung atau anak pungut? Asti mengatakan kalau dia benar-benar benar anak kandung dari ayah dan ibu, namun sikap Dian seolah menyiratkan Alvin bukanlah anak kandung di keluarga itu.     

Setelah kejadian di restoran Alvin memutuskan untuk kembali ke pesantren pada esok hari. Sebenarnya libur Alvin masih panjang namun suasana tak mendukung untuk dia berlama-lama bersama keluarga. Tak ingin kehadirannya memperburuk keadaan.     

Jika Alvin ada di rumah selama Dian berkunjung, maka akan selalu terjadi keributan. Apa pun yang dilakukan Alvin selalu salah dimata Dian. Sebagai seorang remaja Alvin ingin sesekali memberontak atas sikap tak adil Dian. Selama ini dia selalu berpikir positif. Dian marah padanya karena nilainya tidak bagus dan cengeng. Makanya Alvin tak pernah memperlihatkan kesedihannya di depan keluarga. Di depan keluarga dia akan selalu terlihat bahagia. Alvin tak mau melihat ayah dan ibunya bersedih.     

Malam itu puncak kemarahan Asti pada Dian. Untuk pertama kalinya Alvin melihat ibunya menampar Dian, bahkan sampai menampar dua kali. Umur Alvin sudah 14 tahun dan ia sudah remaja. Dia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Dia bukan anak kecil yang tak tahu menahu. Alvin cukup pintar membaca situasi. Dian suatu misteri baginya. Ayah dan ibu juga memendam rahasia besar tentang dirinya.     

Pesantren mengadakan lomba kreativitas dalam rangka memperingati milad pesantren yang 40 tahun. Pesantren mengadakan lomba MTQ, lomba nasyid, lomba silat, lomba membuat puisi dalam bahasa Inggris dan Arab dan terakhir Who Wants to be a Milioner, mirip seperti Kuis "Who Wants to be a Milyuner" hanya dalam bahasa Arab dan inggris. Pada cabang lomba ini, peserta diminta menjawab pertanyaan yang diberikan oleh juri.     

Alvin mengikuti dua perlombaan yaitu pencak silat dan membuat puisi. Saat ini Alvin berada di alun-alun pesantren. Alvin duduk di bawah pohon rindang. Tangannya sibuk mencoret-coret kertas. Alvin sedang merangkai sebuah puisi untuk lomba. Sesekali Alvin menyeka air matanya karena sedih. Walau anak laki tidak boleh menangis entah kenapa melihat sikap Dian membuat hati Alvin gerimis.     

Dari jauh Fatih dan Rudi menatap Alvin yang sedang sibuk dengan tinta dan kertas.     

"Itu siapa Rud?" Tanya Fatih. Sedari tadi Fatih memperhatikan Alvin yang sibuk mencoret-coret kertas. Sesekali ia menggambar, lalu meremas kertas yang di tulis dan digambar.     

"Anak pesantren." Jawab Rudi singkat.     

"Kalo itu aku juga tahu Rud. Namanya siapa?"     

"Aku juga tak tahu."     

Fatih melihat dua orang santri lewat di depannya dan memanggil mereka.     

"Ada yang bisa dibantu ustad?" Anak-anak sudah tahu siapa Fatih karena sudah di kenalkan pemilik pesantren ketika sholat subuh berjamaah.     

"Anak yang duduk di bawah pohon itu siapa namanya?" Fatih menunjuk keberadaan Alvin.     

"Namanya Alvin ustad. Kenapa ustad?"     

"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin tahu namanya saja. Dia sibuk mencoret kertas sedari tadi."     

"Alvin memang seperti itu ustad. Dia suka menggambar dan menulis puisi."     

"Dia begitu untuk mengalihkan perasaannya ustad."     

"Perasaannya sama perempuan?" Rudi tergelak tawa. Anak remaja jaman sekarang kecil-kecil sudah menjadi korban bucin.     

"Iya ustad, tapi bukan sesama santriwati tapi ke kakak perempuannya."     

"Kenapa?"     

"Kabar burungnya kakaknya yang paling besar membencinya."     

"Kok bisa?"     

"Enggak tahu ustad."     

"Ya sudah kalian boleh pergi," kata Fatih.     

"Baik ustad."     

"Kenapa kamu sangat tertarik padanya?" tanya Rudi penasaran.     

"Entahlah. Melihat sorot matanya yang menyiratkan kesedihan. Hatiku terketuk. Aku akan kesana."     

"Ya sudah aku ke dalam," kata Rudi berpamitan.     

Fatih berjalan mendekati Alvin yang tengah berjibaku dengan pena dan kertas. Berkali-kali Fatih melihat Alvin meremas dan melemparkan kertas yang telah ia coret-coret. Fatih mengambil kertas yang dilempar Alvin.     

Kening Fatih berkerut melihat gambar Alvin. Seorang wanita dewasa memeluk dua orang anak kecil, sementara itu ada seorang anak kecil lagi mengintip di balik jendela dengan ekspresi sedih dan menangis. Hati Fatih gerimis melihat gambar Alvin. Dari coretan tangannya Fatih membaca keadaan, Alvin mengalami tekanan psikologis dalam keluarga. Kasihan sekali remaja seperti Alvin mengalami tekanan psikologis. Hati Fatih terketuk untuk memperbaiki psikologis Alvin.     

"Gambar yang sangat bagus." Fatih membuka pembicaraan.     

Alvin kaget melihat kedatangan Fatih.     

"Ustad sejak kapan ada disini?"     

"Kamu terlalu sibuk sehingga tidak melihat kedatanganku."     

" Maaf ustad aku terlalu sibuk dengan kertas dan tinta ini." Alvin memperlihatkan coretannya pada Fatih.     

"Aku melihat gambar yang kamu buat. Seorang wanita dewasa memeluk dua anak kecil sementara ada sosok anak kecil menangis mengintip dari balik jendela. Apa yang terjadi dengan kamu? Kenapa kamu bersedih?" Fatih memperlihatkan gambar yang di buang Alvin.     

"Tidak ustad, aku tidak bersedih. Aku baik-baik saja." Alvin mengusap wajahnya.     

"Gambar yang kamu buat menyiratkan perasaanmu. Jujurlah nak. Namamu Alvin bukan?"     

"Benar ustad. Namaku Alvin."     

"Alvin bisa cerita pada ustad kenapa kamu menggambar ini?" Fatih kembali memperlihatkan gambar wanita dewasa memeluk dua anak kecil sementara masih ada satu anak kecil menangis mengintip dari balik jendela.     

"Tidak apa-apa ustad."Alvin tergagap. "Aku hanya sekedar menggambar."     

"Nak jujurlah. Jangan-jangan aku bisa membantu kamu. Aku ada disini untuk memberikan terapi untuk kalian. Gerakan kamu mengusap wajah menyiratkan jika kamu sedang berbohong."     

Alvin terkejut, matanya membelalak tak percaya jika Fatih bisa membaca ekspresinya. Fatih bak detektor kebohongan baginya.     

"I-itu." Alvin tergagap tak mau mulai bicara darimana. Remaja kelas 9 itu kebingungan.     

"Duduklah disampingku dan mulailah cerita. Waktu sholat ashar masih lama dan kita bisa bicara panjang."     

Alvin menggigit bibir bawahnya dan Fatih memperhatikannya.     

"Menggigit bibir bawah artinya kamu merasa tertekan," ucap Fatih tersenyum manis.     

"Apakah ustad cenayang?"     

"Tidak. Aku bukan cenayang. Aku mendeskripsikan perasaan kamu dari ilmu yang aku pelajari. Masih tidak mau cerita nak?"     

"Ustad aku tidak tahu cerita darimana." Alvin menggaruk kepalanya.     

"Cerita saja dari awal. Mari bercerita sesama laki-laki." Fatih menunjuk kursi malas, meminta Alvin duduk di sampingnya.     

Alvin menuruti perintah dari Fatih. Ia berjalan selangkah demi selangkah. Ketika Alvin menduduki kursi, Fatih merangkulnya.     

"Ceritakan arti gambar ini nak! Aku siap mendengarkannya."     

"Benaran ustad mau dengar curhatan aku?"     

"Benaran dan aku siap mendengarkan semua keluh kesahmu." Fatih mengelus puncak kepala Alvin dengan kasih sayang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.