Jodoh Tak Pernah Salah

Part 227 ~ Tangisan Dian ( 4 )



Part 227 ~ Tangisan Dian ( 4 )

0Hati Fatih sangat tercabik melihat keadaan Dian. Tak bisa dibayangkan jika gadis lima belas tahun, diperkosa dan hamil akibat pemerkosaannya. Dian tak hanya mengalami kekerasan seksual tapi juga mengalami pergulatan batin. Tak mudah anak remaja menghadapi masalah sepelik itu.     
0

Tak mudah melalui semua ini. Dian sangat hebat dan bahkan luar biasa menghadapi masalahnya. Sosok yang dulu lemah terlihat sangat kuat. Sangat disayangkan Dian melampiaskannya pada Alvin padahal anak itu tak tahu apa-apa. Alvin pun tak pernah minta dilahirkan dan memiliki sosok ayah yang bajingan.     

"Aku kuat kak. Aku kuat. Aku tidak lemah seperti dulu. Aku tak boleh menangis," kata Dian berusaha tegar setegar karang seraya menyeka air matanya.     

"Kamu kuat Dian. Bukti kamu kuat kamu bisa melahirkan Alvin dengan selamat ke dunia ini. Tidak mudah bagi anak enam belas tahun yang memiliki trauma pemerkosaan melahirkan seorang anak. Kamu sudah menjadi Ibu yang hebat."     

"Aku bukan Ibu yang hebat kak. Aku bahkan membenci anak yang aku lahirkan. Dia darah dagingku tapi aku membencinya. Aku membencinya."     

"Dian aku mengerti kenapa kamu bersikap seperti itu. Kamu masih trauma dengan kejadian itu. Apalagi kamu mengatakan Alvin sangat mirip dengan dia. Trauma kamu muncul lagi ketika melihat Alvin. Tapi bagaimana pun Dian. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Alvin tidak salah dan dia juga korban. Bayi lahir ke dunia dalam keadaan suci. Ia tidak tahu apa-apa. Lawanlah rasa trauma kamu. Jika kamu bisa kuat seperti sekarang pasti kamu juga kuat menghadapi Alvin. Ingatlah dia Alvin anak yang kamu lahirkan bukan laki-laki yang menyebabkan dia lahir ke dunia ini."     

"Tapi kak..."     

"Pejamkan matamu. Sugesti diri kamu. Jika Alvin adalah Alvin bukan laki-laki itu. Kamu ibunya. Dia anak yang baik. Jangan sia-siakan Alvin sebelum kamu menyesal Dian. Ingatlah Alvin tidak pernah minta dilahirkan ke dunia ini. Dia juga korban sama seperti kamu. Berikan kasih sayang kamu padanya, bahagiakan dia. Berikan dia apa yang selama ini tidak pernah kamu berikan. Obati luka di hatinya. Insya Allah jika kamu mengubah sikapmu, kelak Alvin akan berubah jadi lebih baik. Tidak suka memukul teman dan memalsukan nilai akademis."     

Dian menutup matanya dan mulai mensugesti dirinya. Dian mengambil napas dan membuangnya. Ia pusatkan pikirannya pada hal-hal yang positif. Cukup lama Dian melakukannya. Dian membuka matanya.     

"Sudah lebih baik?"     

"Sudah kak."     

"Dian."     

"Iya kak."     

"Aku sarankan kamu ikut terapi DMT. Masih jarang sich di Indonesia tapi bagus dan menyenangkan bagi kamu melakukannya."     

"Apa itu DMT kak?"     

"Dance Movement Therapy ( DMT) atau terapi menari merupakan salah satu jenis terapi yang memberikan manfaat secara mental dan emosi bagi tubuh kita.DMT memfokuskan pada kesinambungan gerakan tubuh dan emosi. Melalui terapi ini, terapis akan menggunakan gerakan untuk membantu klien mencapai intergrasi emosi, kognitif, fisik, dan sosial. Terapi ini dapat membantu mereka mereduksi stress dan mengontrol mood. Selain itu, dengan ditemukannya hubungan antara gerakan tubuh dengan emosi, terapi ini juga mampu meningkatkan kemampuan komunikasi. DMT mampu membuat seseorang merasakan rumah terhadap tubuhnya sendiri. Khususnya, terapi ini penting bagi mereka yang mengalami trauma, cedera, atau penyakit yang berdampak pada kondisi tubuh misalnya saja pada orang-orang yang mengalami gangguan akan, gangguan kesehatan mental seperti adiksi, kecemasan dan depresi. Keefektifan terapi ini telah dirasakan oleh anak-anak yang memiliki gejala autisme, kebutuhan emosional, dan kesulitas belajar. DMT juga seringkali digunakan ketika bekerja dengan orang yang lebih tua untuk meningkatkan semangat mereka. Menari merupakan salah satu metode art therapy. DMT tidak menekankan pada keindahan gerakan namun memadukan gerakan bebas, ekspresi emosi, dan imagery."     

"Aku akan coba kak."     

"Jika mau aku punya kenalan terapis DMT. Di Indonesia sendiri masih langka terapi ini. Untuk kamu aku sarankan terapi DMT."     

"Kak terima kasih kak atas semuanya. Jika tidak ada kamu mungkin aku tidak tahu jika Alvin....."     

"Sudahlah jangan dibahas lagi Dian. Mari ikut denganku ke aula. Alvin ikut lomba puisi. Lebih baik kamu nonton dan semangati dia."     

Dian dan Fatih berjalan bersama menuju aula. Hiruk pikuk lomba sudah terasa kala mereka masuk pintu aula. Penonton telah membludak dan bahhan ada juga supporter tiap-tiap peserta. Dian seperti menonton lomba menyanyi di televisi. Euforianya sama dan yel-yel supporter membangkitkan semangat para peserta.     

Fatih mendekati panitia, bertanya apakah Alvin sudah tampil apa belum. Panitia menjawab belum. Kursi sudah terisi penuh, terpaksa Dian dan Fatih berdiri menunggu Alvin tampil.     

"Ingatlah mulai detik ini Alvin bukan adik yang kamu benci tapi anak yang kamu sayangi." Fatih mensugesti Dian.     

Dian tak mengerti puisi apa yang dibacakan oleh peserta karena berbahasa Arab. Ketika mereka bicara dalam bahasa Indonesia baru Dian mengerti.     

Alvin naik ke atas panggung. Dian terharu dan gemetar melihat anaknya tampil.     

"Lihat Dian anak kamu tampil." Fatih menyemangati.     

Alvin melihat lurus ke depan. Remaja empat belas tahun itu melihat sosok Dian. Alvin tersenyum melihat kakaknya menonton lomba. Ini pertama kalinya Dian melihatnya mengikuti lomba di sekolah.     

'Entahlah aku tidak mengerti     

'Aku hanyalah seorang remaja yang baru bertumbuh menatap dunia     

'Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi di dunia ini ketika aku belum dilahirkan     

'Entah kenapa kebenciannya selalu melekat pada diriku     

'Keluarga adalah tempat kita bersandar     

'Namun aku tak pernah merasakan kebahagiaan dalam keluarga     

'Kebenciannya padaku telah mendarah daging     

'Dia membenciku....     

'Dia sangat membenciku tanpa aku tahu apa kesalahanku     

'Jika aku bisa memilih...     

'Aku tak akan menjadi adiknya     

'Jika hanya kebencian yang dia berikan padaku     

'Berapa banyak aku menangis, berkecil hati     

Menerima kasih sayang yang tak pernah sama     

'Kak.....     

'Aku ini juga adikmu     

'Aku juga butuh cinta dan kasih sayang kamu     

'Dengan apa aku menebusnya kak     

'Agar kamu berhenti membenciku     

'Kak...     

'Dalam lubuk hatiku yang paling dalam     

'Aku tak pernah membencimu     

'Hanya ada cinta dariku untukmu     

'Kak....peluklah aku dan sayangi aku     

'Aku juga butuh sosok seorang kakak     

'Hanya satu pintaku...     

'Sayangi aku dan cintai aku...     

'Seperti kamu mencintai adik-adikmu yang lain     

Alvin menyeka air matanya. Hati gerimis membaca bait demi bait puisi yang ia tulis untuk mencurahkan isi hatinya.     

Jantung Dian terasa diremas. Puisi Alvin menancap di ulu hatinya. Ia benar-benar tertohok. Dian menyadari kesalahannya jika selama ini dia telah bersikap tak adil pada Alvin. Kemiripan wajahnya dengan ayah biologisnya membuat Dian membencinya.     

Dian tak kuasa menahan bendungan air matanya. Dian berlari menuju panggung. Dian naik ke atas panggung dan memeluk Alvin.     

"Teteh." Bulir air mata Alvin jatuh. Ini pertama kalinya Dian memeluknya. Kado yang sangat spesial untuknya.     

"Alvin, maafkan aku telah menyia-nyiakan kamu selama ini. Maafkan jika menjadikan kamu pelampiasan kemarahanku. Maafkan jika aku tak pernah adil sebagai kakak."     

"Teteh hanya satu pertanyaan Alvin. Apa alasannya teteh membenci Alvin. Apakah karena Alvin anak pungut?"     

"Kamu bukan anak pungut Alvin. Kamu sudah cukup dewasa untuk tahu. Kamu anak kandungku," ucap Dian menyentuh kedua pipi Alvin.     

"Apa?" Alvin tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Pengakuan Dian bak petir di siang bolong untuknya.     

"Kenapa bisa?" Alvin penasaran.     

"Aku akan cerita tapi nanti bukan di panggung ini. Alvin aku menyayangimu."     

Alvin dan Dian berpelukan dalam tangis. Fatih menghapus air matanya. Setidaknya ia telah membantu memperbaiki hubungan ibu dan anak. Interaksi Dian dan Alvin membuat penonton terharu. Mereka memberikan tepuk tangan meriah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.