Arrogant Husband

Saga Naik Pitam



Saga Naik Pitam

Rasa tak enak hati masih menyelimuti perasaan Reva. Ia hanya menumpang tinggal di sini untuk sementara waktu. Namun, pria itu telah memberikan kenyamanan yang begitu besar. Membuatnya merasa sangat dihargai sebagai tamu. Walaupun, rumah Agam terlihat sederhana saja, entah kenapa Reva merasa sangat nyaman berada di sini. Berbeda sekali saat tinggal di rumahnya sendiri.     

"Kenapa ya, di rumah Agam sangat nyaman? Padahal tak ada AC dan tak ada barang mewah lainnya." Reva mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar Agam.     

Reva saat ini tengah merebahkan diri di atas tempat tidur. Ia merasa nyaman tidur di sini. Namun, dirinya juga merasa tak tega kalau Agam yang harus berada di ruang tamu.     

"Apa aku suruh saja Agam tidur di kamar ini berdua denganku? Aku bisa saja tidur di lantai."     

Hari sudah larut malam dan menunjukkan pukul setengah sepuluh. Reva tak tega, kalau membiarkan pria itu sendirian tidur di ruang tamu. Apalagi Agam tak membawa selimut untuk tidur.     

Ia pun melangkah perlahan ke luar dari kamar ini dan hendak menyusul Agam. Reva melihat bahwa pria itu sudah mulai terlelap. Rasa tak tega dalam hati pun muncul lagi. Ia tak mungkin membangunkan orang yang sedang tertidur.     

"Bagaimana ini? Kasian Agam sudah tidur."     

Apakah Reva berbalik arah lagi dan menuju ke kamar, atau tetap dengan keputusannya sendiri untuk membangunkan Agam?     

"Agam, Agam," panggil Reva sambil menggoyang-goyangkan lengan pria itu.     

Setelah itu, Agam mulai membuka kedua matanya. Ia tengah menatap ke arah Reva. Wanita itu berdiri tepat di hadapannya.     

"Reva ... kenapa? Apa perlu sesuatu?"     

"Ikut aku!" Reva membawa bantal dan guling milik Agam.     

Reva menyuruh Agam untuk ikut dengannya. Pria itu hanya menurut saja dan tak tahu dengan rencana Reva selanjutnya.     

"Loh, kok?" Agam heran saat Reva membawanya masuk ke dalam kamar.     

"Kau akan tidur di sini bersama denganku," ujar Reva.     

"Tak bisa, Va, tak bisa."     

"Kenapa? Aku sungguh tak tega melihatmu tidur di luar tak memakai selimut sama sekali. Kau nanti akan kedinginan." Entah kenapa, Reva jadi peduli padanya. "Aku bisa kok, tidur di lantai situ dan kau yang di atas ranjang."     

"Jangan!" Agam melambaikan tangan ke arah Reva. "Biar aku saja yang tidur di lantai, kau di atas ranjang saja."     

Agam tak akan membiarkan wanita itu tidur di lantai yang dingin. Biar bagaimanapun, seorang pria harus gentle pada wanita. Agam tak ingin, ucapannya dibantah lagi. Reva pun kali ini menurut saja.     

Wanita itu kini naik ke atas ranjang. Sedangkan, Agam mulai tidur di lantai yang beralaskan karpet. Mata Reva masih menatap lekat ke arahnya.     

"Terima kasih, ya."     

"Untuk apa?" tanya Reva. "Kau tak harus berterima kasih padaku."     

"Karena kau sudah peduli padaku. Kau tidak ingin aku kedinginan tidur di luar kan?"     

"I–iya ...."     

Pria itu lalu menyuruhnya untuk segera tidur, karena sudah larut malam. Reva pun mulai memejamkan kedua mata indahnya.     

***     

Saat ini, Saga sedang berjaga di rumah sakit bersama dengan sang ibu. Sedangkan, Alisa berada di rumah bersama dengan bayi perempuannya.     

"Ibu lapar?" tanya Saga.     

"Tidak. Ibu tak lapar."     

"Ayolah, bu. Jangan seperti ini lagi. Saga tak ingin melihat kondisi ibu kembali drop. Makan sedikit saja, ya. Saga akan belikan sesuatu di luar untuk ibu." Wanita paruh baya itu terlihat mengangguk ke arahnya.     

Saga pun dengan cepat segera ke luar dan mencari makanan di sekitar area rumah sakit. Di sini banyak sekali yang berjualan makanan. Pria itu tak ingin meninggalkan ibunya terlalu lama di dalam.     

Saga celingak-celinguk karena bingung harus makan apa bersama dengan sang ibu. Penjual makanan di sini lumayan banyak. Terlihat beberapa orang yang sedang antre.     

Pria itu pun akhirnya memilih seorang penjual yang jualannya tak banyak dipadati orang lain. Saga langsung meminta dua porsi makanan untuknya dan sang ibu. Tanpa menunggu lama, Saga pun membayar dan lekas kembali lagi.     

Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Joseph juga berada di sini. Untuk apa Joseph datang kemari.     

Lantas, mereka berdua pun saling bertatapan satu sama lain. Baik Joseph atau Saga, masing-masing menatap dengan pandangan tidak suka. Saga pun enggan bertanya untuk apa pria itu ke sini.     

"Ada kau rupanya," tegur Joseph pada Saga. Namun, Saga sama sekali tak tertarik untuk membalas ucapannya.     

Saga memilih untuk meneruskan lagi langkahnya daripada harus berdiam diri sambil memandangi Joseph.     

"Ga, tunggu dulu!"     

"Kenapa?"     

Joseph melangkah perlahan mendekati Saga. Tentu saja, rasa ketidak sukaannya makin menjadi kepada pria itu.     

"Jangan pernah berusaha untuk merebut apa yang telah jadi milikku!" Ucapan Joseph sama sekali tak dimengerti oleh Saga.     

"Apa maksud ucapanmu? Aku merebut apa darimu hah?! Jangan mengada-ngada!" Saga pun memutar badan dan balik lagi masuk ke dalam.     

"Kalau kau sampai merebut punyaku. Akan kurebut juga apa yang sudah jadi milikmu!"     

Merasa diancam seperti itu oleh Joseph, membuat Saga naik pitam. Ia pun langsung memberikan bogem mentah ke arah wajah pria itu. Nasi bungkus pun jatuh dan berhamburan ke tanah. Semua mata pun memandang ke arah mereka berdua.     

"Kurang ajar! Apa maksud ucapanmu tadi hah? Aku merebut apa? Aku tak pernah merebut apa pun darimu!"     

"Jangan pernah kau mencoba untuk menyentuh keluargaku! Kau akan menanggung akibatnya nanti, ingat itu!"     

Saga tak mau kalah. Ia pun memberikan ancaman balik untuk Joseph. Ia tak terima, kalau pria itu dengan tak jelas, malah mengancamnya seperti tadi. Saga melihat nasi bungkusnya sudah jatuh dan berhamburan ke tanah. Maka dari itu, ia berniat akan membeli lagi.     

Tatapan Joseph tajam ke arah Saga yang sedang membeli makanan. Ia merasa dipermalukan seperti ini di hadapan banyak orang.     

'Sial! Dia malah membalik keadaan.'     

Setelah Saga sudah membeli kembali makanannya, ia pun segera masuk ke dalam rumah sakit untuk menemui sang ibu. Tatapan kedua pria itu begitu tajam dan dingin.     

Beberapa menit kemudian, Saga sudah berada di depan sang ibu. Ia minta maaf karena terlalu lama berada di luar.     

"Maafkan aku, bu, tadi banyak yang antre membeli makanan di luar."     

"Tak apa-apa nak."     

Saga menyerahkan sebungkus nasi untuk sang ibu. Bu Angel pun segera menyambutnya. Pria itu menyuruh Bu Angel untuk segera makan.     

Anak dan ibu itu kini sedang menunggu di depan ruangan ICU. Sampai saat ini, Pak Surya masih belum sadarkan diri dari koma yang tengah dideritanya. Membuat semua orang tampak cemas. Mereka tak henti-hentinya berdoa untuk kesembuhan Pak Surya.     

"Ibu makan yang banyak, ya. Aku tak mau, kalau ibu kembali drop seperti kemarin!"     

"Iya, Nak."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.