Arrogant Husband

Perasaan Tak Tega



Perasaan Tak Tega

0Kini, Joseph dan Agam sudah berada di depan kantor polisi. Mereka berdua ingin melihat Reva di dalam. Kedua pria itu melangkah dan masuk perlahan. Bertemu dengan salah satu anggota polisi untuk minta izin menjenguk.     
0

Keduanya terlihat menunggu di ruang tunggu, sedangkan salah seorang polisi sedang memanggilkan Reva ke sini. Agam terlihat sangat gugup ketika hendak bertemu dengan mantan kekasihnya. Begitu pun juga dengan Joseph.     

Tak lama kemudian, Reva pun muncul bersama dengan seorang polisi. Kedua tangannya sengaja diborgol. Wajah cantik Reva terlihat bersedih. Rambutnya yang sering kali tertata rapi, kini menjadi berantakan tak karuan.     

Anggota kepolisian itu meninggalkan Reva untuk bicara dengan mereka. Agam tak kuasa melihat kondisi wanita itu sekarang yang tengah menggunakan baju tahanan.     

"Gam?" panggil Reva. Ia menangis seketika.     

Joseph hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia juga turut sedih karena melihat pemandangan ini.     

"Iya, Va?"     

"Maafkan kesalahan aku, Gam. Maafkan aku." Reva menangis di hadapan Agam.     

Agam pun jadi tak tega melihatnya. Melihat sang mantan menangis, membuatnya merasa bersalah sendiri. Berulang kali, Reva mengucapkan permintaan maaf.     

'Andai saja, aku tak berkata jujur dengan Saga, maka Reva sekarang masih bebas. Ah, entah kenapa aku jadi labil seperti ini!'     

Melihat tangisan Reva pecah, membuat Agam juga ikut menitikkan air mata. Joseph yang berada di situ hanya bisa diam saja, ia tak ingin mengucapkan sepatah kata pun.     

"Aku sangat mencintaimu, Gam," ucap Reva. "Aku ingin kembali lagi padamu. Tapi, aku sadar diri dan kau pasti tak akan menerimaku lagi, iya kan?"     

Memang benar, Agam tak akan bisa lagi kembali pada Reva karena sudah dibohongi seperti ini. Namun, di lubuk hati terdalam, masih ada sedikit rasa sayang sekaligus tak tega.     

"Aku sudah memaafkan kesalahanmu, Va. Tapi, kalau untuk kembali lagi, maaf aku tak bisa melakukannya. Semoga kau segera bertobat pada Tuhan. Mohon ampun dan kau berlaku baik, ke jalan yang benar," ucap Agam yang menasihati Reva.     

Wanita itu terdiam, mencoba menyerap kata-kata yang disampaikan oleh Agam tadi. Mereka berdua tak bisa berlama-lama menjenguk di sini, karena waktunya terbatas. Reva paham dengan hal itu. Beberapa menit ke depan, Agam dan Joseph akan pulang.     

"Semoga kau di sini dalam keadaan baik-baik saja, Va." Agam bicara lagi dan mendoakan agar Reva sehat selalu.     

"Terima kasih, Gam. Kau sangat baik. Aku tak salah memilihmu."     

Waktu untuk menjenguk pun akhirnya sudah habis. Agam dan Joseph pamit pada Reva. Wanita itu menyeka air matanya dan mengangguk.     

"Ya sudah, aku dan Joseph pulang dulu ya. Dengar baik-baik ucapanku tadi, Va."     

"Iya, Gam. Terima kasih karena kalian sudah datang ke sini."     

Joseph tersenyum ke arah Reva. Wanita itu balas tersenyum padanya. Ia dan Agam pun segera melangkah ke luar. Setelah ini, Joseph akan mengantar Agam pulang ke rumah.     

***     

Agam berterima kasih karena Joseph sudah mengantarnya pulang. Ia mempersilakan pria itu untuk masuk ke dalam rumah. Joseph pun masuk, karena masih ada beberapa hal yang ingin dibicarakan.     

"Silakan duduk, Jo." Setelah mempersilakan Joseph untuk duduk, Agam melangkah ke dapur untuk membuatkan minuman.     

Pria itu menunggu kedatangan Agam dari dapur. Joseph menatap ke sekitar ruang tamu Agam. Terlihat sederhana, tapi bersih. Pria itu begitu menjaga kebersihan rumahnya.     

Tak berselang lama, muncullah Agam sambil membawa dua buah jus jeruk di atas nampan. Pria itu menyodorkan satu gelas pada Joseph.     

"Jo, ayo diminum."     

"Makasih, Gam. Harusnya kau tak perlu repot-repot seperti ini."     

"Ah, aku tak merasa direpotkan sama sekali."     

Setelah meneguk sedikit isi minumannya, Joseph meletakkan kembali gelas itu. Ia ingin bicara dengan Agam.     

"Gam, bisa kita bicara?"     

"Tentu saja."     

"Aku melihat bahwa kau masih menyimpan sedikit rasa pada Reva. Matamu tak bisa didustai, Gam."     

Mendengar ucapan Joseph, Agam tak menyangkalnya sama sekali. "Entah kenapa, tadi aku merasa kasihan pada Reva. Dia menangis dan aku jadi tak tega melihatnya begitu."     

Joseph menepuk-nepuk bahu Agam. Ia tahu, pria di depannya saat ini memang berhati baik. Agam tak pernah berbuat jahat, beda halnya dengan Reva. Wajar saja, pria itu bersedih dan merasa tak tega, karena mereka berdua dulunya pernah menjalin hubungan.     

"Kita doakan saja agar Reva bisa segera bertobat dan tak melakukan hal yang sama lagi," ucap Joseph.     

"Iya, semoga saja. Apakah ibunya Saga sudah tahu tentang hal ini?"     

"Sepertinya masih belum. Saga masih merahasiakan ini pada ibunya, karena dia tak ingin kalau Bu Angel terlalu memikirkan hal ini."     

Agam terlihat mengangguk. Menurutnya, apa yang diucapkan oleh Joseph memang benar. Saga sudah pasti lebih mengkhawatirkan keadaan sang ibu agar tak berlarut dalam kesedihan. Apabila Bu Angel tahu, maka rasa sakit hatinya akan bertambah.     

Sebelum berniat pulang ke rumah, Joseph terlihat bersantai dulu di rumah Agam. Mereka sama-sama berbincang. Ia merasa nyaman berada di sini.     

"Oh, ya, sebentar lagi aku akan pulang, Gam."     

"Kenapa buru-buru sekali ingin pulang? Nanti saja, Jo. Temani aku di sini. Entah kenapa, aku selalu merasa kesepian hanya tinggal seorang diri saja." Agam tampak tertunduk lesu.     

Joseph pun mencoba bertanya perihal keberadaan kedua orang tua Agam. "Kalau aku boleh tahu, di mana orang tuamu Gam? Aku tak pernah melihat mereka."     

Agam tersenyum ketir dan menjawab dengan perasaan sedih. "Mereka sudah tiada, Jo. Mereka sudah berada di surga."     

Joseph jadi merasa bersalah karena bertanya hal yang sensitif ini pada Agam. Ia melihat pria itu terlihat pura-pura tegar. Padahal hatinya sungguh hancur. Ia meminta maaf karena telah lancang berucap.     

"Astaga, maafkan aku, Gam. Aku sungguh tak mengetahui hal ini. Aku sungguh minta maaf."     

"Jangan merasa bersalah seperti itu, Jo. Kau bertanya dan aku menjawabnya. Semua itu wajar kok. Lagi pula, aku sudah ikhlas melepaskan kedua orang tuaku."     

Agam berusaha setegar mungkin. Ia tak mau terlihat lemah di mata Joseph. Pria yang sudah menjadi temannya itu, tak boleh melihatnya rapuh. Sampai sekarang, Agam sering kali tengah merindukan kedua orang tuanya. Ia masih tak terima dengan keadaan ini.     

Kehilangan kedua orang tuanya, membuatnya terpaksa harus mencukupi kebutuhan sendiri. Banting tulang bekerja dari pagi sampai sore. Namun, Agam berusaha untuk tak mengeluh, apa pun hasil yang ia dapatkan. Ia selalu mensyukuri semua itu.     

"Gam, sungguh ... aku minta maaf padamu." Joseph merasa tak enak dan berulang kali meminta maaf karena telah lancang bertanya seperti itu.     

"Ya Tuhan. Santai saja, Jo. Aku tak mempermasalahkannya sama sekali."     

"I–iya, Gam. Terima kasih."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.