Arrogant Husband

Apakah Tidak Ada Kesempatan?



Apakah Tidak Ada Kesempatan?

0Melati saat ini sedang perawatan rambut karena disuruh oleh Joseph. Namun, ia sangat merasa senang. Kapan lagi, Melati bisa seperti ini.     
0

Ia tersenyum senang ke arah Joseph yang duduk tak jauh darinya. Pria itu selalu menemaninya kapan saja. Melati seperti mempunyai seorang anak buah yang siap berjaga.     

Joseph melihat Melati yang tampak senang karena ini. Itu semua ia lakukan agar sang kekasih merasa nyaman saat berada di dekatnya.     

"Sayang, bagaimana? Apa kau suka dengan perawatannya?"     

Wanita itu mengangguk dengan cepat. "Tentu saja. Di sini pelayanannya begitu ramah." Melati memandangi seorang wanita yang berdiri di sampingnya.     

Setelah perawatan rambut, maka dilanjutkan dengan pedicure dan manicure. Sang kekasih tampak sangat menikmati berada di salon kecantikan ini. Joseph tak mempermasalahkan berapa biayanya yanv terpenting ia merasa puas melihat Melati tampil cantik di depannya.     

Hingga tak terasa waktu bergulir, maka perawatan yang dilakukan oleh Melati sudah berakhir. Joseph dibuat takjub dengan penampilan sang kekasih yang semakin cantik dengan gaya rambut di-blow. Wajah Melati pun semakin glowing karena perawatan wajah juga.     

Joseph lantas menggelengkan kepala. "Ya ampun, Sayang, kau terlihat cantik sekali," pujinya.     

"Kau bisa saja, Sayang."     

Melati sangat berterima kasih sekarang pada sang kekasih. Pria itu begitu memperhatikannya dengan tulus. Setelah itu, Joseph segera membayar biaya perawatan Melati. Wanita itu mengekor di belakang dan menyaksikan dengan penuh takjub ketika Joseph membuka dompet dan menampilkan lembaran uang berwarna merah yang banyak serta kartu kredit berjejer rapi di dalam.     

'Ya Tuhan, apakah itu uang semua?'     

Melati geleng-geleng kepala menatapnya. Joseph tersenyum tipis dan merangkulnya agar semakin mendekat.     

"Sayang, kau senang kan?"     

"Tentu saja. Kau ini memang sangat tahu ya, bagaimana cara memperhatikan seorang wanita."     

"Yang penting kau bahagia, Sayang. Aku akan melakukan apa saja," ujar Joseph yang memandang manik mata Melati dengan dalam.     

Baper. Hanya satu kata itulah yang menggambarkan perasaan Melati sekarang ketika bertatapan dengan Joseph. Pria itu semakin dalam menatap matanya. Semakin lama Joseph menatap, maka debaran di jantungnya kian meronta-ronta.     

Joseph tahu, sekarang Melati sedang terlihat salah tingkah. Namun, entah kenapa dirinya suka melihat wanita itu seperti ini. Ia pun terus membuat Melati salah tingkah.     

"Hm, lihatlah ... kedua pipimu jadi merah merona seperti ini." Joseph menunjuk ke arah pipi Melati.     

Berusaha menghindar agar tak digombali oleh Joseph lagi. Melati bergegas masuk ke dalam mobil. Wanita itu sudah duduk di samping kursi kemudi. Joseph pun menyusulnya dan masuk ke dalam.     

"Aku sangat menyukai tingkahmu yang seperti ini, Mel."     

"Tingkah yang seperti apa?" tanya Melati.     

"Jangan berubah, ya. Tetap seperti ini. Menjadi Melati-ku." Joseph tersenyum manis ke arah Melati, sebelum melajukan mobilnya.     

Mereka berdua saling bertatapan dan irama detak jantung pun kian tak terkontrol. Melati segera menyuruh Joseph untuk mengantarnya pulang ke rumah. Ia tak bisa kalau berlama-lama dalam keadaan seperti ini.     

'Ya Tuhan, semoga jantungku aman.'     

***     

Agam duduk melamun saat jam istirahat. Ia masih berada di bar dan tak ingin makan siang. Sedangkan, teman-temannya yang lain tampak membawa makanan di tangan masing-masing.     

Salah satu teman kerja Agam tampak mendekat. Mereka lantas saling melemparkan senyuman.     

"Gam, kau tak makan siang kah?"     

"Tidak, Bro. Aku masih kenyang."     

"Loh, tumben kau seperti ini. Apa lagi ada masalah?"     

Ya, tentu saja Agam sedang punya masalah sekarang. Ia terus memikirkan Reva di dalam sel tahanan. Wanita itu selalu terbayang-bayang di dalam pikirannya.     

'Reva sedang apa sekarang? Apakah dia sudah makan? Dan, apakah dia tidur malam tadi dengan nyenyak?'     

Karena melihat Agam yang melamun terus, maka teman di sebelahnya pun tampak menepuk bahunya sedikit keras. Agam pun jadi tersadar.     

"Kalau kau sedang ada masalah, cerita saja padaku, Gam."     

"Aku sedang memikirkan Reva. Dia sekarang berada di dalam penjara."     

Sang teman juga turut sedih akan hal ini. Agam sudah menceritakan semua itu pada salah satu teman kerjanya. Mereka berdua tampak berbincang dengan serius. Bahkan Agam terlihat meminta saran padanya.     

"Aku masih mencintainya, Bro. Tak gampang melupakannya begitu saja. Reva menjadi wanita yang bisa menjerat hatiku dari dulu hingga sekarang," ujar Agam.     

"Kalau kau masih mencintainya, maka kejarlah terus, Gam. Jangan biarkan Reva merasa sendiri dalam menjalani hidup. Biar bagaimanapun juga, kalian berdua pernah bersama dulu."     

Agam mengangguk-angguk mendengar jawaban dari sang teman dan menghargainya. Namun, di satu sisi, ia juga masih merasa kecewa karena Reva nekat membunuh Pak Surya. Lantas, itu sudah terjadi dan menjadi takdir.     

"Walaupun begitu, di matamu Reva adalah wanita yang baik, kan?"     

"Iya, dia sangat baik padaku. Dia adalah wanita yang penyayang."     

Agam akan terus berada di samping Reva. Ia tak akan meninggalkannya begitu saja. Rasa cintanya dulu masih tetap sama sampai sekarang. Benar saja, Reva saat ini pasti perlu sebuah dukungan untuk terus menyemangati hidupnya.     

"Baiklah, pertahankan, Gam." Teman Agam menepuk-nepuk pundaknya cukup keras. "Aku akan ke sana dulu sebentar."     

"Ya, silakan."     

Sebentar lagi, jam istirahat akan segera habis. Namun, Agam masih juga belum mencicipi makanan.     

"Aku tak selera makan sekarang. Pikiranku hanya tertuju padamu saja, Va."     

Ia pun berencana akan berkunjung ke kantor polisi lagi setelah pulang kerja nanti. Sungguh, rasa ini membuat menjadi rindu pada Reva. Wanita itu sudah membuat hati dan pikirannya jadi tak karuan.     

Andai saja, Reva tak melakukan sebuah kejahatan besar, maka ia dan wanita itu akan tetap bersama sampai sekarang. Cinta mereka berdua akan terus terjalin. Keduanya juga sudah merencanakan sebuah pernikahan. Namun, semua itu hanya khayalan belaka. Agam lalu tertunduk dan wajahnya murung, setiap kali mengingat hal itu.     

"Kenapa semua ini terjadi Ya Tuhan? Aku kasihan sekali pada Reva, harus menjalankan hukuman selama itu."     

Hati Agam langsung terasa sesak, karena memikirkan masalah ini lagi. Tak terasa, air matanya jatuh merintik. Kemudian, segera ia hapus karena tak mau terlihat cengeng.     

"Satu yang pasti, semua manusia pasti punya kesalahan, tak terkecuali Reva. Di samping itu, ia sangat baik padaku. Apakah sudah tak ada lagi kesempatan untukmu bertobat?"     

Akhirnya, jam istirahat pun telah selesai. Kini, waktunya untuk kembali bekerja lagi dan mencoba untuk menjauhkan bayang-bayang wajah Reva sekarang. Ia harus terlihat profesional.     

"Aku yakin, kau juga pasti merindukanku di sana, Va. I love you. Hari ini aku akan ke sana untuk menemuimu."     

Beberapa saat kemudian, ada pelanggan yang meminta segelas wine. Agam pun tak menolak dan lekas menakar wine itu di atas gelas yang berukuran kecil.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.