Arrogant Husband

Tak Ada Harapan



Tak Ada Harapan

0"Kurasa ini sudah cukup, Jo. Jangan terlalu banyak membelikanku barang-barang seperti ini." Melati sedang membawa barang-barang belanjaannya di kedua tangan.     
0

"Tidak apa-apa, Sayang. Lagi pula ini baru pertama kali aku membelikanmu barang sebanyak ini, kan?"     

Joseph segera mengambil alih barang belanjaan milik Melati ke bagasi mobil. Mereka berdua akan segera pulang ke rumah.     

"Iya, Sayang. Aku tahu, tapi–"     

"Sudahlah, Sayang. Jangan kau pikirkan lagi, ya. Ayo, kita segera pulang saja."     

Setelah Joseph meletakkan semua barang Melati ke dalam bagasi mobil, ia pun melangkah dan duduk di balik kemudi. Sang kekasih sudah berada di sampingnya. Pria itu bersiap untuk menyalakan mesin mobil dan lekas berlalu dari halaman mall mewah ini.     

Melati hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia sangat berterima kasih sekali pada Joseph karena sudah membelikannya barang-barang sebanyak ini. Namun, di satu sisi, dirinya merasa tak tega kalau sang kekasih membelikannya barang serta tak terbiasa hidup dengan kemewahan.     

Terlahir dari keluarga yang sederhana, kehidupan Melati jauh sekali dari kata mewah. Wanita itu harus banting tulang untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari agar dirinya bisa membayar kontrakan setiap bulan.     

"Hei, kau melamunkan apa, Sayang?" Joseph melihat kekasihnya sedang melamun. Ia pun berhasil menyadarkan Melati dari lamunannya itu.     

"Ah, tidak ada, Sayang."     

"Jujur saja. Cerita padaku tentang apa yang kau pikirkan."     

Joseph akan membantu sebisa mungkin kalau memang Melati sedang ada dalam masalah. Ia tak mau kalau sang kekasih malah terbebani dengan sesuatu.     

"Kalau kau ada masalah, ceritakan saja. Aku akan membantumu, Sayang."     

"Aku tidak ada masalah apa pun. Tapi–"     

"Tapi?" Joseph penasaran dengan lanjutan kalimat yang tiba-tiba terpotong oleh Melati. Wanita itu selalu saja membuatnya penasaran.     

"Apa kau tidak merasa malu berpacaran denganku?" tanya Melati kepada Joseph. "Aku hanya orang miskin, Sayang."     

"Aku tidak malu berpacaran denganmu. Aku tulus mencintaimu. Bagiku, kau sangat berarti." Joseph menoleh sekilas ke arah Melati. Kemudian, dirinya fokus menatap ke arah jalan.     

Dua sejoli itu tersenyum. Hati Melati merasa lebih lega dari sebelumnya. Ia takut, kalau hanya mengecewakan Joseph saja.     

Cinta Joseph pada Melati memanglah tulus. Dari awal bertemu saja, pria itu sudah merasa jatuh hati. Pandangan pertama itulah yang membuat hatinya semakin bersemi. Makin ke sini, Joseph semakin memberi perhatian dan menaruh hati pada wanita itu lebih dalam. Ia juga telah merencanakan pernikahan dengan sang kekasih tercinta.     

Tak mau berlama-lama lagi untuk bersatu dalam sebuah bahtera rumah tangga, Joseph akan segera menggelar pesta pernikahan bersama dengan Melati. Hanya dengan wanita itu, ia yakin dan merasa dicintai dengan tulus. Berbeda sekali dengan Reva yang hanya memanfaatkannya saja.     

"Nanti kau akan langsung pulang atau ke rumah dulu?" tanya Melati.     

"Aku pulang saja, Sayang. Nanti aku akan menemuimu lagi."     

"Baiklah kalau begitu."     

Setelah mengantar Melati, Joseph akan segera pulang ke rumah. Waktunya bersama dengan sang kekasih sudah lumayan lama. Mereka jalan-jalan menghabiskan waktu bersama di mall tadi. Ia tak mau membuat wanita itu jadi kelelahan.     

***     

Joseph tak langsung pulang ke rumah, melainkan ingin menjenguk Reva yang berada di sel tahanan. Walaupun sudah tak mempunyai perasaan apa pun lagi, tapi tetap saja wanita itu pernah singgah di hatinya. Joseph tak tega melihat Reva sendirian di sana tanpa ada yang menemani.     

"Reva ...."     

Ia terkejut melihat kondisi Reva sekarang yang makin hari, semakin kurus saja. Wanita yang dulunya bertubuh sintal dan seksi, kini terlihat tak begitu menggairahkan lagi. Joseph duduk berhadapan dengan Reva.     

"Jo?" panggil Reva. "Kenapa kau datang ke sini?"     

"Aku hanya ingin mengetahui kondisimu saja sekarang, Va. Dan, ternyata ...." Joseph berhenti bicara. Matanya menatap ke arah Reva saja.     

"Kenapa? Aku tak cantik lagi. Iya kan?" Reva tersenyum tipis. Wanita itu sontak geleng-geleng kepala.     

"Bukan itu maksudku, Va. Tapi, kau sekarang semakin terlihat kurus," ucap Joseph.     

"Iya. Memang sekarang aku kurus, Jo. Karena aku tak bebas berada di sini. Aku banyak pikiran!" balas Reva yang sedikit meninggikan suaranya.     

Pria itu menunduk lemas. Ia merasa kasihan dengan Reva sekarang. Terlebih lagi saat wanita itu harus dijatuhi hukuman selama dua puluh tahun penjara akibat terjerat pasal pembunuhan berencana terhadap Pak Surya. Kini, Reva harus mendekam di sel tahanan dalam waktu selama itu.     

Reva tak punya penyemangat lagi sekarang. Wanita itu hanya seorang diri saja menjalani kehidupannya di sini. Berada di dalam sel pun, tak ada yang dekat dengannya.     

"Va, aku mohon agar kau jangan berpikiran yang tidak-tidak selama berada di sini. Jaga kondisi kesehatanmu."     

"Alah! Kau tak usah peduli padaku, Jo! Aku tak butuh perhatian darimu. Sejak berada di sini, aku sudah merasa mati. Tak ada gairah untuk hidup lagi."     

"Hei, kau jangan bicara seperti itu, Va! Biar bagaimanapun juga, Tuhan sudah memberikan kehidupan padamu. Harusnya kau tak berucap seperti itu."     

Reva pasrah sekarang. Tak ada gunanya lagi hidup di dunia ini sekarang. Menjalani masa tahanan yang lama membuatnya terkekang. Terlebih lagi, ketika tak bisa bersama dengan Agam seperti dulu. Ia kemudian tertunduk lesu.     

"Va, jangan menyerah. Siapa tahu, masa hukumanmu nanti dikurangi," ucap Joseph.     

"Aku tak yakin, Jo. Sudahlah, berhenti untuk memberiku semangat seperti ini!"     

Joseph hanya mengembuskan napas panjang. Reva saat ini sedang dalam keadaan tertekan ketika berada di sini. Apa yang harus dilakukan agar Reva tak drop seperti ini?     

"Aku pun tak bisa berharap lebih pada Agam, Jo. Aku yakin, kalau dia tak bisa menungguku lebih lama lagi." Reva tersenyum kecut menghadapi kenyataan ini.     

Joseph hanya diam saja. Tak tahu harus membalas ucapan Reva seperti apa.     

"Mungkin nanti, dia akan meninggalkanku sendiri dan memilih pergi bersama dengan wanita lain. Dia tak akan bisa menungguku selama dua puluh tahun. Entah aku bisa ke luar dari sini atau mungkin juga aku akan tiada di sini," ucap Reva panjang lebar.     

"Va, aku mohon jangan bicara seperti itu! Aku tak tega mendengarnya." Joseph meminta Reva untuk berhenti bicara tentang hal itu.     

"Memang benar, Jo. Untuk apa Agam harus menungguku selama itu? Mending dia memilih wanita lain dan melanjutkan hidupnya."     

"Tapi, Agam sangat mencintaimu, Va."     

"Iya, aku tahu. Tapi, dia tak akan mungkin bisa menungguku selama itu. Pria seperti Agam pantas untuk bahagia, Jo. Dia lebih pantas bersama dengan wanita lain daripada bersamaku." Reva akhirnya menitikkan air mata karena terus saja membahas tentang Agam. Ia mencintai Agam melebihi dirinya sendiri, tapi Reva tak akan mungkin bisa memiliki pria itu sepenuhnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.