Arrogant Husband

Kawan yang Baik



Kawan yang Baik

0Saga tengah bermain bersama dengan anak dan juga istrinya. Pria itu berbaring di atas tempat tidur. Saat ini, si kecil lagi berada di gendongan Alisa sambil memainkan sebuah boneka. Kehidupan mereka sekarang menjadi berwarna karena ada Lalisa kecil.     
0

Si kecil masih belum tidur juga sekarang. Saga merasa sedikit capek dan ingin segera tidur, tapi tak enak kalau meninggalkan sang istri tidur lebih dulu. Ia tak ingin kalau hanya Alisa saja yang menjaga sang anak.     

Pria itu terlihat menguap berkali-kali. Matanya pun agak sedikit merah dan berair. Alisa lantas menyuruhnya untuk tidur lebih dulu.     

"Sayang, sebaiknya kau tidur duluan saja. Nanti aku menyusul. Kau terlihat sangat lelah sekali," ucap Alisa sembari membelai wajah Saga dengan sebelah tangannya.     

"Tidak, Sayang. Nanti saja. Aku ingin tidur bersama denganmu."     

"Sayang, jangan paksakan dirimu. Kau sudah ngantuk dan menguap berkali-kali."     

Tubuh Saga saat ini sangat lelah. Pria itu bahkan ingin sekali tidur. Namun, rasa tak enak seketika menghampiri karena tak mau meninggalkan Alisa untuk tidur lebih dulu.     

Si kecil tiba-tiba menangis kencang. Kemudian, Alisa ingin menyusuinya karena tahu bahwa sang anak merasa haus dan lapar. Mata Saga jadi fokus menatap ke arah dada sang istri.     

"Sayang, sudah lama aku tak merasai itu," ujar Saga.     

"Merasai apa?" tanya Alisa yang sedikit sewot. Ia bisa melihat mata suaminya ke arah dadanya.     

"Itu, Sayang. Aku ingin menjilatnya nanti, ya."     

Saga terkekeh pelan, sedangkan Alisa langsung sewot. Wanita itu tak ingin membalas ucapan Saga lagi. Ia fokus menyusui sang anak.     

Merasa didiamkan seperti ini oleh sang istri, Saga pun membujuk Alisa. Wanita itu mendengkus ke arahnya.     

"Sayang, lebih baik tidur saja sekarang. Besok malam saja jatahnya, ya!" ujar Alisa yang sedikit tegas pada Saga.     

"Loh, kok begitu sih?"     

"Ayolah, Sayang. Besok malam saja ya." Alisa memohon pada Saga untuk memberikan jatah kepada Saga.     

Saga hanya mengangguk lemah, lalu mengembuskan napas panjang. Ia pasrah dan tak memaksakan kehendak pada Alisa.     

"Baiklah, Sayang. Kalau begitu aku tidur duluan saja, ya," ucap Saga.     

Sebelum tidur, Saga mengulum bibir sang istri terlebih dahulu. Ia sekarang tak akan memaksa Alisa untuk melakukan hal apa pun. Setelah dirasa cukup mencumbu bibir Alisa, ia pun membaringkan tubuh dan memejamkan mata.     

Alisa melihat suaminya tampak sangat lelah hari ini. Ia juga menatap ke arah sang anak yang mulai tertidur lelap. Setelah si kecil terlelap, maka Alisa juga akan tidur di samping Saga.     

Akhirnya, si kecil sudah tidur juga. Alisa segera meletakkan sang anak di dalam keranjang. Setelah itu, ia merebahkan diri di samping suaminya. Saga ternyata sudah tidur pulas. Terdengar suara dengkuran yang ke luar dari mulutnya.     

"Kau begitu lelah rupanya, Sayang." Alisa meletakkan sebelah tangannya ke atas dada Saga. Ia juga mendekatkan wajahnya ke wajah Saga.     

Alisa sangat sayang dan mencintai suaminya dengan setulus hati. Ia tak akan pernah meninggalkan Saga sedikit pun. Mereka akan selalu bersama sampai maut memisahkan. Tak akan ada orang lain yang bisa mengganggu cinta keduanya.     

Sebelum tidur, Alisa masih sempat-sempatnya memandang wajah sang suami. Saga masih saja terlihat tampan di saat tertidur lelap. Pria itu mengeluarkan suara dengkuran yang pada akhirnya membuat Alisa tersenyum geli.     

"Dasar suamiku!"     

***     

Pagi hari, Nina sengaja datang lebih dahulu ke kantor hanya untuk bertemu dengan Agam. Pria itu sudah membuatnya bermimpi tak karuan tadi malam.     

"Masa aku malam tadi mimpinya sedang bercinta sama Agam, sih! Tak jelas sekali mimpi itu," ketus Nina yang masih berdiri di depan pintu masuk.     

Hanya ada beberapa karyawan saja yang baru datang. Namun, Nina masih setia berdiri di sini untuk menunggu Agam datang. Ia akan mengajak pria itu kembali mengobrol seperti kemarin. Sosok pria seperti Agam, memang harus dibuat agresif olehnya.     

"Agam itu pria yang pendiam. Aku tak boleh ikut berdiam diri juga. Pokoknya, aku akan mengajaknya ngobrol lagi."     

Alhasil, jerih payah Nina pun terbayarkan. Ia melihat Agam telah datang dan berjalan masuk ke pintu. Nina pun akan menyambut dengan penuh sukacita, karena cukup lama menunggu kedatangannya     

"Hai, Gam," sapa Nina kepada Agam.     

"Hai juga." Agam terus melangkah menuju arah belakang.     

Sedari tadi, Nina terus saja mengikutinya. Ia bahkan tak menyangka kalau wanita itu mengajaknya mengobrol. Mau tak mau, Agam juga merespons ucapannya.     

"Kau sudah makan, Gam?" Nina bertanya kepada Agam. Saat melihat sorot matanya, jantung Nina berdetak tak karuan.     

"Sudah tadi di rumah. Memangnya kenapa?"     

"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja padamu." Nina merasa sedikit malu sekarang.     

Kemudian, Agam pun segera pamit dari hadapannya karena ingin bekerja. "Nina, aku mau ke belakang dulu, ya. Tak enak kalau dilihat Saga nanti, aku masih tak mengenakan pakaian office boy."     

'Tunggu! Agam memanggil bos hanya dengan panggilan nama saja?'     

"Loh, kenapa memanggil Pak Saga seperti itu? Kenapa tak memanggilnya dengan sebutan 'Pak'?". Nina ingin tahu jawabannya sekarang juga.     

"Aku dan Saga bersahabat, Nin. Dia yang mengajakku untuk bekerja di sini. Aku sangat beruntung bisa kerja di kantor sebagus ini."     

Nina mengangguk-angguk dan ber-oh ria. Jadi, ini adalah suruhan dari bosnya itu.     

"Baiklah kalau begitu. Semoga harimu menyenangkan, Gam!"     

Seulas senyum berhasil diberikan oleh Agam kepada Nina. Wanita itu juga balas tersenyum ke arahnya.     

Nina merasa ada sengatan-sengatan listrik di dalam tubuhnya saat Agam tersenyum seperti tadi. Selain memang punya paras yang rupawan, pria itu juga sopan terhadapnya. Agam selalu menundukkan pandangan mata.     

"Ya, Tuhan memang tak salah lagi kalau aku saat ini jatuh cinta pada Agam!"     

***     

"Ini kopi untukmu, Ga."     

Agam menyodorkan kopi hitam ke atas meja kerja Saga. Pria itu ingin dibuatkan kopi. Setelah membuatkannya, ia pun akan segera ke luar dari ruangan ini.     

"Gam, tunggu!" Saga memanggil Agam.     

Pria itu sontak berhenti saat dipanggil. Agam menoleh ke belakang dan menghampirinya.     

"Ada apa, Ga?" tanya Agam.     

"Tidak ada. Hanya saja aku ingin mengajakmu untuk bicara. Apakah bisa?"     

"Tentu saja bisa. Katakanlah sekarang juga." Agam menyuruh Saga untuk berucap jujur.     

"Entah kenapa, aku terus memikirkan kondisimu, Gam. Kau baik-baik saja kan?"     

Agam langsung mengangguk dan berucap," iya Gam. Aku baik-baik saja sekarang. Tak ada yang perlu dicemaskan lagi," balas Agam.     

"Hm, syukurlah. Aku lega mendengarnya. Aku sangat peduli dengan kondisimu, Gam."     

Agam sangat berterima kaish karena merasa diperhatikan seperti ini oleh Saga. Pria itu bahkan sering mengajaknya untuk makan di luar bersama.     

"Makasih, Ga. Kau memang kawan yang baik."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.