Ciuman Pertama Aruna

III-267. Menggugah Memori



III-267. Menggugah Memori

"Sayang, sebelum menuju hotel, kita belanja dulu," pesan Mahendra ketika perempuan di sampingnya nampak sibuk memainkan handphone. Aruna sedang memesan taksi online.      

.     

.     

Lampu-lampu di dalam gerbong kereta api menyala secara bersamaan. Suara peluit panjang melengking, masuk ke dalam gendang telinga masing-masing manusia yang terjaga.      

Pasar Turi, Surabaya, adalah stasiun tujuan akhir.      

Petugas dengan suara nyaring mengabarkan agar tak satu -pun penumpang meninggalkan barang bawaan.     

Speaker-speaker yang tersaji pada gerbong kereta bersahutan satu sama lain dengan isi pesan dan nada suara yang sama, tatkala lelaki bermata biru tengah sibuk melengkapi punggungnya dengan ransel. Tampak pula tas selempang istrinya berada pada salah satu lengannya. Sesaat ia kembali memeriksa bagasi di atas tempat duduk mereka.      

Mahendra tidak mengijinkan Aruna berdiri sampai kerumunan orang yang mengantri keluar gerbong telah lenggang.      

Mereka menuruni tangga, dimana Mahendra menatap langkah mungil istrinya secara lamat.     

Tangga beroda mengusik posesifnya. Bagaimana jika roda bergeser dan istrinya terjatuh? Berbagai macam pemikiran-pemikiran menghantui lelaki bermata biru.      

"Berkedip lah, Hen!" celetukan Aruna membangunkan pria yang tampaknya menaruh rasa jengkel terhadap tangga beroda.      

"Aku hanya khawatir, roda itu mengganggu," kata lelaki bermata biru kesal. Ia membuntuti perempuan mungil yang kini berjalan santai keluar dari stasiun.      

Hendra beberapa kali memutar kepalanya, dia melirik keberadaan Herry yang ternyata tidak jauh dari keduanya.      

Sedikit konyol ketika dia merasa lebih lega, menyadari Herry ada di sekitarnya.      

Langkah mungil itu tak mau berhenti. Dia menuju pelataran stasiun, hingga keluar ke jalan raya besar. Terus melangkahkan kakinya ke arah kiri sekitar 200 meter, sampai deretan taksi online berjajar disana.      

"Aruna?" seseorang yang mobilnya ditatap si empunya nama, menyapa ramah. Istri Mahendra mengangguk, lalu membuka taksi online tersebut. Sayang sekali, suaminya tak segera mengikuti. Dia dengan mata birunya yang awas, menyadari Herry kebingungan.      

"Sayang, kita mau kemana?" Tanya Mahendra.      

"Kau bilang ingin belanja, dimana tempatnya??" Jawab Aruna, kembali melempar pertanyaan.      

"Em, di mall, mungkin?" Suaranya terdengar meragukan, "Apa kita akan menginap di kota ini?" Mahendra coba memastikan dugaannya.      

"Iya.."     

"Apa hotelnya?" lelaki bermata bertanya lagi, berusaha mencari informasi untuk ajudannya.      

"Aku tahu kamu tidak bisa tidur sembarangan. Jadi kali ini, aku akan memesan sesuai seleramu," perempuan tersebut menarik lengan suaminya supaya lekas masuk.     

_Sebelum tersiksa menuju lereng Bromo_ gumam Aruna menyipitkan matanya -tanda perempuan tersebut menahan tawanya-.      

"Apa hotelnya?" Mahendra mulai jengkel. Perempuan yang tengah duduk dengan nyaman disampingnya, tak menggubris dirinya dengan sungguh-sungguh.      

"JW Marriott Surabaya," Suara Aruna menjawab ringan.      

"Kenapa kau memesan hotel saingan bisnis suamimu?" Suaranya semakin terdengar jengkel setelah mendengar jawaban Aruna.      

"Jadi kamu ingin kita mendapatkan sebuah kalung bunga yang melingkar di kepala kita, sebab keluarga Djoyodiningrat hadir meninjau hotelnya??" celetuk Aruna dengan nada sarkastik.      

"Pesan pakai identitasmu saja, mereka tak akan mengenaliku dengan kaos oblong dan celana santai ini," tukas Mahendra.      

Dengan sedikit perdebatan, mobil membawa keduanya menuju Hotel. Lelaki bermata biru tak lagi menginginkan berbelanja. Dia berharap, keduanya lekas sampai hotel malam ini.     

Selepas mengetahui kemana arah taksi melaju, Mahendra segera memberitahu ajudannya dan membuat pesan untuk membeli penyangga perut ibu hamil.      

Betapa tertantangnya Herry, wajib membeli benda yang seharusnya tugas seorang calon ayah bukan pemuda single seperti dirinya. Rasa enggan menjalankan perintah tuannya, membuatnya melayangkan protes. Akan tetapi Hendra hanya tertawa. Sungguh menyebalkan.      

***     

Degup jantung Thom dan Kiki berdetak hebat.     

Kedua anak manusia tersebut masih berdiri berdekatan dan terperangah bukan main, ketika mereka dapati seseorang dengan hidung lancip, serta sorot mata sendu, keluar dari mobilnya.      

"Ada apa? Kenapa kau terkejut melihatku, Bomb?!" suara Vian sembari tersenyum menyebalkan.      

_oh' jadi Vian yang panggil Kiki dengan sebutan Bomb_ Thom melengkapi pemahamannya.      

Kiki tak merespon sapaan Vian. Akan tetapi, lelaki tersebut tampak tak acuh dengan sikap jutek gadis di hadapannya. Dia lebih tersiksa ketika memandangi baju mahal yang melekat di tubuh Kihrani.      

Barang yang dibelikan oleh Vian,dan Kiki belum sempat mencicil uang dari baju dengan harga fantastis tersebut.      

Kiki merasa sangat menyesal mengenakan baju sialan tersebut. Lebih sial lagi, sepatunya pun pembelian dari Vian.      

"Bajumu sangat cantik," celetukan berikutnya dari Vian. Lelaki bermata sendu tersebut berjalan mendekat dengan senyum khasnya yang kadang lebih mirip ejekan.      

Sekali lagi Kiki tak merespon ucapan Vian, dia coba mengalihkan pembicaraan "Apakah pintu itu, jalan yang diizinkan untuk kita lewati?" gadis tersebut menatap pintu masuk menuju rumah Megah Djoyodiningrat.     

Pintu samping yang sejujurnya tak kalah indah dengan yang ada di depan.     

Thom mengangguk sebagai jawaban.      

Dengan lekas Kiki memacu langkahnya. Melepaskan lengan dalam genggaman Thom.     

Vian tak mau menyia-nyiakan kesempatan, dia berjalan lebih gesit dibanding Thom yang masih tersita dalam perenungan.      

Vian terlihat tangkas memburu langkah gadis yang jelas-jelas menghindari keberadaannya. ini sangat menyebalkan bagi Vian.     

Kenapa gadis bernama Kihrani selalu menghindarinya? Padahal, selepas pemuda ini menghabiskan banyak hari dengan pekerjaan, Vian kadang kala suka bermain ke rumah Kiki dengan dalih beraneka ragam.      

Pemuda ini tak mengerti kenapa dia harus melakukan itu. Vian hanya merasa, dia bahagia bisa mengganggu si pemarah yang kelihatan menyenangkan -tiap kali gadis berambut hitam lebat tersebut kian marah.     

Seperti detik ini, detik dimana Kiki memacu langkah cepat menghindarinya, dan hal tersebut membuat lelaki bermata sendu kian bersemangat.      

"Dimana aku bisa menemui Susi, Thom?" suara Kiki menyapa.      

"Dimana saja," akan tetapi yang memberikan jawaban suara orang lain, dengan suara mendesah tepat di telinga. Ternyata, ada lelaki yang berdiri terlalu dekat di balik tubuhnya.     

Kiki sedikit terkejut dalam kebingungan. Rumah megah ini memiliki lorong yang bercabang, dan kesemuanya menyajikan jalan panjang yang mengesankan.      

Tak lama kemudian Juan dan Thom datang di belakangnya. Mereka menatap Kiki yang sedang mendorong dada Vian sebab terlalu jahil dengan caranya yang mendekat.      

"Ikutlah dengaku, Ki!" Tawar Thom, berdiri menghadap lorong yang berbeda.      

"Oh' Oke," Kiki memacu langkah kilat. Buru-buru ia menghindari Vian, dan lelaki tersebut dengan santainya menertawakan gadis gugup sebab kelakuannya.      

Thom dan Kiki pergi ke arah berbeda, dimana Vian diharuskan mempertemukan Juan pada tetua Wiryo.      

.     

.     

Thom dan Kiki sedang duduk disebuah ruangan pada lantai tiga. Mereka berdua tak banyak bicara.      

Kiki yang penasaran dengan siluet di balik gorden putih yang bergerak, berdiri dan berjalan mendekati gorden tersebut.     

Tangannya terulur, sedikit menyingkap gorden tersebut. Di bawah sana, dia dapati sekelompok orang sedang makan bersama. Meja kursi putih indah tersusun sempurna di tengah-tengah taman rindang, tak jauh dari beranda samping rumah megah.      

Ada perempuan yang menggugah memori Kiki. Mata gadis tersebut memicing, tapi konsentrasinya buyar oleh datangnya dua orang pria yang salah satu punggungnya sangat dia kenal. Kihrani mendapati Vian datang dengan pemuda yang tadi mengekor langkahnya.      

Vian terlihat sangat sopan, menundukkan kepalanya pada lelaki paruh baya yang duduk di atas kursi roda, sedangkan pemuda yang dibawanya terlihat bersalaman, kemudian diizinkan memeluk pria di atas kursi roda.     

Selepas itu perempuan yang memiliki senyuman hangat menghampiri mereka, dengan sigap Kiki melihat Vian juga memberi hormat pada perempuan yang terlihat ramah dan cantik secara bersamaan.      

Pemuda yang tadi dipeluk dan mendapat tepukan punggung dari lelaki paruh baya di atas kursi roda, kini mencium tangan perempuan ramah yang secara spontan lekas memeluk pemuda tersebut. Mereka terlihat bercakap-cakap.      

Tiba-tiba di sisi lain, perempuan yang mengusik memori Kiki berlari mendekati Vian, seolah meminta bantuan dari lelaki bermata sendu.      

_apa itu?? Le.. Leona? rumah sakit?_ Kiki menamati Vian yang tengah membantu perempuan tersebut memanggang daging dan beberapa makanan.      

"Thom, aku rasa, aku melihat.." Kiki membalik tubuhnya, sepertinya Thomas tak mendengar perkataannya.     

Lelaki dengan rambut kuncir tersebut nampak sibuk berbicara dengan perempuan yang memakai seragam hitam lengan panjang dan rok panjang yang menjulur hingga bawah lutut.      

"Ki, ikut aku kebawah. Susi sedang bertugas, dia ingin menemuimu di sela-sela tugasnya," ujar Thom menggerakkan dagunya, meminta Kiki bergegas.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.