Ciuman Pertama Aruna

III-269. Cahaya Kecantikan (Menikah+)



III-269. Cahaya Kecantikan (Menikah+)

0Menjadi istri dari seorang pewaris tunggal sangat tidak mudah. Orang mungkin memikirkan, bagaimana aku menikmati semua kemewahan yang dia miliki? Atau, betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan segala fasilitas yang ditawarkan oleh statusku.      
0

Lebih dari itu, segalanya sekedar fatamorgana sebab kenyataan yang tergambar di hadapanku adalah tantangan. Diriku sama seperti manusia pada umumnya yang tidak pernah tahu, jalan hidup macam apa yang menghadang di depan.     

Satu persatu cobaan datang membuatku membuka mata, bahwa aku harus lebih kuat lagi secara fisik dan tentu saja mentalku -juga. Pikiran dan kesabaran akan terus diuji sampai manusia selesai tugasnya di dunia.      

Aku dan Hendra harus senantiasa sadar, kami tetaplah manusia.      

.     

.      

"Kemarilah," Mahendra melepas ransel di punggungnya, dan meletakkan tas selempang yang seharusnya dibawa Aruna. Lelaki tersebut tidak mengizinkan istrinya membawa apapun, selain tas jinjing berisikan bekal makanan dari Oma Sukma, "Seharian, aku belum memelukmu," Hendra membuka tangannya tepat ketika istrinya mendekat, dekapan erat dia tunjukkan.      

"Kamu mau aku mandikan?" ada yang menghisap aroma badan seorang perempuan. Aruna nampak keberatan, ia mencoba melepaskan diri.      

"Aku kotor," kilah si netra coklat dengan dahi mengerut.      

"Kalau begitu, mari kita mandi," Hendra melepas kaos yang membungkus badannya, dan Aruna -yang masih duduk di pangkuannya- sadar, pria tersebut tak akan pernah melepaskannya begitu saja.      

Kamar yang luasnya hampir serupa dengan hunian apartemen, lengkap dengan ruang bersofa yang terlengkapi ole televisi besar serta kamar mandi yang menawarkan kolam air hangat. Berhadapan langsung dengan kaca transparan membentang, berpanorama punggung kota.      

Hendra jelas tak akan bisa melepas pelukannya. Dia menginginkan sesuatu yang mudah ditebak.      

"Apa kamu sangat lelah?" Dia yang memainkan jemarinya -perlahan tapi pasti-, menarik kaos putih tersebut supaya terlepas.      

"Aku hanya tidur seharian, sepanjang perjalanan. Mana mungkin aku lelah?!" monolog Aruna mengamini permintaan lelakinya.      

.     

.     

Mereka berada di dalam kolam air hangat, ketika dengan lembutnya Mahendra memeluk tubuh perempuan itu dari belakang. Dia yang mendapat dekapan lekas membalik tubuhnya, mengijinkan pria yang berharap mendapat sambutan dari bibir sang istri.     

Mereka bercumbu ditengah rasa hangat yang menjulur ke seluruh tubuh, serta sensi rileks yang ditawarkan kolam air hangat.      

Aruna sempat mendorong perlahan dada lelakinya agar berhenti sejenak. Dan ketika dia terlepas, dengan segera bergerak ke tepian kolam yang sejujurnya tak begitu luas.      

Perempuan tersebut tersenyum, menatap pria yang mengayunkan kakinya -tanda dia mendekat-. Hendra sama menepinya, bersandar pada tepian kolam ketika dia sadari perempuannya meraih segelas air untuk di teguk.      

Pria tersebut intens mengamati gerak gerik sang istri sampai bibir merah menggoda melepas tepian gelas, lalu meletakkan tabung bening tersebut pada tempatnya.      

"Aku masih belum mengerti, satu dari banyak hal yang membuatmu merasa semua baik-baik saja," pernyataan unik bin membingungkan, terlontar begitu saja dari mulut Mahendra.      

"Hemm.." Aruna menanggalkan caranya meraih kue-kue manis yang ditawarkan hotel, serta buah-buahan yang sudah terkupas dengan penyimpanan yang baik -bekal Oma Sukma-.      

"Kamu tahu aku tidur dengan perempuan lain, -kan?" Mata biru menyala di antara temaram lampu dan kerlap-kerlip punggung kota, gemerlap yang menawan.     

"Mengapa kamu tak memakiku sekali saja? Jujur, kamu membuatku serba salah. Aku tak suka diammu," tatapan tersebut menajam, memberi tanda bahwa Mahendra serius meminta penjelasan.      

"Apa itu perlu?" Lagi-lagi tanggapan Aruna diluar dugaan. Dan konsisten mengusik penalaran suaminya.      

"Tunjukkan kemarahanmu kalau kamu ingin marah, jangan setenang air di daratan rendah. Maki, dan pukul aku! Aku tak suka sesuatu yang dipendam. Asal kamu tahu, diammu membuatku khawatir. Aku paling takut ketika kepalaku tak memiliki kemampuan memprediksi" nyala mata biru berubah menjadi sendu.     

"Tidak semua orang harus mirip denganmu saat menghadapi masalah Hen," Entah bagaimana, detik ini perempuan tenang itu menjadi benar-benar terlihat lebih dewasa dari usia aslinya. "Dan aku sama sekali tak berniat marah padamu,"      

Hendra terbungkam, menatap perempuan bernetra coklat hangat "Aku sempat bicara dengannya (Nana), di hari naasmu," dia yang tengah bicara membalas tatapan. Pembawaannya setenang biasanya, tak ada guratan yang menunjukan jengkel hati, "Bagiku mengetahui kau sedang di jebak, itu sudah cukup. Semua orang pernah berada di situasi yang salah, jadi atas dasar apa aku harus marah?"      

Ada mata yang terbuka lebih lebar. Dia yang mendengar dengan seksama kalimat-kalimat istrinya, memainkan helai rambut yang kini sudah memanjang. "Kamu, em, sangat cantik,"      

Mendengar komentar yang berlebih dari suaminya, perempuan tersebut mendekat. Kedua perut mereka bersentuhan satu sama lain "Hai baby?" sapa calon ayah. Menatap perut sang istri yang terbenam dalam air jernih.      

"Kalau dia perempuan, aku ingin memberinya nama Andara," celetuk Mahendra.      

"Cepat sekali, sudah persiapan nama segala. Jangan bilang, kalau laki-laki namanya Andra," perempuan hamil tersebut malah menjadikan keseriusan suaminya -yang sedang dalam mode berbangga- sebagai candaan. Suasana romantis yang sedang diupayakan Hendra, buyar seketika.      

"Aku!" dia sedikit jengkel, "Kamu tahu, sayang?! Aku selalu memikirkan dengan matang tiap kata yang keluar dari mulutku," dan semakin menggebu-gebu, mengutarakan keseriusannya.      

"Iya, aku tahu. Tak perlu manyun segala," Aruna mengecup bibir sang pria, lalu berenang menjauh.      

"Andara itu, " dia yang dijauhi lekas memburu perempuannya, "Nama sebuah permata Indian, yang artinya cahaya kecantikan dan kesempurnaan,"      

"Ah' Hendra!" perempuan itu berhasil ditangkap. Lekukan leher sisi kiri dihisap kuat-kuat.      

"Kamu tahu sayang?" kembali dia berujar, sembari membalik tubuh istrinya, "Aku ingin dia sepertimu. Seperti cahaya kemerah-merahan kala fajar menerangi bumi," bisiknya, mengangkat sedikit tubuh perempuan dan menyusurinya dari pucuk hidung hingga salah satu dari dua buah benda padat berisi. Mata biru sempat tersenyum senang kala perempuanya menunjukan kegelisahan oleh perilakunya.     

"Henn, sebentaarrr, Ahh.." perempuan itu bukan lagi gelisah, dia mendesah. Tubuhnya digiring ketepian, kemudian dinaikkan. Aruna diminta duduk pada tepian kolam.     

"Hendra aku tak suka!" pekik perempuan tersebut -menarik kakinya, kala sang pria mencari telapak kakinya kemudian dinaikkan ke permukaan air. Aruna tidak suka ketika matanya menangkap cara lelaki tersebut mengecup ujung-ujung jari kaki kanannya.     

Aruna benar-benar menariknya, namun sang lelaki jauh lebih keras kepala. Menggenggam tumit secara angkuh, dan pada akhirnya perempuan yang tak berkenan tersebut kalah. Mahendra meneruskan perbuatannya, menyusuri ujung jari, punggung telapak kaki, mata kaki, betis, "Hen! stop!" sudut di belakang lutut digigit, sebab ada perlawanan yang diujarkan oleh si mungil.      

Dia bangkitkan kepalanya sesaat, menatap dengan sangar sebelum akhirnya merobohkan tubuh perempuan yang awalnya duduk di tepian kolam. Hendra bangkit dan mendekat, tangan pria tersebut menggenggam bahu kiri demi mengunci istri mungilnya yang pada akhirnya menggeliat hebat.      

Saliva pria tersebut melumuri lembah basah, sebelum dia meminta kenikmatan yang disajikan satu-satunya perempuan yang berhasil menaklukkan traumatiknya.      

.     

.     

"Hen, bisa kita berhenti?" nafas Aruna timbul tenggelam ketika sang mata biru seperti tak punya rasa bosan memacu gerakan.      

"Baik, sayang. peluk aku, lebih erat!" titah mata biru.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.