Ciuman Pertama Aruna

III-273. Dimensi Tentangmu



III-273. Dimensi Tentangmu

0[kenapa kamu tidak meneleponnya sendiri?] Ini Suara Herry, percakapan dengan Jav masih berlanjut.     
0

[Andai aku bisa,] desah Jav bernada kalut, [Dia tidak mengangkat teleponku]      

[oh.. sama, tenang saja aku sedang mencoba menuju pintu kamarnya] Herry berjanji lekas menghubungkan Jav dengan Mahendra.      

Di tempat lain Jav masih membeku dalam kebingungan, apakah kecelakaan antara dirinya dan putri bungsu Baskoro perlu disampaikan pada keluarga-nya ataukah disembunyikan sementara waktu sampai tuannya memberikan sebuah solusi yang berarti.     

***     

Di dalam ruangan tetua Wiryo melebarkan matanya, kemarahan telah membakar jiwanya. Dia tak pernah melepaskan kalimat bersuara keras kala menghadapi masalah, akan tetapi keteledoran Andos kali ini melewati batas.      

Dua pemuda yang berdiri di belakang sekretaris yang tengah di hakimi tuannya, salah satu dari pemuda tersebut mengundurkan diri, dia yang mundur mencoba memeriksa siapa yang membuat suara di luar ruangan.     

pemuda tersebut keluar, menutup pintu kayu jati rapat-rapat, Dia melihat seragam Ajudan. Tatkala di dekati sosok tersebut adalah gadis yang dia antar ke rumah ini tadi pagi, "Pergilah!" Tom merundukkan tubuhnya ikut membantu ajudan baru rumah induk yang kesusahan menegakkan tanaman yang tergeletak di lantai.      

Vas atau lebih tepatnya pot bunga yang terbuat dari batuan marmer tersebut mustahil pecah walaupun terjatuh, sayangnya bagian tanah tumpah dari wadahnya.      

"Pergi! pergi sekarang juga!" kalimat berikut bukan lagi susunan kata sederhana. lebih terdengar sebagai ucapan perintah yang mengusung ketajaman.      

"Aku tidak sengaja.. sungguh.." bibir Kihrani bergetar. Tom tidak berkata-kata lagi matanya membulat lebar menatap gadis yang sedang kalut mendengar kemarahan orang yang dia pahami sebagai pria tua paling berpengaruh di tempat ini. Melihat tatapan tajam Tom yang jelas-jelas bukan candaan, Kihrani segera berdiri lalu melangkah pergi, dia bahkan tak sempat menanyakan dimana kamar tuan dan nona rumah mewah yang menyembunyikan Ratna.      

***     

Dimensi tentangmu,     

Tidakkah kamu tahu, saat pertama kita bertemu duniaku terlalu sepi. Aku bahkan tidak pernah membayangkan, mimpi pun aku tak berani.       

Merengkuh tubuh tanpa sehelai benang yang membalut indahnya ragamu. Lalu kubawa kau dengan langkah lamban menuju genangan air sebagai upaya membersihkan bekas-bekas kenakalanku.      

Kau menjadikanku alien yang mampu menembus Utopia [1] ciptaanmu.     

Apa kau tidak sadar, aku sudah menjadi manusia yang berbeda hari ini. Hidupku bukan lagi repetisi membosankan yang di pandu perputaran jarum jam. Dan itu semua disebabkan hadirmu.     

Semestaku sebelum kamu datang adalah hamparan padang savana yang kosong. Di atas tanahnya sekedar ditumbuhi rumput kering meranggas terbakar matahari.      

Kamu adalah rintik hujan yang jatuh di atas padang savana tandus, Tuhan membebaskan kutukan tanah gersang melalui hadirmu.      

Perlahan tunas-tunas yang sangat kecil muncul di sela-sela rumput meranggas. lama-kelamaan tunas kecil menjadi tumbuhan hijau yang bercampur dengan kuning terbakar. lalu satu per satu tunas tersebut menjadi berbagai macam tumbuhan.      

Ada sekumpulan bunga,  calon-calon pohon yang terus tumbuh, bahkan tanaman mengapung pada oase yang kembali terisi air.      

Kamu terlalu indah. kuat lah untukku, berada lah di sekitarku, aku bernafas tatkala kamu memberiku nafas.      

Aku mencintaimu, dan tak akan mungkin seorang pecinta membuat penghianatan. definisi ini mutlak dan murni.      

.     

.     

Seorang perempuan menatap cerimin di mana rambutnya baru usai di keringkan dengan alat pengering yang mendesis hangat oleh sang suami.      

Alat tersebut baru saja di letakkan pada tempatnya. dan sang pria berbalut piyama tidur berupa jubah halus yang menjulur hingga di bawah lutut di mana sebuah tali terikat sembarangan pada permukaan perutnya -untuk menautkan jubah- berjalan mendekati perempuan di depan cermin.      

Pria tersebut mencium ubun-ubun sang perempuan, meraih sisir di tangan perempuan yang menawarkan mata coklat hangat, kemudian menyisir rambutnya secara perlahan-lahan.      

bayangan perempuan pada cermin lebar menjulang tinggi, terlihat tengah menikmati perlakuan sang pria.      

Tiba-tiba saja sisir itu berhenti, bukan karena tersangkut atau telah usai. melainkan ada mata berwarna biru yang tajam menatap pantulan wajah perempuannya.      

"Ada yang belum aku sampaikan padamu," kata mata biru.      

Wajah perempuan mengerut, alis yang hampir menyatu tertangkap pada cermin. tanda dia menunggu informasi yang kelihatannya sangat penting.      

Sambil meraih body lotion kemudian menuangkan krim berwarna putih susu yang menawarkan bau harum di atas telapak tangan, sang perempuan asik membalurkan krim tersebut pada permukaan lengan. dia tidak memperhatikan pria yang mengerjapkan matanya termasuk menghembuskan nafas berat, simbol mengumpulkan keberanian.      

"Aku memang berciuman dengannya,"      

Deg      

jantung sang perempuan spontan berdetak lebih hebat. Cermin di hadapannya seolah bergerak dan akan menghantam dirinya.      

"dia juga menyesap leherku,"      

tangan yang tadinya bergerak melumurkan krim kini membeku, telapak tangan tersebut berpindah menyusuri tepian meja rias.  Ibu hamil membutuhkan pegangan.      

"Tahukah kamu sayang," kalimat ini meluncur tenang.      

"Sudah cukup! Aku tidak mau mendengarnya!" Aruna mengangkat tubuhnya dia bangkit dari duduknya.      

Akhirnya Hendra mendapati kemarahan isterinya, perempuan yang biasanya menawarkan ketenangan layaknya air yang mengalir di dataran rendah.      

Perempuan hamil tertangkap mendorong sebagian tubuh Mahendra agar memberinya jalan, dia menaiki ranjang dan meringkuk di sana mengubur tubuhnya di dalam selimut tebal.      

Lelaki bermata biru naik ke atas ranjang, perlahan tangannya ia suguhkan untuk meraba tengan perempuan yang memunggunginya. "Tapi aku tidak benar-benar tidur dengannya,"      

Sepertinya Aruna sedang mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dia membatu, tidak menunjukkan gerakan sama sekali.      

"Aku hampir terjebak sebab terpengaruh minuman, dan dia benar-benar menyerupaimu, bau badannya, baju yang dia gunakan, tapi tidak dengan gerakanmu, aku lebih mengenalimu," mendengar kalimat ini Aruna termenung.      

"Dia tak akan pernah bisa meniru kelembutan mu," hendra memberanikan diri mendekat dan memeluk sang perempuan, mata biru menawarkan pelukan hangat. "Jadi aku dan wanita sialan itu tidak sampai melakukan.." Aruna berbalik badan, matanya sudah merah berkaca-kaca.      

"Sudah cukup," katanya lirih hampir tidak terdengar lalu menghambur kan diri bersembunyi di dada lelakinya, dia menangis juga pada akhirnya.      

Rintihan tersebut terdengar menyiksa, tanpa berucap, tanpa meledak-ledak, sudah mampu merobek hati yang bersemayam di dada dan memojokkan sang lelaki pada sudut sempit penjara rasa bersalah.      

"Aku mencintaimu, itu artinya aku tak mungkin menghiantimu . Kalau memang aku sedang apes, percayalah aku tidak menginginkan hal lain selain dirimu, doakan aku semoga aku tidak akan pernah terpedaya," suara tangisan yang tertahan-tahan kini kian terdengar, dia sesenggukan mendengar ucapan suaminya.      

Perempuan ini menyadari semakin berlimpah seorang lelaki, baik itu materinya, jabatannya, kedudukannya dalam masyarakat -terpandang- pasti bakal selaras dengan godaan yang membuat hati tiap-tiap pasangan harus senantiasa bersiap menghadapi tantangan.      

"Hen.."     

"Iya.." dia yang terpanggil menundukkan wajahnya.      

Aruna meraih salah satu telapak tangannya, air matanya sudah bersimbah di pipi ketika Mahendra melihat wajahnya. Dan telapak tangan perempuan tersebut diletakkan pada pipi Mahendra.      

"Berjanji lah padaku, tak akan mengotori tanganmu dengan menghilang kan nyawa orang lain," kalimat ini terdengar halus, seperti bujuk rayu malaikat yang membisik kan kebaikan.      

"Jabatanku.." ia yang bicara sempat terdiam, "tanggung jawabku lebih berat daripada yang kau bayangkan,"      

"Aku tahu.. aku mengerti," perempuan tersebut menatap lekat mata lelakinya. Mereka saling bertautan, dua buah mata tengah mengabarkan harapannya masing-masing.      

"Ketika orang lain mengancam istri dan anakku," dia yang bicara menekan kalimatnya, "aku tidak bisa mengendalikan diriku, tidak ada yang bisa memprediksi Seperti apa masa depan,"      

"Tapi.."      

"Coba bayangkan, seandainya sebuah senjata mengintimidasimu dan satu-satunya pilihanku adalah membunuh orang lain, aku akan melakukannya," Mahendra tegas dengan kemauannya.     

"Tapi, kalau masih ada pilihan lain.." kalimat ini terpotong.      

"Akan aku pertimbangkan," Mahendra yang memotongnya. "Maaf aku keras kepala dan tak akan bisa dikendalikan bahkan oleh dirimu sekalipun,"      

Aruna yang tadinya bersimbah air mata, kini terlihat menarik bibirnya, lurus. Senyum ringan tertangkap. tangannya naik mengelus pipi pria yang masih enggan melepas tatapan mata tajam kearah dirinya. "Ya.." hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Aruna. Mengamini karakter suaminya.      

watak dan karakter yang melekat pada diri seseorang tidak ada obatnya, berbeda dengan batuk, kita bisa mencari penawarannya.      

Aruna mencoba mengingat dari mana seruan sederhana tersebut, perbedaan dari 'watuk dan watak' guyon ringan yang ternyata dia dengar dari guru sejarah sekolah menengah atas.      

'watak nggak ono obate Yen Watuk akeh obate'     

'karakter seseorang hampir mustahil ada cara merubahnya berbeda dengan penyakit, penyakit masih bisa dicari obat peredanya'     

Yang perlu diupayakan adalah tiada lelah mengingatkan dalam kesabaran.      

Aruna kini mengelus rambut suaminya yang tatapan matanya perlahan kian ringan, dia meredup, menamati bibir Aruna.     

.     

.     

"Tok tok tok," ketukan pintu mengganggu.      

.     

.     

[1] Utopia merupakan suatu masyarakat khayalan dengan kualitas-kualitas yang sangat didambakan ataupun nyaris sempurna. Cita-cita utopis sering kali memberikan penekanan pada prinsip-prinsip egaliter kesetaraan dalam bidang ekonomi, pemerintahan, dan keadilan -kendati tidak berarti secara eksklusif- dengan metode dan struktur dari usulan implementasi yang bervariasi berdasarkan ideologi.  dalam pengertian sederhana Utopia adalah suatu kelompok masyarakat atau keadaan yang harmonis dan sempurna, serta tidak ada kesenjangan. tempat khayalan menyerupai Surga.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.