Ciuman Pertama Aruna

III-274. Mengatur Amarah



III-274. Mengatur Amarah

0"Tok tok tok," ketukan pintu mengganggu.      
0

"Coba dibuka dulu, bisa jadi penting,"      

Pria yang mengulum bibir perempuan, baru saja mendapatkan dorongan supaya berkenan melepas lumatannya.     

Ranjang tidur sangat luas dengan kelambu indah yang jatuh dari langit-langit membentuk tirai yang menjadikan sepasang suami istri tersembunyi di dalam semburat kelambu menawan berwarna putih kini tersingkap, kaki pria keluar dari sana kemudian pria yang baru saja muncul dari persembunyiannya terlihat mengikat tali jubah piyama sambil berjalan menuju ke ruangan lain lalu mengarahkan langkah kakinya menuju pintu.      

Dia tidak begitu terkejut ketika yang ia dapati saat membuka pintu adalah ajudannya. Herry menatap tuannya penuh harap.      

Ajudan tersebut menyerahkan Sebuah kantong belanja yang menjadi pesanan Mahendra. Herry mendapatkan senyuman puas dari Mahendra, sebuah benda yang berfungsi sebagai pelindung dan penyangga perut ibu hamil terlihat sempat diamati Hendra. Sang Tuan mendorong tubuh Herry beberapa langkah, tujuannya agar lekas menjauh dari pintu. Hendra dengan sengaja menyembunyikan keberadaan Herry yang membuntuti mereka. gengsinya pada sang istri cukup menggelikan.     

Dan lelaki bermata biru tersebut menjauhi kamarnya, dia begitu percaya diri, padahal kain yang membungkus tubuhnya cukup sederhana selapis piyama saja, bahkan alas kakinya sekedar sandal hotel.      

Sempat menahan tawa di perut, saat mendapati Tuannya di amati orang yang sepertinya menghuni kamar mewah di sekitar kamar Tuannya. Herry berusaha menemukan fokus lagi, Ajudan tersebut memberitahu sesuatu yang menimpa JAV. Ajudan tersebut juga menunjukkan chatting panjang antara dirinya dan JAV.      

Hendra tampak memegang smartphone Herry, dan di sela-sela konsentrasi Mahendra memahami masalah yang membelenggung Jav, Herry memberanikan diri mengungkapkan kegalauannya sendiri.      

"Saya juga menghadapi sebuah masalah," ucapnya malu-malu.      

"Apa?" konsentrasi Mahendra terpecah.      

"Saya punya sedikit problem,"      

"katakan saja, jangan berbelit-belit" mata Mahendra masih tertuju pada beberapa foto yang dikirimkan Jav. Layar Handphone tersebut menunjukan perempuan dengan luka memar pada separuh wajahnya sedang tertidur dalam ruang perawatan. kabarnya dia baru mendapatkan operasi patang tulang Hasta [1]     

"Saya, sepertinya akan tinggal di hotel lain, atau mungkin di lantai lain," berikut adalah pernyataan Herry.      

"Kenapa begitu?"      

"Harganya," Herry menangkap sepasang mata biru tuannya. Yang pada akhirnya sempat berkata, "Oh, oke tunggu sebentar," Mahendra masuk ke dalam kamarnya, perempuan yang di dalam juga menanyakan siapa yang datang. Dia hanya tersenyum, meraih dompetnya dan buru-buru keluar ruangan.      

Mahendra menyerahkan sebuah kartu berwarna platinum kepada Herry. Sebelum keduanya terpisah.      

Untuk kasus Jav, Hendra sempat menyarankan supaya JAV menunggu kepulangannya. Dan hal paling logis sebagai tindakan awal adalah memberitahu kronologi sesungguhnya pada Juan. Sebab Juan lah yang menjadi pangkal permasalahan, sampai-sampai gedir tersebut dengan kebodohannya, entah bagaimana tertabrak mobil Jav.      

.     

.     

Herry memundurkan diri, dia dilarang terlalu jauh dari keberadaan Mahendra untuk itu ajudan tersebut berniat turun ke lantai pertama, melakukan pemesanan kamar hotel pada resepsionis. Herry berdiri di hadapan pintu lift, nunggu pintu hadapannya terbuka. Ketika lift sebelah dirinya lebih cepat terbuka, Herry berniat memasuki pintu sebelah, beberapa orang keluar dari sana termasuk orang yang perawakannya tidak asing.      

Herry melepas keinginannya menuju lantai pertama, ajudan tersebut memilih mengendap-ngendap mengikuti seseorang dengan tubuh atletis-nya yang sangat tidak asing. Wajahnya tertutup buff dan topi.      

Sayangnya, ajudan tersebut terlalu hafal dengan cara berjalan, gaya berpakaian, parfum khas dengan aroma tertentu yang mudah dikenali.      

***     

Di sudut lain, pada salah satu ruangan rumah Djoyodiningrat. Pintu yang tertutup menawarkan kemurkaan. tetua Wiryo tengah murka, ia menggenggam erat penopang tangan di kursi rodanya. suaranya bergetar, jelas sekali pria tersebut berupaya mengatur amarahnya supaya tidak meledak-ledak.     

Pria bernama Andos baru saja keluar dari pintu, langkah kakinya dipacu demikian cepat. Tampaknya ia harus kembali melakukan pencarian sehingga menemukan dimana Gadis bernama Nana, dan siapa sebenarnya yang menculik tawanan tersebut.     

Berbeda dengan Vian, pimpinan divisi penyidik tersebut diminta tinggal, dia dengan setia berdiri di hadapan tetua Wiryo.      

"Menurutmu siapa kira-kira yang menculik Nana?" pertanyaan tersebut tersusun dari bibir tetua Wiryo. Vian tertangkap memutar matanya. Pemuda tersebut tidak berani membuat spekulasi.      

"Saya tidak bisa menjawab. Dan tidak mungkin seseorang yang belum menjalankan penyelidikan membuat tuduhan," bijak Vian menyusun kata-katanya.      

"Sebelum aku menyuruhmu pergi melakukan pencarian, aku mau mendengar argumentasimu, siapa kira-kira yang memiliki motif mengambil Nana dari klinik Diana?"      

"Apakah anda berpikir, Tuan Mahendra terlibat?" Vian menebak secara spontan serta lugas isi kepala tetua. "Oh' maaf," kemudian pemuda tersebut buru-buru menundukkan pandangannya. Sebab kelopak mata tersebut menyipit mengamati Vian dengan ekspresi kurang menyenangkan.      

Sesungguhnya ucapan Vian secara tersirat menunjukkan sebuah makna 'Anda menuduh cucu anda sendiri?' Walaupun yang keluar dari mulut Vian berbeda.      

Sayangnya sekali kalimat tersebut dipahami Wiryo, dia tak suka: "mengapa tidak?"      

Vian hanya mampu mengangguk dua kali. Padahal di dalam hatinya timbul sebuah protes, 'bukankah tuan muda memang layak membunuhnya' ketidaksetujuan tersebut sekadar ditelan. Lalu ia memutuskan mengemban tugas Wiryo, dengan langkah setengah hati Vian berpamitan seiring titah tetua Wiryo, dia diminta segera menuju TKP, menemukan siapa pelaku penculikan Nana.      

Kepergian Vian dan Andos tidak disadari oleh Tom. Tom yang sempat mencari asisten rumah induk agar dirinya mendapatkan bantuan merapikan Pot bunga, memilih memasuki ruangan tetua yang murka. Dia melebarkan matanya, saat pintu dibuka dan tidak ada keberadaan Vian maupun Andos di ruangan tersebut.      

Tom berniat berpamitan langsung, akan tetapi Wiryo tiba-tiba menegurnya, "Siapa yang membuat kegaduhan tadi?"      

"Oh' itu.." dia ingin berbohong, masalahnya pria ini tidak menemukan ide apapun, "ada pekerja baru, Dia tidak sengaja menjatuhkan pot bunga," akhirnya jujur juga.      

"Duduklah.." pinta Wiryo.      

_Apakah tetua akan membuat perhitungan dengan ajudan baru?_ batin Tom Gundah.     

Kursi tetua bergerak bersama langkah tom mendekati kursi. Tom melirik gerakan tetua yang melingkari meja dengan alat bantunya. Beliu bergerak otomatis, memanfaatkan alat bantuan berupa tombol-tombol mudah di jangkau jarinya dan ia pencet. sesaat berikutnya pria paruh baya tersebut sudah duduk di hadapan Tom. Dia balik meja di mana Vian duduk di depan meja tersebut.      

Ketukan tangan tetua Wiryo terdengar. Semua orang tahu ketukan tersebut sebuah peringatan. Entah apa? Tetua dan cucunya punya kebiasaan serupa. Bedanya Wiryo lebih sering menunjukan gerakan dengan ritme repetitif tersebut kala dia menunggu pengakuan atau menanyakan kejujuran termasuk menekan orang lain.      

Sedangkan cucunya melakukan hal tersebut kala hilang kesabaran menunggu sesuatu, atau kala harapannya tak segera dipenuhi.      

Tom memeriksa penampilannya, dia mengamati dirinya sendiri, apa yang salah dengannya? Namun tak dia temukan sedikitpun kesalahan pada badannya.      

"Bertugas Sebagai apa kamu sekarang?" ternyata tetua Wiryo memberinya pertanyaan ringan.     

"Tuan muda menginginkan saya menjadi supir pribadinya," jawab Thomas hati-hati.      

"Apakah kamu masih punya keinginan melanjutkan kuliahnya ke luar negeri?" Sepertinya ingat Wiryo masih tajam, dia belum melupakan bagaimana pemuda berbakat yang duduk di depannya sempat mengharapkan supaya dirinya diizinkan melanjutkan studinya di salah satu universitas yang terletak di Eropa.      

Keinginan tersebut pernah Tom ajukan tatkala Leona mendapat hukuman untuk pergi jauh dari negara ini -tinggal di Milan-.      

"Saya tidak lagi memikirkannya, bagi saya menjalankan tugas yang diberikan tuan muda ialah cara saya menebus kesalahan," suaranya yang tenang menandakan Tom tak lagi memikirkan keinginan yang dulu sempat ia ingin tuju dengan menggebu-gebu.      

"Bagaimana andai aku menyetujuinya?" mata tetua Wiryo menatap hangat, sepertinya bukan sekedar perintah melaikan harapan dari orang tua pada putranya.      

Tom sempat mengurai pandangan matanya, jelas dia tengah berpikir mendalam. "Atas dasar apa anda meminta saya melanjutkan study keluar negeri?"      

"Hilangnya … … ...     

.     

.     

[1] Tulang hasta atau disebut juga dengan "ulna" merupakan salah satu dari dua tulang yang tersusun pada lengan bawah. Tulang ini terletak di sisi berlawanan dengan tulang pengumpil (radius) pada lengan. Kedua tulang ini bergabung dengan humerus di ujungnya yang lebih besar untuk membuat sambungan siku, dan bergabung dengan tulang karpal tangan di ujungnya yang lebih kecil. Tulang hasta dan tulang pengumpil ini yang memungkinkan sendi pergelangan tangan dapat berputar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.