Ciuman Pertama Aruna

III-281. Fungsi Di Keluarga



III-281. Fungsi Di Keluarga

0"Apa yang terjadi padanya?" pertanyaan Gibran tidak menjadikan pengamat kaca transparan yang di dalamnya menyajikan tubuh terbaring dengan separuh wajah lebam dan tangan dililit perban.     
0

"Apakah aku harus menjelaskan sesuatu yang kakak sudah tahu??" keduanya mengumbar tatapan kosong.     

.     

.     

Di bawah langit-langit lantai dua rumah sakit Salemba, dua orang lelaki seayah beda ibu pada akhirnya saling terbuka atas masalah pelik yang membelenggu mereka.      

"Melihat ini, aku tidak tahu lagi jalan mana yang benar, yang harus ditempuh," Gesang sang adik di terpa gundah gulana "Tapi aku…"      

"Aku akan menjaganya," Potong Gibran. Netra hitam legam sang kakak berpindah dari kaca membentang yang melukiskan ketidak sadaran Syakila, beralih kepada sang adik yang berada pada sisi kanannya, "Dengan caraku," Keberanian dan niat yang tersimpan lama sepertinya akan dia wujud kan     

"Artinya, mulai sekarang aku tak akan memperdulikan rasa canggung ku padamu," pria tersebut mendekati kaca dan meletakkan tangannya pada permukaan licin di hadapannya.      

Gesang memperhatikan gerak-gerik kakaknya, pria ini sempat memutar matanya. Sesuatu hal telah ia sadari perlahan tapi pasti, tak bisa di elak lagi.      

_Apakah ini iba?_ dibalik interaksi minim kata dunia seseorang terhenti, kala ia mempertanyakan kemelut di dirinya.      

"Ku pikir ini iba, em.." Gibran membalik tubuhnya, menghadapi Gesang "Aku rasa ada sesuatu yang berbeda,"     

"Syakila, bukan untuk orang lain. Dia dengan segala kegilaannya, mengatakan bahawa aku yang dia inginkan," Gesang membalas pernyataan kakaknya.     

"Aku akan membawanya pergi dan kami akan menikah setelah dia bangun," tatapan mata serius jatuh pada Gibran. Wajah ramah Gesang hilang.      

"Selama ini kau tak segera membantu kami, sebab kau punya harapan mungkin saja ada yang bakal berubah?" Gesang mengimbuhi nafas tak percaya dengan kalimat yang akhirnya muncul dari bibirnya.     

Sejujurnya lelaki tersebut masih berharap minimal menjadi adik yang baik untuk Gibran, sang kakak yang sejak pertama kali bertemu selalu berusaha melindunginya diam-diam. Terlebih ketika Rio menjadikan bungsu Diningrat sebagai sasaran amukan tiap kali marah besar.      

"Apa maksudmu?" Lekas Gibran menatap tajam adiknya.      

"Aku pasti bisa menikah dengannya dan membawanya pergi dari kota sialan ini," monolog Gesang mengejutkan lawan bicaranya.     

"Huuhh, itu mustahil!" bantah Gibran.     

"Pasti!. Pasti aku bisa.."     

"Jangan membual!" Tukas Gibran, memotong kalimat adiknya, "Siapa kau bisa melawan ayah kita dan Baskoro?"      

"Bukan siapa aku, tapi tergantung siapa yang akan membantuku,"      

mata Gesang yang awalnya menatap kakaknya kini berpindah pada kaca membentang "Rio bukan ayahku, dia sudah mengatakan bahwa hubunganku dengannya putus bersama keberangkatan ku ke England -kuliah strata satu-, dia juga mengatakan ibuku sudah mati,"     

Sempat melirik ekspresi kakaknya yang ternyata masih memasang wajah geram padanya, "Aku duga orang-orang Rio sendiri yang membunuhnya demi ingin menutup rapat aibnya. Aku bangga, aku bisa bertahan hidup sampai detik ini. Jadi izinkan aku terus bertahan," ada bibir yang menyajikan senyum datar.      

"Ayah tak seburuk itu, kamu tahu dia hanya temperamental," ujar Gibran yang mendapat perlakuan lebih baik di keluarga Diningrat.      

"Tentu kamu tak bisa melihatnya sebab fungsimu di keluarga berbeda. Buat apa aku harus menutupi identitasku sejak sekolah dasar? Dan tak diizinkan mengaku sebagai adikmu? orang macam apa yang bisa berbuat seperti itu?" dia memberi jeda demi menghirup nafas lebih dalam, "Sama seperti fungsi ibuku yang dimanfaatkan untuk menjadikan ibumu pergi, supaya dia mudah mengatur segalanya sesuai kehendaknya," Gesang mendekati tubuh kakaknya, "Kamu pernah mendengar cerita ini?"      

Spontan Gibran mundur, "Jangan bicara sembarangan!"     

"Kau pikir kenapa kita tidak diizinkan banyak berinteraksi?" mata Gesang menyala menawarkan kalimat-kalimat liarnya, sampai-sampai ajudan Gibran mendekat dan mendorong tubuh sang adik yang seolah mengintimidasi kakaknya sendiri.      

"Cukup!" telapak tangan Gibran tergenggam.      

Seolah menulikan pendengaran, Gesang terus berucap, "Mana mungkin seorang pembantu rumah tangga mampu menggoyahkan nyonyanya? Mungkinkah?? Haha.. mustahil!" Kalimat yang sarat akan sarkasme.     

Perlahan Gesang melangkahkan kakinya, "Hanya karena suka pada ibuku, Rio sampai melepas istri resminya? Coba pikirkan, apakah Rio memiliki kebiasaan seperti itu?" Ajudan Gibran menangkap kembali tubuh pemuda tersebut, berusaha menjauhkan dari tuannya.      

"Silsilah ibumu? Saham ibumu? dan tentu saja, termasuk mengapa dia menikah dengan ibumu?. Coba gunakan otakmu, kak!" Gesang terlihat berusaha terlepas dari rengkuhan ajudan kakaknya.     

Detik dimana dia berhasil terlepas dari jerat ajudan tersebut, kembali pemuda tersebut berucap, "Kenapa selepas ibumu pergi dari rumah, ibuku malah di tendang dan ternyata dia terbunuh?!. Kenapa kau tak pernah mempertanyakan pada dirimu, mengapa kamu dan Geraldine tidak pernah punya kesempatan bertemu ibu kalian??"     

"CUKUP!!" mendengar geraman Gibran, ajudannya kian berani memperlakukan putra termuda Rio dengan lebih keras. Ajudan tersebut mengunci tangan Gesang dan menyeretnya.      

Sayang sekali Gibran dan ajudannya lupa di mana mereka berada, saat Jav telah sampai di lantai yang sama dan melihat kejadian tersebut, ia mengeluarkan senjata api dan menodongkan pada kakak Gesang.      

Spontan Gesang terbebas, sempat merapikan pakaiannya sebelum akhirnya mengusir kakaknya untuk segera meninggalkan rumah sakit ini.     

"Dia pasti datang lagi," Gumam Gesang, "Apa kamu punya ide, bagaimana caranya supaya Syakila tidak ditemukan keluarganya dan kakakku tapi masih bisa mendapatkan perawatan?"      

"Aku tahu isi kepalamu! Tapi maaf, aku tak mau" Jav tahu pikiran Juan (Gesang) pasti terkait lantai bawah tanah yang juga memiliki ruang medis cukup baik.      

"Jangan lupa, kau yang menabraknya! Kau harus tanggung jawab!" bujuk Juan.      

"Tidak! Aku tak mau!" Jav menghindar, teguh pada ucapannya.      

"Hanya sampai tuan Hendra datang. Ayolah.." si perayu kian lihai menyusun kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya, "Coba pikirkan, kalau saja besok atau beberapa jam lagi keluarga Baskoro datang dan menuduh keluarga Djoyodiningrat sengaja melukai putrinya melalui ajudan mereka, sedangkan tuan Hendra masih bersenang-senang dengan istrinya,"      

Jav terdiam, matanya mengembara. Kalimat Juan membuat kepalanya pening.      

***     

"Haah.. tubuhku" Aruna baru saja membuka matanya. Teh hangat menguar beradu dengan semangkuk sereal serta sup iga, kentang, pisang, susu, jus, dan telur rebus, "Tunggu?? Haha…" dia yang baru terduduk melihat meja yang tak jauh dari ranjang tidurnya dipenuhi berbagai jenis makanan sehat.      

"Dasar Mahendra! Apa dia pikir aku perempuan rakus, memberiku makan sebanyak itu?" Giliran perempuan ini menyingkap selimut berniat menurunkan kakinya, mulutnya lekas ternganga. Di ujung sana, dari lorong kamar mandi terdengar suara siulan tak bernada, sinkron dengan apa yang dia lihat pagi ini.      

Ranjang berantakan, baju berserakan, kursi jatuh, dan sebuah penyangga perut yang tergeletak mengenaskan di lantai, tempat yang rencananya akan dia injak.      

"HENDRA!" perempuan ini meninggikan volumenya memanggil dia yang tampaknya berada di Walk-in closet, "Hen, Hendra!!"      

"Iyaa, sebentar! Sebentar, sayang" dia yang baru saja meraih kaos dari dalam lemari wardrobe, buru-buru berjalan sambil berusaha membungkus tubuhnya.      

"Bisa tidak?! istriku memanggilku 'Pria tampan'??" ada mata perempuan menatap lelaki yang detik ini meletakkan satu tangannya pada pinggang dan tangan lain menyibak rambut kebelakang, "Lihatlah, betapa tampannya suamimu,"      

"Hais,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.